Sunday, July 7, 2013

KERAMIK VIETNAM


Secara etimologis, keramik merupakan kata serapan dari kata “ceramic”. Kata ceramic memiliki akar kata dari bahasa Yunani yaitu, “keramos” yang berarti barang pecah belah yang berasal dari tanah liat. Jadi, keramik adalah sebutan bagi semua benda yang terbuat dari tanah liat. Berdasarkan bahan pembuatannya, keramik di golongkan menjadi beberapa jenis yaitu, terracotta (tanah merah), pottery (tanah liat bakar), earthenware (tanah liat bumi), stoneware (batuan alam), dan porcelain (bahan yang melebur pada suhu tinggi).
Keramik sudah dikenal pada zaman prasejarah, khususnya pada zaman neolitik (menetap dan bercocok tanam). Pada masa itu, benda-benda yang terbuat dari tanah liat (tembikar) berfungsi sebagai wadah tempat makanan atau minuman.
Pada zaman logam (perundagian), teknologi pembuatan tembikar berkembang pesat. Selain menjadi wadah untuk makanan dan minuman, tembikar berfungsi juga sebagai bekal kubur. Teknologi tembikar berakar dari kebudayaan yang berasal dari Asia Tenggara. Pada tulisan kali ini, kami akan mencoba mengenalkan dan mendeskripsikan tentang salah satu produk keramik yang berasal dari salah satu negara di Asia Tenggara, yaitu Vietnam



















    Keramik Vietnam sudah ada sejak abad XIV berdasarkan bukti-bukti arkeologis pada tahun 1986. Keramik Vietnam pun dibagi berdasarkan desa asalnya, seperti Keramik Bat Trang dan Keramik Chu Dau. Kebanyakan produksi Keramik Vietnam berupa porselin.

    Keramik Vietnam sangat terkait dengan keramik-keramik di Asia Tenggara dan Cina. Secara umum, motifnya hampir mirip dengan Keramik Cina dengan sedikit tambahan motif  Keramik Thailand, Laos, dan Myanmar. Motif yang banyak digunakan ialah motif flora dengan pewarna biru atau kuning. Pada akhir abad XVII, Keramik Vietnam mulai menggunakan banyak warna untuk motif keramiknya. Teknik hias yang biasanya diterapkan pada Keramik Vietnam adalah teknik lukis dan teknik tekan.
Keramik Vietnam dibuat dengan teknik gabungan antara teknik pijit, roda putar, dan cetak. Oleh karena kebanyakan Keramik Vietnam merupakan porselin, maka bisa dipastikan bahwa pembakaran dilakukan secara tertutup karena porselin membutuhkan suhu yang tinggi pada proses pembakarannya. Permukaan Keramik Vietnam digarap dengan teknik glasir. Pembakaran keramik dengan glasir dilakukan dengan cara membakar terlebih dahulu keramik yang belum diberi glasir. Kemudian, setelah setengah matang, diberi glasir pada permukaan keramik. Setelah diberi glasir, keramik kembali dibakar untuk kedua kalinya.
Demikianlah sedikit pengetahuan yang bisa kami berikan seputar Keramik Vietnam. Adapun yang bisa kami simpulkan dalam tulisan ini yaitu Keramik Vietnam merupakan salah satu akar budaya keramik poselin di Asia Tenggara dengan motif yang hampir sama dengan negara-negara disekitarnya dan motif yang biasa digunakan oleh Keramik Vietnam dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara adalah motif flora.
 
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Peniel. 2013. Tugas Individu Keramologi II: Identifikasi Keramik. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Gautama, Nia. 2011. Keramik untuk Hobi dan Karir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
McKinnon, E. Edwards. 1996. Buku Panduan Keramik. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sulistyawaty, Agnes Rita. 2011. Otsuka Museum of Art: Keramik yang Bercerita. Koran KOMPAS edisi Senin, 2 Mei 2011.
Tuan, To. 2012. Desa Keramik Chu Dau. (www.VOV.com; Makassar, 21 Mei 2013; pukul 22.10 WITA).
Yurnaldi. 2010. Menelisik Keramik, Merangkai Sejarah. (www.Sastra-Indonesia.com; Makassar, 21 Mei 2013; pukul 22.11 WITA).
www.wikipedia.com/keramik. Makassar, 18 Mei 2013; pukul 21.56 WITA.

