Tuesday, December 17, 2013

Legenda Natal (Santa Claus Another Version)

    Memasuki bulan desember, anak-anak pada umumnya senang mendengar kisah-kisah natal dan tentu saja, yang paling menarik dari semua itu adalah hadiah natal. mungkin jika kita mendengar kata hadiah natal, kita teringat pada sosok kakek tua dengan jubah merah dan tertawa "ho.. ho.. ho..", tak asing lagi adalah Santa Claus. Santa Claus merupakan sosok dermawan yang diilhami dari tokoh nyata, Santo Nickolas yang hidup pada pemerintahan Kaisar Dioklesianus (abad IV) dan berasal dari Myra. Tapi, tahukah kamu kalau sosok Santa Claus diberbagai belahan dunia berbeda satu sama lain?
    Check this out!

10. The Yule Lads (Islandia )

Yule-Lads
Stekkjastaur
   Yule Lads atau Yulemen, adalah sekelompok makhluk nakal yang berjumlah 13 orang. Mereka telah mengambil tempat Santa Claus pada perayaan Natal di Islandia. Penampilan perdana mereka dapat ditelusuri kembali ke awal tiga puluhan, ketika seorang penulis Icelandia menyusun sebuah puisi pendek yang menggambarkan peran mereka dalam musim Natal. Sejak saat itu mereka sudah melalui banyak reinkarnasi, dari pemberi hadiah yang dicintai hingga sebagai makhluk yang haus darah menculik dan memakan anak-anak di malam hari...!.
    Walaupun demikian, para Yule Lads telah menjadi terkenal dengan karakter nakalnya. Si Ketkrokur, misalnya, menggunakan kail panjang untuk mencuri daging, sementara Gluggagaegir mengintai jendela orang untuk menemukan apa yang akan dicuri di malam harinya. Si Stekkjastaur, adalah yang paling favorit, sering berjingkat-jingkat untuk mengganggu domba.
    The Yule Lads ini bukan hanya tentang karakter bermain aneh-mereka, tetapi mereka juga memberikan hadiah kepada anak-anak. Didampingi oleh Kucing Natal, hadiah mereka taruh dalam sepatu anak-anak yang berperilaku baik di tiga belas malam menjelang Malam Natal. Sedangkan anak-anak nakal  hanya diberikan kentang.

9. Tomte (Skandinavia)

tomte_by_Jenny_Nystrom-thumb  Legenda Tomte dapat ditemukan di negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Finlandia, dan Swedia. Dalam inkarnasi awal mereka, Tomte (juga dikenal sebagai Nisse) adalah makhluk kerdil yang terus mengawasi peternakan keluarga. 
   Mereka umumnya baik tetapi mereka memiliki sifat pemarah, dan cepat menghukum atau menakali mereka yang kelakuannya tidak terpuji di lahan pertanian tersebut.
Tomte   Dari waktu ke waktu, dengan meningkatnya pengaruh kristen, Tomte akhirnya menjadi lebih terintegrasi ke dalam perayaan Natal tradisional. Penampilan mereka juga berubah, mereka diberi fitur lebih manusiawi dan akhirnya mengambil peran yang lebih erat terkait dengan Santa Claus.
   Tomte moderen (sekarang dikenal dengan berbagai sebagai Jultomte, Julnisse, dan Joulupukki) masih berbeda dari Santa dalam banyak hal.  Paling menonjol adalah mereka cenderung tidak menjadi gemuk, dan meskipun mereka mungkin mengendarai kereta luncur, tetapi Tomte tidak terbang. Mereka tidak hidup di Kutub Utara. Yang juga unik adalah bahwa meskipun Tomte membawa hadiah kepada anak-anak, ia tidak diam-diam melakukannya denagn memasuki cerobong asap di malam hari. Sebaliknya, orang tua atau kerabat akan berdandan seperti Tomte dan membawa hadiah kepada anak-anak secara pribadi.

8. Christkid (Jerman, Austria, Brasil)
Christkind   Christkid secara harfiah berarti "Anak Kristus ," Christkid adalah pemberi hadiah yang terkait dengan berbagai belahan dunia di mana Kristen adalah agama utama. 
   Ia dipopulerkan di tahun 1500-an oleh Martin Luther, yang berharap bahwa Christkind lebih kristiani dari Santo Nicholas. 
   Karena  arti harfiahnya adalah bayi Yesus, maka Christkid biasanya digambarkan sebagai kecil, anak suci dengan rambut pirang dan sayap malaikat.  Pengaruh Christkid  berkurang dengan meningkatnya popularitas Santa Claus, tetapi masih dirayakan secara luas, terutama di daerah-daerah Katolik di sebagian besar Amerika Selatan dan Tengah.
   Tidak seperti banyak Santa pemberi hadiah,  Christkid tidak pernah benar-benar terlihat. Hadiah dipertukarkan untuk menghormati semangat orang Majus membawa hadiah untuk bayi Yesus, tetapi Christkid sendiri tidak pernah membuat penampakan.  Anak-anak lebih sering diberi tahu bahwa ia menghilang beberapa saat sebelum mereka tiba.  
7. Belsnickel (Jerman, Austria, Argentina,  dan Amerika Serikat)
 
