Wednesday, November 28, 2012

DIKLAT JURNALISTIK UKPM-UH XX

Jumat. 23 November 2012│14.16 WITA
Peniel Chandra



Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (DIKLAT Jurnalistik UKPM-UH) yang ke-20 dilaksanakan tahun ini, cukup mendapat perhatian dari mahasiswa Unhas.
Di tahun 2012 ini, peserta Diklat cukup banyak. Dari beberapa fakultas di Unhas, untuk diklat kali ini, hanya sebagian saja yang mengikuti diklat.
Kegiatan kali ini, dilaksanakan mulai dari tanggal 12 Oktober 2012 dan akan berakhir pada bulan Desember. Materi-materi Diklat UKPM-UH XX dilaksanakan setiap dua kali seminggu, yakni pada Hari Selasa dan Jumat bertempat di ruang Forum Bersama, Gedung PKM I lantai 2, Unhas.
Pengambilan jadwal disesuaikan dengan jadwal kuliah para peserta agar tidak terganggu dengan kegiatan diklat.
Salah satu peserta diklat bernama Andre Pranata. Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Unhas ini mengaku, dia sangat tertarik dengan UKPM dan tahun ini baru sempat mengikuti diklat UKPM.
“Saya mengikuti diklat karena ingin mendalami dunia jurnalistik”, ucap mahasiswa angakatan 2010 ini. Selain itu, ia mengikuti diklat ini karena kemauannya sendiri. Adanya kegiatan-kegiatan himpunan yang cukup menyita waktu Andre, sehingga ia tidak sempat untuk mengikuti diklat sebelumnya.
Selama mengikuti Diklat UKPM, Andre merasakan dampak dari materi-materi yang diberikan. Pengaplikasian materi-materi diklat sebagian besar bisa ia terapkan, seperti wawancara dan menulis berita. “Saya merasa sangat terbantu dalam menulis karangan karena terbiasa untuk menulis berita”, ujarnya.
Kendala-kendala yang dia hadapi selama mengikuti diklat yaitu kegiatan himpunan yang bertabrakan dengan jadwal materi diklat. “Saya ingin mengikuti semua materi diklat, tapi ada urusan yang sama pentingnya dengan materi diklat”, tegas Andre.
Andre berharap, materi-materi selanjutnya tidak akan terhambat lagi dengan kegiatan-kegiatan himpunan dan menyelesaikan Diklat UKPM dengan baik.

Mesin Air Kurang Terawat, Mahasiswa Kewalahan

Jumat. 9 November 2012│01.11 WITA
Peniel Chandra

Beberapa kran air di Fakultas Sastra tak lagi dipakai, besi-besinya berkarat, seperti lama tidak digunakan. Engselnya sulit diputar karena jarang dipakai dan kurang terawat, layaknya benda yang akan di museumkan.
Mahasiswa Fakultas Sastra, yang hendak menjalankan ibadah Shalat, harus mengantri untuk wudu disalah satu penampung air yang masih bekerja.
Sarana umum lainnya seperti WC umum, sudah sangat jarang dipakai karena bak penampungan air yang kosong dan selain itu juga, baunya menyengat sehingga mahasiswa memilih untuk mencari WC yang lebih baik diluar kampus, biasanya dikos-kosan.
Penyebab semua ini karena salah satu mesin air di Fakultas Sastra mengalami kerusakan turbin sehingga menyebabkan air tidak mengalir. Selain itu, pipa air utama yang menghubungkan penampung air dengan beberapa kran air, patah akibat dijatuhi pohon yang tumbang.
Memang, tanpa air, hidup serasa kurang nyaman. Apa lagi bila tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil atau buang air besar, bisa kewalahan untuk mencari air. Kran air tinggal pajangan, menyusul Air Conditioner yang mengalami nasib serupa.