MASJID MENARA KUDUS, HASIL KREASI MUSLIM JAWA


Studi Kasus “Proses Akulturasi Hindu-Jawa dengan Islam”

Akulturasi merupakan proses penggabungan dua kebudayaan dengan tidak meninggalkan kebudayaan sebelumnya. Proses ini banyak terjadi di Indonesia, bahkan sejak zaman prasejarah (tradisi megalitik). Indonesia memang terkenal dengan kebudayaannya yang beragam dan dilihat dari benda peninggalan masa lalu, nenek moyang kita sangat hati-hati dalam menerima ajaran atau kebudayaan yang datang ke tanah mereka. Proses penyaringan inilah yang menghasilkan kebudayaan baru, namun tetap kental akan kebudayaan lama. Nenek moyang kita memegang prinsip ATM (Amati-Tiru-Modifikasi), tidak hanya dari segi bentuk yang mereka perhatikan, tapi makna dari sebuah benda juga mereka bedah sehingga budaya luar tidak sembarangan memasuki kehidupan budaya mereka.
Hingga saat ini, tinggalan-tinggalan arkeologis atau sejarah hampir semuanya adalah hasil akulturasi kebudayaan. Dari segi bentuk dan fungsi hampir sama, tapi maknanya yang sedikit berbeda. Kali ini, saya akan mencoba menjelaskan salah satu bentuk tinggalan arkeologis berupa bangunan yang merupakan hasil akulturasi, yaitu Masjid Menara Kudus.
Masjid Menara Kudus
Masjid ini terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura. Selain itu ada penyembahan terhadap roh nenek moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.

1.    Sejarah Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus didirikan oleh Ja’far Shodiq atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus pada tahun 956 H atau 1549 M berdasarkan batu bertulis yang terletak pada mihrab masjid. Masjid tersebut diberi nama “Kudus” karena konon batu bertulis yang terletak pada mihrab masjid tersebut berasal dari Baitulmakdis (Al Quds) di Yerusalem. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama “Kudus” yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan Masjid Menara Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.

2.   Arsitektur Masjid Menara Kudus


Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya berjumlah 4 buah. Pintu besar berjumlah 5 buah dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar". Konon kabarnya, gapura tersebut berasal dari bekas Kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion. Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
Menara Kudus memiliki ketinggian ± 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang keseluruhan berjumlah tiga puluh dua buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, dua belas buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu-Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Hindu-Jawa, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Hindu-Jawa.

3.    Jejak Akulturasi pada Masjid Menara Kudus


Akulturasi pada Masjid Menara Kudus terletak pada menara dan pagarnya yang mirip dengan candi dan gapura. Hal ini tidak terlepas dari proses penyebaran Agama Islam oleh Sunan Kudus pada saat itu.
Cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.
Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Mengapa seperti itu? karena mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Adapun anggapan yang menyebut bahwa arsitektur menara masjid ini mirip dengan Candi Jago di Magelang.
Jadi bisa kita katakan bahwa, masyarakat pada waktu itu sudah memiliki kreatifitas yang tinggi dengan proses akulturasi, antara kebudayaan yang ada sebelumnya dengan kebudayaan asing yang mungkin sama sekali mereka belum ketahui. Tingginya kreatifitas mereka menyebabkan bangunan Masjid Menara Kudus tidak ada duanya, baik di Indonesia maupun di dunia. Masyarakat dahulu membangun masjid tanpa harus meniru yang sudah ada di Timur Tengah, menghasilkan suatu ciri  khas tersendiri. Itulah yang di sebut dengan ATM (Amati – Tiru – Modifikasi).  