Belsnickel   Belsnickel adalah tokoh legendaris yang menyertai Santa Claus di daerah tertentu di Eropa, juga di beberapa komunitas kecil Belanda di Pennsylvania.
   Seperti Krampus di Jerman dan Austria atau La Pere Fouettard di Perancis, peran Belsnickel adalah menjadi disiplin utama Santa rombongan.
Belsnickel2   Dia biasanya digambarkan sebagai orang gunung  dengan bulu yang menutupi tubuhnya, dan dia kadang-kadang memakai topeng dengan lidah panjang. 
Tidak seperti Sinterklas, yang dirancang untuk dicintai oleh anak-anak, Belsnickel umumnya merupakan karakter yang harus ditakuti, dan di hampir semua daerah ia semacam peringatan untuk memaksa anak-anak menjadi menjadi baik.
   Meskipun umumnya Belsnickel sebagai sosok yang negatif, di beberapa daerah dia juga dikenal memberi hadiah. Di Jerman, misalnya, anak-anak berperilaku baik diberi permen dan hadiah-hadiah kecil pada 6 Desember, hari pesta St Nicholas.  Sementara nak-anak nakal diberi batubara atau switch, dan di beberapa tempat mereka bahkan menerima kunjungan dari Belsnickel sendiri, yang akan memperingatkan mereka bahwa mereka harus pada perilaku terbaik mereka.

6. Pere Noel dan La Pere Fouettard (Perancis)

Pere-Noel    Papa Noel adalah salah satu tokoh yang paling populer dari St Nick, dan Pere Noel dari Perancis adalah salah satu versi yang paling terkenal.  Dia menyerupai Santa Claus dalam penampilan, tapi tidak menggunakan rusa.  Dia hanya naik seekor keledai yang disebut Gui, yang berarti Mistletoe dalam bahasa Prancis.
    Seperti banyak negara lain, beberapa daerah di Perancis juga merayakan St Nicholas hari pada Desember Kelima.
Perancis juga memiliki karakter bernama La Pere Fouettard Seperti Belsnickel, dia seorang tokoh yang seharusnya ditakuti oleh anak-anak nakal.
la-pere-fouttard   Di versi yang paling populer, dikatakan bahwa sekitar tahun 1100 La Pere Fouettard dan istrinya menculik dan membunuh tiga pemuda dan kemudian dimasak ke dalam rebusan. Setelah korban ditemukan dan dibawa kembali ke kehidupan oleh dermawan St Nicholas, La Pere Fouettard bertobat dan bersumpah untuk melayani sebagai penolong.  
   Seperti Sinterklaas dan banyak variasi lainnya Santa, Pere Noel menaruh hadiah dan permen di sepatu kiri di sebelah perapian. La Pere Fouettard mempunyai karakter yang muram. Dia digambarkan membawa rantai berkarat dan cambuk untuk anak-anak yang berkelakuan nakal. 
Dalam beberapa versi cerita, ia bahkan lebih brutal, dan diceritakan akan memotong lidah anak-anak yang tertangkap berbohong....!
5.La Befana (Italia)

la-befana2
   Mirip dengan Santa Claus dalam gaya tapi cukup berbeda dalam penampilan, tukang sihir Befana telah menjadi bagian dari perayaan besar Natal di Italia.
    Dengan cerita beragam, tetapi versi yang paling populer menggambarkan dia sebagai wanita yang baik hati yang memberi makanan dan tempat berlindung kepada tiga orang bijak sementara mereka dalam perjalanan untuk mengunjungi bayi Yesus.
    Sama seperti busana  tradisional penyihir Halloween, Befana digambarkan sebagai seorang penyihir tua yang menunggang sapu, dan dia biasanya mengenakan selendang hitam dan membawa tas hadiah.
la-befanaDia dianggap tidak suka dilihat, dan akan mendera anak-anak yang mengintainya dengan sapu -- tidak diragukan lagi cara cerdas untuk menjaga anak-anak di tempat tidur sementara orangtua mengatur hadiah di malam hari.
   Seperti Sinterklas, La Befana juga naik turun dari cerobong asap untuk meninggalkan hadiah untuk anak-anak, dan dia juga akan meninggalkan sepotong  batubara bagi mereka yang nakal. 
Befana legendaris sebagai pengurus rumah tangga yang terbaik di seluruh Italia, ia juga dikenal sering menyapu lantai di sekeliling jalan keluar cerobong asap.

4. Krampus (Austria, Jerman, dan Hungaria)

    Di negara-negara Alpine, Santa Claus adalah seorang periang yang kurang lebih sama dengan pemberi hadiah seperti dia di Amerika Utara, dengan satu perbedaan penting: dia disertai oleh makhluk yang menakutkan, raksasa haus darah yang disebut Krampus.
    Dengan nama yang berasal dari kata Jerman untuk "cakar," Krampus berfungsi untuk menakut-nakuti anak-anak nakal.
Krampus   Legenda makhluk ini dimulai ratusan tahun lalu, tetapi gereja dicap mempengaruhinya di tahun 1800an.
    Sekarang ini, makhluk itu masih menjadi karakter Natal di beberapa bagian dari Bavaria dan Austria, di mana "Hari Krampus," atau "Krampustag," diadakan pada 5 Desember.  Orang-orang berdandan sebagai Krampus dan melakukan parade melalui jalan-jalan kota, menakut-nakuti orang, dan bahkan ada beberapa kota yang terus mengabdikan diri untuk festival hiburan dalam merayakan sejarah makhluk  ini. 
   Memberi hadiah bukanlah gaya Krampus. Dalam cerita rakyat tradisional, ia jauh lebih cenderung memberikan anak-anak nakal dengan pukulan dari batang pohon birch atau, jika mereka beruntung, sebuah peringatan keras. Dalam versi lebih gelap dari cerita ini, ia bahkan digambarkan penculik anak yang kejam, mengurung mereka di dalam karung goni, dan melemparkan mereka di sungai. 
3. Ded Moroz and the Snow Maiden (Rusia)