Mesin air
Mesin air yang selama ini telah bekerja telah bertambah tua. Mesin air di Fakultas Sastra ini telah dipakai sejak tahun 2000. Perbaikan belum kunjung datang pada mesin air ini. Terlihat seperti rongsokan yang siap dijual pada tukang loak.
“saya sudah membicarakan ini pada pihak rektorat agar dana perbaikan fasilitas segera di keluarkan, tapi pihak rektorat belum menanggapi dengan serius”, ungkap Drs. Amir P, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Sastra.
Hal ini juga mengganggu kenyamanan mahasiswa, khususnya dalam menggunakan sarana toilet umum. Mulai dari toilet yang kurang terawat, bau yang menyengat, hingga kran air yang tidak berfungsi.
“perlu bolak-balik dari fakultas yang satu ke fakultas yang lain, hanya untuk dapat buang air”, kata Andi, salah satu mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah. “kita punya toilet, kenapa harus susah payah ke toilet orang lain?”, tambahnya.
Hal seperti ini menjadi kendala bagi mahasiswa yang mempunyai kegiatan ekstrakulikuler yang harus membasuh tubunya di tempat penampungan air, bukannya menggunakan fasilitas kamar mandi umum.
Masalah seperti ini seharusnya tidak perlu ditunda-tunda penyelesaiannya, haruslah ditanggapi secepatnya agar kenyamanan beraktifitas di kampus tidak terganggu.

Perbaikan
Menurut Wakil Dekan II Fakultas Sastra Unhas, perbaikan mesin air akan dilakukan setelah mendapat dana dari pihak rektorat secepatnya. Selain itu, pipa yang patah akan diganti dengan pipa yang lebih kuat agar ketika dijatuhi pohon atau ulah jail tangan perusak, pipa tersebut tidak mudah patah.
“saya akan coba koordinir para tukang, agar membuat pipa tidak mudah dirusak oleh tangan-tangan nakal!”, ucap Daeng Nai, seorang teknisi di Fakultas Sastra Unhas.
Jika pipa air itu kembali berputar, maka ada sedikit kenyamanan yang dapat dirasakan oleh mahasiswa maupun tamu yang berkunjung di fakultas ini.

Sunday, November 25, 2012

TUGAS IKHTISAR KEBUDAYAAN ASIA SELATAN

Resensi Film CIVILISATIONS: The Masters of The River

Judul film        : CIVILISATIONS “The Masters of The River”
Alamat web     : http://www.youtube.com/channel
Genre              : Dokumenter
Sutradara         : Serge Tigneres, Tomomi Nagazawa
Narator            : Simon Chilvers