4.   Kesimpulan
Setelah membaca semua referensi yang saya kumpulkan seputar Masjid Menara Kudus, saya bisa menyimpulkan Masjid Menara Kudus merupakan salah satu cerminan untuk masa sekarang bahwa kebudayaan kita sebenarnya memiliki daya saing yang cukup bagus. Semua itu hanya bisa terwujud dengan kreatifitas yang terus di asah, sehingga yang dikatakan budaya kita lain dari pada yang lain. Sebenarnya, sejak zaman dahulu, Indonesia telah menarik dunia. Indonesia kaya akan budaya, tapi kebudayaan itu tidak di “manfaatkan” secara maksimal seperti dulu. Kebudayaan itu bersifat dinamis dan fleksibel. Kita bisa memodifikasi budaya luar yang di anggap baik dan menguntungkan dengan memasukan budaya sendiri sebagai kiblatnya. Hal tersebut bisa menambah ketertarikan mata dunia terhadap kita, sama halnya dengan kreatifitas mereka yang dulu telah membuat kita yang hidup sekarang terkagum-kagum atas karya mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Fanami, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta : Penerbit Bentang.
Pratama, Galih. 2012. Menara Masjid Kudus. (blogspot.karambaartmovement.com; Makassar, 19 Mei 2013; Pukul 14.43 WITA).
wordpress.alhazami.com. Sejarah Menara Masjid. (Makassar, 19 Mei 2013; Pukul 15.02 WITA).
www.wikipedia.com/masjid_menara_kudus. Makassar, 19 Mei 2013; Pukul 14.42 WITA.
Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press.

Teori-Teori Umum dalam Arkeologi


Pembagian Masa Prasejarah
1.    Berdasarkan Teknologinya menurut C.J. Thomsen
Christian Jurgensen Thomsen (29 Desember 1788 – 21 Mei 1865) adalah seorang antiquarian (ahli barang-barang antik) asal Denmark. Thomsen terlahir di keluarga pedagang kaya, sejak kecil ia sudah berurusan dengan benda-benda yang memiliki gaya yang berbeda-beda dan ia mulai sadar akan adanya perubahan gaya pada suatu benda karena waktu yang terus berjalan.
Pada tahun 1816, ia menjadi kepala Museum Nasional Denmark dan sejak saat itulah ia mulai memilah-milah temuan-temuan yang ada di sana berdasarkan teknologinya. Teorinya yang sangat terkenal hingga saat ini adalah tentang sistem tiga zaman (three age system). Sistem tiga zaman dicetuskan pertama kali oleh Thomsen pada tahun 1836. Thomsen membagi masa prasejarah menjadi tiga zaman karena pada saat itu, belum ada pengklasifikasian temuan yang jelas dan sesuai yang ia telah simpulkan bahwa gaya teknologi pada temuan berbeda satu dengan yang lain karena masanya berbeda pula.
Menurut Thomsen, masa prasejarah dibedakan menjadi tiga zaman yaitu, Zaman Batu, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Zaman Batu merupakan masa prasejarah dimana teknologi yang digunakan sebagian besar masih menggunakan batu, disamping mereka menggunakan tulang dan kayu. Pada tahun 1865, Zaman Batu milik Thomsen kemudian dikembangkan oleh arkeolog asal Inggris bernama Sir John Lubbock, yang menambahkan Periode Paleolitikum (Batu Tua) dan Neolitikum (Batu Muda). Kemudian, seorang antropolog perancis bernama J. Allen Brown mengatakan bahwa ada rentang waktu yang panjang dari Paleolitikum ke Neolitikum dan proses waktu yang membuat gaya teknologi berubah, dalam artian memiliki ciri kedua teknologi dari dua periode yang di ajukan oleh Lubbock. Maka dari itu, di antara Periode Paleolitikum dan Neolitikum, ada periode yang disebut sebagai Periode Peralihan yaitu Periode Mesolitikum (Batu Madya).
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Zaman
Periode
Teknologi
Zaman Batu
Paleolitikum
Teknologi yang mereka gunakan masih menggunakan batu, tulang hewan, dan kayu sebagai bahan dasarnya, bentuknya masih kasar dan ukurannya agak besar. Alat-alat yang dihasilkan antara lain, kapak genggam dan kapak perimbas.
Mesolitikum
Teknologinya lebih maju dari zaman paleolithik, dari segi ukuran yang lebih kecil dari zaman sebelumnya dan lebih hasil. Alat-alat yang dihasilkan antara lain, tombak, mata panah, dan busur.
Neolitikum
Teknologi yang digunakan disesuaikan dengan tata cara hidup mereka. Pada zaman ini, tembikar sudah ditemukan. Alat-alat yang terbuat dari batu antara lain, kapak lonjong dan kapak persegi.
Zaman perunggu
Tembaga
Teknologi yang digunakan terbuat dari tembaga, seperti kapak corong.
Perunggu
Teknologi yang digunakan terbuat dari perunggu, seperti kapak corong dan nekara perunggu. Peralatan ini berhubungan dengan religi.
Zaman Besi
Besi merupakan bahan dasar dari teknologi yang digunakan pada zaman ini. Biasanya, peralatan yang dihasilkan pada zaman ini berhubungan dengan peralatan perang, seperti pedang, tameng, baju zirah, dll.