    Secara harfiah diterjemahkan sebagai "Kakek Frost," Ded Moroz adalah Santa tradisional pemberi hadiah-negara Slavia di Eropa Timur.  Seperti Sinterklas, Ded Moroz memakai kostum merah  dan sportif dengan janggut putih, tetapi dia tidak menggunakan rusa atau naik kereta luncur.  Sebaliknya, ia mengendarai troika, yang merupakan  kereta luncur tradisional Rusia.
ded-moroz-snow-maidenDed-Moroz
   Hal yang paling menarik dari Ded Moroz adalah latar belakangnya. Diceritakan, dia pernah menjadi tukang sihir jahat dan keji yang menculik anak-anak dan meminta hadiah sebagai tebusan. Seiring waktu, ia direformasi, dan kini ia justru memberi hadiah kepada anak-anak untuk menebus kejahatannya.  Yang juga unik dari Ded Moroz  adalah cucunya Snegurochka, "Snow Maiden," yang  menemaninya di perjalanan.
   Ded Moroz biasanya datang pada malam Tahun Baru. Seperti Sinterklas, ia membawa hadiah untuk anak-anak dan menempatkan mereka di bawah pohon Tahun Baru, meskipun di beberapa versi ia akan muncul di pesta-pesta dan perayaan untuk memberikan hadiah secara pribadi. 
2. Sinterklaas and Black Peter (Belanda)

Sinterklaas-black-pete   Sinterklaas adalah versi Belanda untuk Santa Claus. Dengan kostum tradisional merah, janggut putih panjang, dengan karakter periang, dia mirip dengan Santa Amerika Utara yang terkenal, dan banyak yang mengklaim bahwa ia adalah mempengaruhi  penciptaan Santa Claus moderen. Tidak seperti Santa, Sinterklaas datang ke Belanda setiap tahun pada akhir November. Dia datang dengan kapal dari Spanyol, dan setelah mendarat ia berparade di jalan-jalan kota sehingga ia dapat menyapa semua anak-anak Belanda. Sinterklaas tidak menggunakan rusa kutub, tapi dibantu oleh Black Peter, seorang anak kecil yang membantunya membagikan hadiah. Ada banyak versi tentang bagaimana Black Peter dapat bersama Sinterklaas, beberapa di antaranya cukup kontroversial.  Pada awalnya diceritakan ia adalah budak dari Sinterklaas laki-laki, tetapi versi lain menyatakan bahwa ia adalah jenis setan. Karena kecenderungan rasis, dalam beberapa tahun terakhir latar belakang Black Peter telah ditulis ulang, dan dia sekarang lebih sering digambarkan sebagai penyapu cerobong asap.
Tidak seperti Santa Claus, Sinterklaas membawa hadiah pada 5 Desember, liburan yang dirancang untuk merayakan tokoh sejarah St Nicholas.  Sinterklaas tidak memberikan hadiah sendirian; tetapi Black  Peter lah yang naik turun cerobong asap untuk memberikan hadiah bagi anak-anak yang baik dan batubara atau kantong garam untuk mereka yang nakal.  Dalam versi legenda, Black Peter akan menculik anak-anak nakal dan membawa mereka pergi ke Spanyol sebagai hukuman. 
1. Father Christmas (Inggris)

Ghost-Christmas-Present
    Bersama dengan Sinterklaas, Father Christmas memberi pengaruh besar dalam penciptaan Santa Claus moderen Amerika, dan masih sebagai pemberi hadiah utama di hari natal di beberapa negara yang berbeda.  
    Dalam reinkarnasi modern, Father Christmas sering tidak bisa dibedakan dari Santa Claus, tapi cerita-cerita asal-usul mereka sebenarnya agak sedikit berbeda. Versi awal karakter dari tahun 1600-an menggambarkan dirinya sebagai orang tua gembira mengenakan jubah hijau.  
father-ChristmasPada waktu itu, ia tidak dilihat sebagai pemberi hadiah, melainkan sebagai kabar gembira semangat dan kegembiraan Natal.  Reinkarnasi ini dibuat terkenal oleh Charles Dickens dalam A Christmas Carol, yang menggunakan konsepsi populer Bapa Natal sebagai model untuk karakter "Ghost of Christmas Present". Dengan berjalannya waktu,  Bapak Natal lebur menjadi Santa Claus dan Sinterklaas ke peran yang lebih modern sebagai pembawa hadiah kepada anak-anak.
   Versi modern dari Bapak Natal sangat sedikit berbeda dari Santa Claus dalam metode pemberian hadiah.  Seperti Sinterklas, dia naik kereta salju ditarik oleh sebuah tim dari rusa kutub, dan naik turun dari cerobong asap meninggalkan hadiah untuk anak-anak baik. Kepala keluarga sering meninggalkan makanan untuk dia dan rusanya, meskipun ini berbeda-beda menurut beberapa negara.
   Beberapa versi dari legenda menyatakan bahwa dia mengenakan setelan hijau bukan merah yang lebih umum, dan ia tidak selalu tinggal di Kutub Utara.  Beberapa negara mengutip greenland sebagai rumah tradisional Bapa Natal, sementara yang lain menggunakan Provinsi Lapland Finlandia.