Film ini menceritakan tentang sisa-sisa peradaban kuno di sekitar Sungai Indus dan peradaban lain yang hampir hilang disekitar perbatasan Pakistan dengan India. Adapun sedikit diceritakan tentang peradaban Mohenjo-Daro pada pembukaan film dan penjelasan panjang tentang peradaban Dholavira .
Sisa-sisa reruntuhan Kota Mohenjo-Daro memperlihatkan kemajuan peradabannya. Mulai dari jalan-jalannya, sisa bangunannya yang memperlihatkan arsitektur yang sangat mengaggumkan. Kota ini mempunyai struktur irigasi yang sangat baik, memiliki 80 toilet umum, dan kamar mandi umum dengan ukuran yang sangat besar. Para arkeolog memperkirakan bahwa pada zaman dahulu, kota ini memiliki populasi yang cukup banyak.
Peradaban Dholavira juga hampir sama dengan peradaban Mohenjo Daro. Persamaan kedua peradaban ini adalah sama-sama mengenal system irigasi air yang sangat baik. Seorang arkeolog bernama Dr. RS Bisht melakukan ekskapasi di reruntuhan peradaban Dholavira. Kota Dholavira dikelilingi oleh tempat penampungan air seluas 250.000 m3. Kota ini diperkirakan memiliki luas 48 Ha dan jumlah populasi ±20.000 orang. Kota ini memiliki beberapa dinding yang melindungi pusat kota dimana dinding utama yang berada di pusat kota memiliki ketebalan yang lebih daripada yang berada di bagian luar. Kota ini juga memiliki banyak taman. Ada tinggalan arkeologis dari peradaban kuno Dholavira yang masih digunakan hingga saat ini, yaitu sumur yang memiliki persediaan air cukup banyak. Sumur itu dipakai oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari, seperti air minum, mencuci, dan keperluan lainnya. Sekitar 5000 tahun yang lalu telah terjadi kemarau dan populasi meningkat cepat sehingga kebutuhan air pun bertambah. Itu sebabnya, sumur itu dibuat agar kebutuhan air masyarakat terpenuhi.
Setiap tahunnya, khususnya pada bulan Juli, banjir akan melanda daerah sekitar Pakistan. Hal ini di akibatkan salju di Gunung Himalaya mencair. Para arkeolog menemukan cara orang-orang dimasa lampau mengatasi banjir. Mereka menemukan sebuah struktur, mirip seperti tempat penampungan air. Tempat penampungan air itu terhubung satu sama lain. Penampungan air itu terhubung melalui saluran irigasi sepanjang 79 m dan kedalaman 7 m.
Ada beberapa struktur irigasi yang memperlihatkan kehebatan para arsitek pada zaman dahulu.
Sudah empat tahun para arkeolog berusaha memecahkan misteri, mengapa masyarakat Dholavira membuat saluran irigasi untuk air sungai dan untuk air hujan. Bagi orang-orang Dholavira, air merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupannya. Para arkeolog menemukan suatu tempat pemujaan berupa sumur dengan ukuran diameter: 4 m dan kedalaman: 20 m. Tempat ini semacam tempat pengorbanan, dimana para gadis akan menenggelamkan dirinya di sumur ini. Ada semacam batu loncatan di sisi mulut sumur, tempat untuk meloncat.
Adapun sisa-sisa sungai didaerah perbatasan Pakistan dan India, disebut sebagai Haga Hakka. Dr. KS Nauriyal menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, ada sungai di sebelah timur Sungai Indus yang memiliki peradabannya tersendiri. Ditempat itu juga terdapat reruntuhan saluran air yang diduga terhubung dengan sungai. Para geolog memperkirakan bahwa 4000 tahun yang lalu telah terjadi gempa yang mengakibatkan sungai menghilang dan menciptakan aliran air bawah tanah. Tinggalan arkeologis di Haga Hakka berupa artefak batu dengan ukuran tinggi rata-rata satu meter yang merupakan bagian dari struktur irigasi aliran air.
Selain sistem irigasi, ada beberapa tinggalan yang diduga merupakan suatu bagian permainan kuno, yang terbuat dari bahan semacam kaca dan logam. Ada juga gerabah dan cetakan tanah liat yang memiliki bentuk-bentuk yang unik. Motif-motif yang digunakan pada ukiran-ukiran gerabah kebanyakan menceritakan tentang kehidupan sehari-hari di tempat tersebut dan hewan-hewan di sekitar tempat tersebut, seperti badak, kuda, buaya, dll. Para arkeolog mengidentifikasikan sekitar 400 simbol yang ditemukan pada cetakan dan ukiran-ukiran pada gerabah. Simbol-simbol itu diperkirakan merupakan huruf-huruf kuno.
Sekitar tahun 1999, para arkeolog menemukan sebuah prasasti di Dholavira yang berisi simbol-simbol, mungkin memiliki kaitan dengan peristiwa bersejarah kala itu. Diperkirakan, prasasti itu dibuat sekitar 4000 tahun yang lalu.
Berdasarkan temuan-temuan yang telah berhasil dikumpulkan, kita bisa melihat apa yang terjadi pada masa lampau, suatu keajaiban dari kecerdasan manusia. Adapun relief yang menggambarkan sebuah perahu. Bisa dikatakan bahwa manusia sudah mengenal perahu sejak dahulu kala dengan sistem navigasi yang sudah baik. Serge Cleuziou, seorang peneliti asal Prancis menjelaskan bahwa mereka melakukan pelayaran ke Mesir.
Seorang arkeolog bernama Dr. Walid Yasin, meneliti suatu tempat di arab yang memiliki bangunan dengan bentuk tabung yang di dalamnya berisi banyak keramik. Ada kesamaan antara simbol-simbol yang ada di Dholavira dengan yang ada di tempat tersebut.
Selain itu, ada seorang arkeolog yang meneliti di daerah Bahrain bernama Dr. Khaled al-Sendi menemukan sejumlah keramik yang memiliki kesamaan dengan keramik peradaban kuno Sungai Indus.
Film ini cukup menggambarkan dengan indah kota-kota peradaban Sungai Indus yang runtuh, dan juga mengungkapkan peradaban lain di Sungai Haga Haka yang hilang.
Hal menarik dari film ini yaitu penyajiannya yang sangat edukasi dan memiliki nilai kultural. Menurut saya, film ini bisa dijadikan referensi yang sangat bagus, terutama dalam menyusun sebuah makalah atau laporan menyangkut kebudayaan kuno Sungai Indus. Kelebihan film ini adalah penejelasan mengenai peradaban Sungai Indus yang kronologis. Dalam film ini juga dijelaskan hal-hal yang selama ini menjadi misteri telah terkuak melalui data-data arkeologi. Namun begitu, adapun kekurangan film ini yaitu, penggunaan bahasa selain bahasa inggris yaitu bahasa prancis yang sulit bagi saya untuk mengerti. Ada baiknya jika film ini menggunakan bahasa inggris seluruhnya, atau lebih baiknya, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.