Monday, October 28, 2013

Riwayat Peradaban (Part I)

Sejarah dunia adalah sejarah umat manusia di seluruh dunia, di semua wilayah di Bumi, dirunut dari era Paleolitikum (zaman batu tua). Berbeda dengan sejarah Bumi (yang mencakup sejarah geologi Bumi dan era sebelum keberadaan manusia), sejarah dunia terdiri dari kajian rekam arkeologi dan catatan tertulis, dari zaman kuno hingga saat ini. Pencatatan sejarah dimulai sejak aksara dan sistem tulisan diciptakan, tetapi asal mula peradaban bertolak dari periode sebelum penciptaan tulisan, atau zaman prasejarah. Prasejarah dimulai dari Era Paleolitik ("Zaman Batu Awal"), diikuti dengan Era Neolitik (Zaman Batu Muda) dan Revolusi Pertanian (antara 8000-5000 SM) di kawasan Hilal Subur. Revolusi tersebut merupakan titik perubahan besar dalam sejarah umat manusia karena sejak masa itu mereka telah mampu membudidayakan tumbuhan dan hewan. Seiring dengan perkembangan pertanian, gaya hidup nomaden berubah menjadi hidup menetap sebagai petani. Kemajuan pertanian mengakibatkan pembagian strata pekerja dalam usaha panen. Strata pekerja menyebabkan munculnya strata masyarakat dan perkembangan kota-kota. Banyak kota kuno berkembang di tepi-tepi kumpulan air (danau dan sungai) yang dapat menyokong kehidupan. Pada masa 3000 tahun SM, telah muncul peradaban di lembah Mesopotamia (dataran di antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur Tengah, di tepi Sungai Nil, Mesir, dan di lembah Sungai Indus. Selain itu peradaban juga muncul di lembah Sungai Kuning. Di tempat-tempat perkembangan peradaban kuno, pertumbuhan masyarakat yang semakin kompleks menyebabkan penciptaan aksara untuk mempermudah usaha administrasi dan niaga.
Sejarah Dunia Lama (khususnya Eropa dan Mediterania) umumnya terbagi menjadi Abad Kuno, yang terhitung dari zaman sebelum 476 Masehi; Abad Pertengahan, dari abad ke-5 hingga abad ke-15, meliputi Zaman Kejayaan Islam (sekitar 750 M hingga sekitar 1258 M) dan Zaman Renaisans Eropa Awal (bermula sekitar 1300 M); Abad Modern Awal, dari abad ke-15 sampai akhir abad ke-18, mencakup Abad Pencerahan; dan Abad Modern Akhir, dari masa Revolusi Industri hingga sekarang, termasuk sejarah kontemporer. Dalam sejarah Eropa Barat, "Kejatuhan Roma" tahun 476 M umumnya dipandang sebagai penanda akhir Zaman Kuno dan permulaan Abad Pertengahan. Sebaliknya, di Eropa Timur terjadi transisi dari Kekaisaran Romawi menjadi Kekaisaran Bizantium, yang tidak runtuh sampai berabad-abad kemudian. Pada pertengahan abad ke-15, teknik cetak modern yang ditemukan Johannes Gutenberg merevolusi metode komunikasi, berperan dalam mengakhiri Abad Pertengahan dan menjadi perintis dalam Revolusi Ilmiah. Pada abad ke-18, akumulasi pengetahuan dan teknologi khususnya di Eropa telah mencapai massa genting yang menuju kepada Revolusi Industri.
Di tempat lain, meliputi Timur Dekat Kuno, Cina Kuno, dan India Kuno, terjadi rentang sejarah berbeda-beda. Pada abad ke-18, karena perdagangan internasional dan kolonisasi yang ekstensif, sejarah berbagai peradaban menjadi terjalin secara signifikan. Dalam waktu sekitar seperempat milenium, angka pertumbuhan jumlah penduduk, pengetahuan, teknologi, perekonomian, tingkat kerugian senjata, dan kerusakan lingkungan meningkat drastis, mendatangkan risiko bagi kelayakhunian Bumi.

Bersambung....

Wednesday, October 23, 2013

MUSEUM

(Pengertian, Fungsi, Tujuan, Manfaat, dan Hubungannya dengan Arkeologi)
Oleh Peniel Chandra

1.    Pengertian Museum
Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, museum adalah gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti benda peninggalan sejarah, seni, dan ilmu.
Museum yang baik memerlukan pengelolaan yang baik pula (Direktorat Museum, 2008:5), untuk itu, memang dibutuhkan perhatian khusus dalam pengelolaan museum sehingga jangan sampai museum hanya dijadikan “pajangan” semata, melainkan ditempatkan sebagai salah satu sumber ilmu dan kesenian, sesuai dengan pengertiannya yang telah disinggung diatas.
Adapun Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum, mendefinisikan museum sebagai lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

2.    Fungsi Museum
Museum memiliki dua fungsi besar yaitu sebagai tempat pelestarian dan sumber informasi benda budaya dan alam (Direktorat Museum, 2008:16).

a.    Sebagai tempat pelestarian, memiliki kewajiban untuk melakukan:
·       Penyimpanan, meliputi kegiatan pengumpulan benda koleksi, pencatatan koleksi, dan penataan koleksi;
·       Perawatan, meliputi kegiatan perawatan untuk mencegah dan menanggulangi keruskan koleksi yang dilakukan oleh tenaga ahli; dan
·       Pengamanan, meliputi kegiatan perlindungan untuk menjaga koleksi dari gangguan atau kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam atau ulah manusia.

b.    Sebagai sumber informasi, memiliki kewajiban untuk melakukan:
·      Penelitian, dilakukan untuk pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
·      Penyajian, dengan memperhatikan aspek pelestarian dan pengamanannya.

3.    Tujuan Museum
Secara umum, tujuan pendirian museum adalah sebagai sarana pendidikan dan rekreasi. Sesuai dengan pengertian museum sebagai tempat penyimpanan benda-benda yang memiliki nilai edukatif, maka museum layak untuk menjadi media belajar dan sumber ilmu. Disisi lain, museum juga sebagai sarana rekreasi yang menjadi daya tarik pengunjung suatu daerah.
Perhatian utama museum adalah melindungi objek yang pamerkan. Tujuan museum juga menjadi salah satu media untuk melestarikan benda-benda bersejarah, hal ini sangat terkait dengan pemeliharaan benda cagar budaya dalam rangka pengembangan kebudayaan. Selain itu juga, pihak museum juga memiliki tugas untuk mengumpulkan, melakukan penelitian, dan mempublikasikan objek museum, seperti cagar budaya.

4.    Manfaat Museum
Manfaat dari adanya museum sangat banyak, tergantung dari pemahaman para pengunjung tentang museum. Manfaat museum sangat terkait dengan tujuan museum itu sendiri. Salah satunya adalah sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Manfaat yang didapatkan ialah bertambahnya informasi bagi para pengunjung, sebagai referensi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pengunjung tersebut dimana saja.
Museum, seperti yang kita ketahui memang biasanya berisikan tentang sejarah dan menceritakan mengenai perjalanan sesuatu hal. Pergi ke museum dan mengamati langsung benda-benda yang berkaitan langsung dengan sejarah, akan terasa lebih berbeda dibandingkan dengan hanya mendengarkan cerita atau sekedar membaca buku tentang sejarah tersebut.
Manfaat museum memang tidak sekedar untuk memperlihatkan bagaimana perjalanan sebuah sejarah. Lebih dari itu, museum bisa menjadi sarana rekreasi yang seru dan sebagai media edukasi yang menarik. Dengan ke museum, kita menghargai dan mencintai kehidupan baik masa lalu dan masa kini. Hal tersebut bisa menjadi pelajaran untuknya agar bisa menjalani hidup lebih baik lagi.

5.    Hubungan Museum dengan Arkeologi
Arkeologi adalah suatu bidang studi yang fokus mengkaji seputar hasil kebudayaan bendawi/ hasil kebudayaan berupa benda dan juga berhubungan dengan menindaklanjuti hasil-hasil kebudayaan tersebut. Tujuan arkeologi itu sendiri adalah rekonstruksi sejarah, memahami pola tingkah laku manusia, dan menjelaskan proses budaya.
Berdasarkan fungsi, tujuan, dan manfaat yang telah dijelaskan diatas, maka bisa ditarik garis penghubung antara arkeologi dengan permuseuman. Salah satu relevansi museum terhadap arkeolog adalah sebagai sumber informasi/referensi sejarah, budaya, dan semua yang berhubungan dengan objek studi arkeologi.
Selain itu, arkeolog juga memiliki peran dan tanggung jawab terhadap perlestarian BCB yang juga merupakan objek penelitian arkeologis. BCB juga merupakan bukti peradaban dan juga bisa menjadi bukti pola tingkah laku dan proses budaya yang terjadi dalam masyarakat di masa yang lampau sesuai dengan tujuan arkeologi itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Collia Suzuki, Gina. 2010. What is The Purpose of a Museum?. (www.ginacolliasuzuki.com; Akses di Makassar, 22 Oktober 2013; Pukul 13.22 WITA)
Direktorat Museum. 2008. Pedoman Museum Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Melindacare. 2012. Manfaat Museum. (www.melindahospital.com; Akses di Makassar, 22 Oktober 2013; Pukul 15.18 WITA)
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Trueno. 2009. Pengertian Musium. (techonly13.wordpress.com; Akses di Makassar, 23 Oktober 2013; Pukul 13.25 WITA)
Yogaswara, Wawan. 2006. Bagaimana Mendirikan Sebuah Museum. (www.budpar.go.id; Akses di Makassar, 23 Oktober 2013; Pukul 13.15 WITA)

Monday, September 30, 2013

ArchaeOpinion

Fort Rotterdam : Bertahan dari Guratan Para Vandalis

Makassar, sebuah kota yang katanya sedang menuju ke arah world class dengan pembangunan yang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah di segala aspek, dari perekonomian hingga penataan kota. Objek wisata Kota Makassar juga dipublikasikan oleh Pemda untuk menarik minat para wisatawan domestik maupun wisatawan asing, disamping memperkenalkan Kota Makassar itu sendiri, hal tersebut juga menambah pendapatan daerah[1]. Kegiatan-kegiatan yang bersifat internasional juga banyak diselenggarakan di Makassar dan pemilihan tempat untuk kegiatan-kegiatan tersebut biasanya adalah tempat-tempat wisata yang terkenal di Makassar.
Meskipun demikian, ada beberapa masalah-masalah yang muncul dipermukaan dan berdampak negatif bagi objek-objek wisata tersebut, terutama situs-situs bersejarah yang dijadikan objek wisata. Banyak perlakuan-perlakuan yang bersifat merusak situs-situs tersebut seperti mencungkil, menggores, ataupun mencoret-coret dinding bangunan/ struktur situs bersejarah.
Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang vandalisme yang dilakukan oleh para pengunjung pada situs bersejarah di Makassar, yaitu Fort Rotterdam. Tulisan ini erat kaitannya dengan pengelolaan Fort Rotterdam dan juga konservasi yang telah dilakukan di tempat ini.

Fort Rotterdam, Dahulu Hingga Sekarang
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Hingga sekarang, sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar (Asmunandar, 2008 : 144). Beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar.
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.

Vandalisme di Fort Rotterdam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal adalah perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Vandalisme biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan momen, tapi dengan cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui “karyanya”. Biasanya, coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para vandalis (orang yang melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/ simbol suatu kelompok, atau kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek vandalisme, tentu saja adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang.