Wednesday, October 24, 2012

Jejak-jejak Asia Selatan di Nusantara

Artikel: “Pengaruh India di Bidang Bahasa”

Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra, Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti bahwa hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya “maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia. Asimilasi ini kemudian diakui selaku bagian dari budaya Indonesia itu sendiri.
Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu.
Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India ini, sementara Pallawa adalah huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.
Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India. I-Ching mengutarakan di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut Jawa.
Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia tidaklah dalam bentuk murninya lagi. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Saat itu, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.
Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu ini merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangkan bahasa Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.
Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh prasasti Kedukan Bukit, Palembang. Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember 1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.
Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta.
Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka.
Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi.

INDONESIA ZAMAN KLASIK


ARTIKEL: “PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI NUSANTARA”

Agama hindu yang muncul lebih awal di India bagian utara kemudian berkembang kewilayah yang lebih utara diantaranya Nepal. Sebanyak 90% penduduk Negara ini menganut agama Hindu dan hingga sekarang Nepal merupakan satu-satunya Negara di dunia yang masih berbentuk Kerajaan Hindu.
Agama hindu berkembang juga ke india bagian tengah dan bagian selatan misalnya ke Amarawati dan Tamralipti. dari kedua daerah ini agama Hindu kemudian menyebar ke Srilanka, Tiongkok Selatan dan kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya Funan di delta Mekhong, Lin-yi di sekitar Vietnam Selatan, Fyu di Myanmar, Mon Dwarawatu di semenanjung Malaya, Chen-la  dan Khmer di Kamboja, Kutai dan Tarumanegara di Nusantara.
Di kamboja terdapat peninggalan bangunan keagamaan Hindu terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia. Bangunan tersebut ialah Angkor Wat yang dibangun oleh Kerajaan Khmer  semasa pemerintahan Suryawarmsn II (1113-1150). Angkor Wat merupakan bangunan kuil yang dihiasi relief manusia, tumbuhan, burung dan hewan dan pada dinding-dinding gang terdapat relief mitologi agama Hindu dan kebesaran Kerajaan Khmer. Bangunan ini sempat terlantar sebelum di temukan pada tahun 1861.
Dengan masuknya agama Budha mengakibatkan penganut agama Hindu mulai berkurang karena sikap tamak dari kaum Brahmana dan juga orang-orang miskin tidak menyenangi kedudukannya dalam kasta banyak diantaranya berpindah agama
Pada beberapa abad kemudian keadaan mulai berubah sejak berdirinya Dinasti Sunga (184-72SM) di India. Dynasty ini menetapkan agama  Hindu sebagai agama resmi Negara. Raja pertama Dinasti  Sunga yaitu Pushyamitra Sunga  tidak menyukai agama Buddha dan memihak kepada agama Hindu dan mengangkat kaum Brahmana sebagai penasehat kerajaan. Hal itu dimanfaatkan kaum brahmana untuk menekan penganut agama Buddha hingga perlahan-lahan pengaruh agama Buddha makin surut.
Perkembangan agama Hindu di India semakin bersinar pada abad ke 4 masehi yaitu sejak munculnya Dinasti Gupta (320-656). Raja-raja Gubta memeluk agama Hindu dan   berusaha memperkuat agama itu. Dengan demikian kebiasaan peerngorbanan kuda liar (asvamedha) yang biasa dilakukan Dinasti Sunga dihidupkan kembali. Bangunan agama hindu banyak didirikan begitu juga ilmu pengetahuan, sastra dan kesenian Hindu dihidupkan kembali. Raja-raja Gupta menaruh perhatian terhadap sastra-sastra Hindu. Kitab-kitab kuno Hindu diselidiki dan dipelajari dengan penuh minat sehingga melahirkan banyak pujangga. Pujangga yang terkenal adalah Kalidasa. Zaman raja-raja Gupta terutama ketika ketika diperintah oleh Samudera Gupta (330-375M) dianggap sebagai zaman keemasan kesusteraan Hindu.