Beberapa contoh coretan vandalisme pada bangunan Fort Rotterdam, 2013

Fort Rotterdam yang merupakan objek wisata juga tidak luput dari serangan tangan-tangan jahil para vandalis. Hampir setiap sudut, terutama pada bagian tenggara hingga ke bagian timur laut dihiasi dengan coretan-coretan tidak bertanggung jawab dari vandalis. Tidak hanya coretan dengan menggunakan spidol, namun para vandalis mengukir tembok-tembok Fort Rotterdam dengan benda yang tajam sehinnga seakan-akan mirip dengan “prasasti”.
Pada sore hari, pengunjung mulai ramai mengunjungi Fort Rotterdam dan rata-rata pengunjung Fort Rotterdam masih berstatus pelajar SMP atau SMA, mungkin menjadikan momen sore hari mereka sebagai pelepas lelah setelah seharian berpeluh dengan pelajaran. Nah, pada jam-jam inilah biasanya para vandalis mulai beraksi. Seorang petugas keamanan di Fort Rotterdam bernama Yusuf mengaku pernah memergoki beberapa pengunjung yang mencoba mencoret dinding bangunan tersebut. Setelah itu, mereka dibawa ke pos petugas keamanan untuk diberikan teguran dan nasihat agar tidak melakukan hal tersebut.
Menurut bapak yang  bekerja sebagai petugas keamanan Fort Rotterdam sejak 10 tahun yang lalu ini, kebanyakan pelaku kegiatan vandalisme tersebut adalah pasangan muda-mudi yang statusnya masih pelajar. “Biasanya, mereka coret-coret dinding ketika benteng sudah mau ditutup[2]”, begitu ujarnya. Faktor ketidaktahuan dan ketidakpedulian pengunjung, khususnya wisatawan domestik terhadap pelestarian bangunan bersejarah membuat nilai historis bangunan tersebut lama-kelamaan akan hilang.
Selain pengunjung yang tidak peduli, sistem keamanan Fort Rotterdam juga sangat rentan, entah karena personilnya yang kurang ataukah memang malas. Menurut saya, pengelolaan Fort Rotterdam jauh dari maksimal karena sepertinya ada bagian-bagian dari Fort Rotterdam yang mengalami perusakan namun tidak cepat ditangani, walaupun itu hanya perlu di lapisi saja dengan sedikit semen.

Dampak-Dampak Vandalisme
Setelah mengetahui bahwa vandalisme merupakan tindakan yang merusak, tentu saja ada dampak-dampak yang negatif, baik bagi situs Fort Rotterdam maupun lingkungan sekitar situs. Dampak negatif bagi bangunan tersebut adalah kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh para vandalis, bila tidak cepat ditangani, akan membuat bangunan ini semakin tidak terawat dan lama-kelamaan akan rusak secara bertahap hingga tidak satupun bagian dari Fort Rotterdam yang terjaga keasliannya.
Selain objek pariwisata, Fort Rotterdam juga merupakan sumber daya arkeologi yang perlu dijaga kelestariannya. Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa (Aldi Mulyadi, 1999). Hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah yang dapat dilihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Tetapi, kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat jauh berbeda. Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

Masa Depan Fort Rotterdam
Fort Rotterdam sebagai objek wisata memang sangat bagus untuk dikembangkan, namun hal tersebut harus berbanding lurus dengan pelestariannya. Percuma saja jika setelah dibenahi lalu tidak dirawat, lama-kelamaan akan rusak dan habis sehingga tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Vandalisme bisa dihentikan dengan memberikan pemahaman kepada para pengunjung bahwa bangunan-bangunan sejarah harus dilestarikan dan merupakan corak kebudayaan bangsa. Selain itu, perlu juga kesadaran dari masyarakat itu sendiri karena masyarakatlah yang sebenarnya harus memahami kalau bangunan-bangunan tersebut milik mereka.
Fort Rotterdam bukan hanya warisan Belanda, tapi adalah peninggalan dari Kerajaan Gowa yang dimodifikasi sedikit oleh orang-orang Belanda. Jangan sampai kita mencap bahwa Fort Rotterdam ini tidak memiliki nilai historis hanya karena bangunan ini tidak “Indonesia” sekali. Perasaan acuh tak acuh yang sering muncul harus dilawan dengan pengetahuan agar tidak semena-mena terhadap sesuatu.
Benteng pertahanan yang dulu berjaya pada masanya, bertahan terhadap meriam-meriam musuh, kini harus bertahan dari guratan-guratan para vandalis dari kampung sendiri. Bagaimana sikap kita sebagai arkeolog melihat sumber daya arkeologi yang makin lama tergerus oleh perlakuan yang tidak benar. Sebenarnya, kota dan masyarakatnya yang akan kehilangan jati diri jika bangunan-bangunan tersebut hilang, sikap kita sebagai arkeologlah yang merangkul masyarakat kota agar tidak kehilangan jati diri mereka.

  

Catatan Kaki :

[1] Biasanya, objek-objek wisata (terkhusus yang berada dibawah naungan Pemerintah Daerah) tersebut dikenakan tarif masuk.
[2] Jam tutup Fort Rotterdam sebenarnya adalah jam 5 sore, tetapi kadang sampai setengah 6 sore karena tingkah pengunjung selalu ingin tetap berada di situs untuk kepentingan pribadi seperti mengambil gambar pada saat sunset.

Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel pribadi.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV). Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

Thursday, September 19, 2013

Peradaban Neolitik Mallawa


Prasejarah di Sulawesi Selatan sudah terkenal hingga ke mancanegara, terutama daerah yang banyak ditemukan situs-situs prasejarah yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Topografinya juga sangat menarik karena selain panorama alam yang indah juga disuguhkan dengan pemandangan megah gugusan karst yang merupakan gugusan karst terpanjang kedua di dunia setelah Cina. Gua-gua prasejarah yang mencirikan pola hidup semi-menetap, banyak ditemukan pada bukit-bukit karst di Maros-Pangkep. Selain itu, teknologi yang dapat diidentifikasi dari temuan-temuan disana kebanyakan berasal dari masa Paleolitik awal dan Paleolitik akhir dengan ciri-ciri alat batu yang belum diupam (dihaluskan). 
Kali ini, penulis akan memberikan sedikit informasi mengenai situs prasejarah di Sulawasi Selatan yang temuan-temuannya memiliki teknologi pembuatan hampir sama, namun ada yang telah diupam dan kebanyakan temuan-temuan tersebut mengindikasikan pola hidup bertani (neolitik). Situs ini diberi nama Situs Mallawa.
Situs neolitik Mallawa secara administratif membentang dari Kelurahan Sabila, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros hingga Desa Polionro, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Secara geografis berada di titik koordinat antara 040 50’ 25.1” – 040 51’ 14.8” Lintang Selatan dan 1190 55’ 37.9” – 1190 56’ 20.2” Bujur Timur pada ketinggian antara 270 – 393 meter diatas permukaan laut, dengan luas keseluruhan 14,26km2.
Pada situs ini, ditemukan beberapa tinggalan arkeologis berupa artefak batu dengan berbagai jenis dan bahan pembuatan, serta fragmen tembikar dalam kondisi tersebar dan hanya terkonsentrasi pada beberapa titik saja. Situs Mallawa merupakan situs peradaban neolitik, jadi, tinggalan arkeologis yang banyak ditemukan di situs ini merupakan artefak batu yang berhubungan dengan teknologi pertanian seperti beliung, namun, adapun tinggalan arkeologis yang berasal dari masa sebelumnya, yaitu paleolitik dan mesolitik. Ini bisa dilihat dari teknologi pembuatan. Ada tinggalan arkeologis yang pembuatannya masih kasar dan adapula tinggalan arkeologis yang sudah dihaluskan (upam).
Artefak batu yang dijumpai di situs ini tidak semua dalam kondisi sempurna, sebagian ada yang berupa fragmen. Bentuk fragmen yang ditemukan ada yang hanya bagian mata, tengah, dan pangkal. Warnanya pun bervariasi, mulai dari hitam hingga coklat. Adapun jenis artefak batu yang ditemukan di situs ini yaitu, alat serpih, kapak, beliung, pahat, tatab-pelandas, batu asah, batu inti (core), dan limbah. Adapun jenis kapak batu yang ditemukan, seperti kapak genggam dan kapak persegi berasal dari masa yang berbeda yaitu mesolitik dan neolitik. Kapak dan beliung memang memiliki kesamaan, namun khusus pada temuan di Situs Mallawa, sebagian ahli menggolongkannya ke dalam tipe beliung persegi karena bentuknya yang memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagian permukaan biasanya diupam menyisakan bagian pangkal sebagai tempat ikatan tangkai. Penajaman dilakukan dengan mengasah dibagian ujung permukaan bawah ke arah pinggir permukaan atas. Melalui teknik ini diperoleh tajaman yang miring karena pemangkasan diutamakan pada salah satu sisi mata tajaman. Di Situs Mallawa, ada beberapa temuan dalam kondisi yang patah pada bagian pangkal atau tajaman.
Kemudian yang paling banyak ditemukan adalah alat serpih. Teknologi pembuatan alat serpih tersebut dapat dilihat dari permukaan artefak yang masih kasar maupun sudah dihaluskan. Dimensi artefak bervariasi dengan panjang antara 2,4cm hingga 5,7cm, lebar antara 2cm hingga 5,3cm, dan ketebalan antara 0,5cm hingga 3cm. Warna bahan bervariasi yaitu putih, abu-abu, putih kekuningan, kuning, jingga, krem, merah, dan coklat.
Pada situs ini juga ditemukan lumpang batu yang mencirikan kehidupan masyarakat agraris. Lokasinya berada pada punggungan-punggungan bukit dengan kondisi geografis yang berupa sabana (padang rumput). Umumnya, lokasi-lokasi temuan merupakan lahan gundul atau berada di puncak-puncak bukit, diduga, tempat tersebut pernah diolah sebagai lahan bercocok tanam.
Selain artefak dari batu, juga ditemukan artefak berupa fragmen tembikar di situs ini, walaupun dalam kondisi tersebar dan jumlahnya sangat sedikit. Pada umumnya, fragmen tembikar yang ditemukan di situs ini berukuran sangat kecil dan tipis namun kuat serta permukaannya yang halus.
Melihat kondisi alam yang merupakan bukit sabana, ada kemungkinan dilakukan kegiatan bertani dan ketidaktahuan masyarakat mengenai benda-benda arkeologis akan membuat situs ini akan hilang/ punah. Walaupun temuan-temuannya tidak selengkap temuan-temuan yang ada di situs neolitik Kalumpang, namun setidaknya situs di Mallawa memberikan sedikit pandangan berbeda soal situs-situs prasejarah yang selama ini kita kenal, selalu di kaitkan dengan gua-gua karst di Maros-Pangkep.
Sebagai arkeolog, bagaimana pandangan kita terhadap situs neolitik di Mallawa? Disatu sisi, situs neolitik Mallawa merupakan lumbung data prasejarah yang kita butuhkan dan lestarikan, di sisi lainnya, masyarakat perlu menggarap tanah demi kelangsungan hidup. Sebaiknya, bagaimanakah konservasi yang harus kita lakukan karena tidak mungkin kita melarang yang empunya tanah untuk mengelola tanahnya sendiri? Adakah diantara kita yang ingin membuat terobosan atau berbagi pemikirannya mengenai konservasi yang tidak memberatkan kedua belah pihak?
Ditunggu....