Bangsa Indonesia memiliki tradisi kebudayaan sendiri sebagai hasil belajar selama berates-ratus tahun. Walaupun kebudayaan yang masuk namun bangsa kita tradisinya tidak bisa dihilangkan melainkan berpadu dengan budaya luar, misalnya dalam seni bangunan candi bangsa Indonesia mempelajari seni bangun india yang terdapat dalam kitab Silpasastra. Dalam pelaksanaan candi modifikasi dan penyesuaiannya dengan tradisi seni bangunan masyarakat setempat (localgenius) adalah kemampuan suatu daerah masyarakat untuk menyaring dan mengolah budaya asing yang masuk dan berkembang sesuai dengan cita  rasa setempat
Menurut Von Hiene Geldern, nenek moyang Indonesia berasal dari daerah Yunnan, di Cina Selatan. Mereka percaya pada hal-hal gaib. Sebelum agama masuk ke nusantara nenek moyang kita percaya pada hal-hal gaib, mereka memuja roh dan mengkramatkan tempat-tempat tertentu. Ada 2 macam kepercayaan yang dianut pada masa itu, yaitu:
1.      Animisme adalah kepercayan kepada roh nenek moyang,
2.      Dinamisme adalah kepercayaan kepada benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, kesaktian atau tuah
Pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi diperkirakan pengeruh agama Hindu walaupun sebelumnya telah ada agama Buddha. Masuknya agama Hindu banyak disoroti oleh para ahli dan memunculkan beberapa pendapat.
Ada beberapa hipotesis yang dikemukan para ahli tentang golongan pembawa pengaruh Hindu ke Indonesi:
1.      Hipotesis Brahmana .
Hipotesis ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapatkan undangan dari penguasa Nusantara untuk mnobatkan raja, memimpin upacara-upacara keagamaam dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Pendukung hipotesis ini adalah  C.C.Berg
2.      Hipotesis Ksatria
Karena masa lampau India yang sering terjadi peperangan antar kerajaan maka para prajurid yang kalah atau jenuk akan perang melakukan migrasi ke daerah-daerah lain. Diantara mereka ada yang sampai ke nusantara lalu membentuk kolon-koloni melalui penaklukan. Melalui cara seperti itu mereka menyebarkan agama dan kebudayaan d Nusantara. Pendukung hipotesis ini adalah N.J Krom
3.      Hipotesis Waisya
Kaum waisya yang merupakan para pedagang berperan penting dalam penyebaran agam Hindu mereka yang menjadikan munculnya budaya Hindu sehingga di terima masyarakat Nusantara. Saat itu pedagang banyak berhubungan dengan penguasa beserta rakyat, jalinan ini membuka peluang terjadinya proses penyebaran agama Hindu. Pendukung hipotesis ini adalah N.J Krom
Dari ketiga hipotesis tersebut pada umumnya para ahli cenderung kepada hopotesis waisya. Lain halnya dengan F.D.K.Bosch yang menduga bangsa Indonesia sendirilah yang aktif dalam memadukan unsure-unsur kebudayaan India
Penyebaran agama melalui dua jalur.
1.      Melalui jalur laut
Mereka datang ke nusantara melalui jalur laut mengikuti rombongan-rombongan kapal-kapal para pedagang yang biasanya lalu-lalang dalam pelayaran dari Asia Selatan ke Asia Tenggara. Rute perjalanannya yaitu dari India menuju Myanmar, Thailan, Semenanjung Malaya, Nusantara, Kamboja, Vietnam, Cina, Korea dan Jepang
2.      Melalui jalur darat
Penyebaran agama melalui jalur ini dilakukan denngan menumpang kepada para khalifah melalui jalur jalan sutra yaitu dai India ke Tibet trus ke utara hingga sampai ke Cina, Korea dan Jepang. Ada juga yang melakukan perjalanan dari India Utara ke Banglades, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya kemudian berlayar hingga ke Nusantara. Kemunculan pertama pengaruh hinduisme di nusantara berlangsung pada awal abad ke 5 masehi. Tonggak waktu tersebut di ambil dari penafsiran 7 buah yupa peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan 7 buah prasasti dari Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kedua prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa maka diperkirakan kebudayaan Hindu yang menyebar ke beberapa daerah di Indonesia pada tahap permulaan berasal dari hindia selatan. Agama ini kemudian berkembang di kerajaan-kerajaan seperti kerajaan-karajaan Ho-ling, Mataram Hindu, Kanjuruhan, Kediri, Singasari, Majapahit, Sunda dan Bali.