Tuesday, September 17, 2013

ArchaeoGraphic

Fort Rotterdam:
Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah
Oleh Peniel Chandra

a.  Pendahuluan
Makassar, sebuah kota pesisir pantai yang menawarkan pemandangan yang cukup indah. Tidak hanya menyajikan pemandangan, Makassar memiliki kekhasan daerah yang eksotis dan juga bangunan-bangunan kuno  yang memiliki nilai sejarah, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan Eropa di film-film era ‘70an. Salah satunya yaitu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial, kemudian pada masa sekarang menjadi objek wisata, Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros, memiliki luas areal 28.595,55 m2 dengan luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2, Benteng Rotterdam denah dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah barat menghadap ke laut dan pintu kecil di sebelah timur. Bagian tembok dinding yang tertinggi 7 m dan bagian yang terendah 5 m, dengan ketebalan dinding 2 meter. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.  Sekilas dinding-dinding tembok benteng berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat, mengitari sepanjang tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata warna kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar. Di bagian utara, timur dan selatan Benteng Rotterdam dikelilingi oleh bangunan perkantoran maupun perumahan. Bahkan, di dinding bagian timur digunakan penduduk sebagai bagian dari dinding rumahnya. Hal ini menyebabkan beberapa bagian dinding benteng mengalami kerusakan (Asmunandar, 2008 : 144).
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tat letak, gaya, bahan dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis mencoba menelisik hal ini dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba diterapkan dalam Benteng Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.

b. Pengelolaan Fort Rotterdam
Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa tidak luput dari perhatian pemerintah, hal tersebut dapat terlihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Pengelolaan situs Fort Rotterdam adalah salah satu perwujudan fisik dari usaha pelestarian sumberdaya arkeologi yang tidak hanya menyangkut tata ruang arkeologis tetapi juga menyangkut akan  tatanan nilai dalam masyarakat. Oleh karena hal tersebut pengelolaan situs Fort Rotterdam harus dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Pendayagunaan tata ruang lahan situs Fort Rotterdam dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat diaplikasikan dalam bentuk taman purbakala sebagaimana yang telah diterapkan pada situs Candi Borobudur (Aldi Mulyadi, 1999) .
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski demikian, Benteng Rotterdam maupun Museum La Galigo tetap saja dapat dinikmati setiap pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Cagar budaya Benteng Rotterdam  tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk mensejahterakan dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk menjaga harmoni dan pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama halnya dengan Museum La Galigo. Bukan hanya sebagai tempat untuk memamerkan peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian. Tetapi Museum La Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk mencerdaskan bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.

c.   Fort Rotterdam sebagai Objek Wisata
Faktor pendukung suatu tempat dijadikan objek wisata adalah nilai estetika tempat tersebut. Semakin indah, maka semakin banyak pengunjung. Fort Rotterdam sebagai objek pariwisata memang mempunyai nilai lebih seperti gaya bangunan kuno yang megah dan letaknya yang stratetis karena berada di daerah pesisir pantai sehingga para pengunjung lokal maupun turis selalu ramai berdatangan.
Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam. Peningkatan pada pertengahan tahun 2013 memang yang paling menanjak karena juga bertepatan dengan masa liburan sekolah.
Hingga pada hari ini, wisatawan terus berdatangan ke Fort Rotterdam dan jumlahnya semakin bertambah dengan adanya kegiatan ekskavasi di bagian selatan Benteng ini. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari dengan mendatangkan tenaga ahli dari Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Mundardjito. Ekskavasi yang dilakukan di Fort Rotterdam rupanya menarik minat pengunjung yang rata-rata pelajar. Salah satu pengunjung mengaku bahwa baru kali ini melihat penggalian yang begitu lama dan rumit. “Seperti di film National Geographic, keren!”, tegasnya.
Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Gagasan mengenai nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga dikemukakan oleh James Semple Kerr (1983). Menurutnya, nilai penting bangunan kuno atau lingkungan bersejarah dilihat dari beberapa nilai yakni; nilai sosial, jika sebuah bangunan bermakna bagi masyarakat; nilai komersil, sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan peranannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Asmunandar, 2008 : 167). Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki spot yang indah, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku bagi para budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

d.    Penutup
Perkembangan masyarakat ke arah modern semakin membuat kita melupakan sejarah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Fort Rotterdam dari tahun ke tahun membuktikan bahwa masyarakat awam biasanya menganggapnya sebagai objek wisata semata. Soal vandalisme di Fort Rotterdam sama halnya yang terjadi pada situs-situs lainnya, masalahnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bangunan kuno yang harus kita lestarikan. Semakin lama, tanpa adanya rasa ingin tahu, tentu saja, Fort Rotterdam hanyalah sekedar tempat melepas lelah di akhir minggu.
Selain itu, Pemerintah Kota tidak begitu memperhatikan hal-hal yang seperti ini. Seperti yang penulis kutip dari seorang arkeolog, Iwan Sumantri, beliau mengatakan bahwa negara berkembang biasanya lebih fokus pada permasalahan ekonomi, beda dengan negara maju yang sudah maju perekonomiannya sejak lampau dan pada masa sekarang, mereka kembali kepada kebudayaan mereka.
Harapan penulis tentang Fort Rotterdam, kiranya pengelolaanya semakin baik, begitu juga dengan pelestariannya. Tidak hanya sebatas itu, masyarakat juga perlu tahu nilai penting dari sebuah bangunan kuno agar mereka juga ikut melestarikan sehingga anak cucu kita juga menikmati apa yang kita nikmati saat ini. Bukan hanya keindahannya, tapi nilai sejarah adalah yang paling penting.


Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (www.tribun_timur.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).