Thomsen melihat masa prasejarah dengan kacamata orang Eropa yang tinggalan arkeologisnya sangat jelas perbedaanya, sehingga masa prasejarah menurut Thomsen dibedakan berdasarkan teknologinya. Jika di Eropa memiliki batas-batas yang jelas, bagaimanakah dengan Indonesia?

2.    Berdasarkan Sosial Ekonominya menurut R.P. Soejono
Raden Pandji Soejono (27 November 1926 – 16 Mei 2011) merupakan seorang arkeolog asal Indonesia yang bergelar “Bapak Prasejarah Indonesia”. Berkat kegigihannya, arkeologi Indonesia yang pada awalnya berciri amatiran menjadi satu cabang ilmu pengetahuan dalam kegiatan yang diatur sesuai standar internasional. Berkat kegigihanya pula, arkeologi Indonesia menjadi nasionalistik dan mandiri. Lembaga yang (pernah) dipimpinnya pun, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjadi pusat penelitian yang disegani di dunia internasional.
Kiprah R.P. Soejono di bidang arkeologi prasejarah dimulai tahun 1950, ketika empat mahasiswa Universitas Indonesia membuat kesepakatan. Soekmono dan Satyawati Soelaiman, dua dari empat mahasiswa pertama jurusan sejarah kuno dan ilmu purbakala, memilih bidang klasik (masa Hindu-Buddha). Boechari memilih bidang epigrafi (ilmu tentang prasasti). Soejono sendiri memilih bidang prasejarah.
Tiga bidang yang dirintis tahun 1950 itu menonjol dalam pengkajian arkeologi di Indonesia, khususnya masalah kepurbakalaan yang ditangani ahli-ahli Indonesia. Menyusul kemudian Uka Tjandrasasmita yang mengambil spesialisasi bidang Islam. Empat bidang berdasarkan periodesasi itu—prasejarah, klasik, Islam, dan epigrafi—tetap bertahan hingga kini.
Mulanya, Soejono mengambil jurusan sejarah. Karena dianggap kurang cocok, dia pindah ke arkeologi. Tentang arkeologi, dia mengutip cendekiawan Denmark, Worsaae. Bangsa yang menghargai dirinya sendiri dan kemerdekaannya tidak mungkin puas dengan hanya memandang kepada masa kininya. Dia harus memberikan perhatian kepada masa-masa lampaunya.
Soejono pernah menjabat Kepala Puslit Arkenas periode 1977-1987. Saat itu Puslit Arkenas menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun saat ini Puslit Arkenas masuk ke dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Namanya pun diembel-embeli Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Soejono tidak setuju dengan hal tersebut. Arkeologi di Indonesia dipandangnya sudah ”mati suri”. Akibatnya menurut Soejono, penelitian tidak lagi seramai tahun-tahun 80-an. Arkeologi disempitkan dalam sisi manajemen, sedangkan ilmunya tidak. Mengembangkan dan memperkenalkan kekayaan alam dan manusia Indonesia memang perlu, tetapi yang tidak kalah penting adalah isi, ilmu yang menjadi sarana dan fondasi awal mula suatu masyarakat modern Indonesia.
Menjawab pertanyaan sebelumnya tentang masa prasejarah di Indonesia, Soejono sangat berbeda dengan Thomsen yang mengklasifikasikan masa prasejarah berdasarkan teknologinya, tetapi Soejono lebih mengarah ke Sosial Ekonomi dalam masyarakat. Beliau berpendapat bahwa teknologi prasejarah di Indonesia sangat berbeda dengan yang ada di Eropa. Secara teknologi, masa prasejarah Indonesia tidak memiliki rentang waktu yang jelas karena teknologi yang ada di Periode Paleolitikum masih digunakan hingga Periode Mesolitikum. Akan tetapi, dilihat dari Sosial Ekonominya, Soejono dapat membagi masa prasejarah menjadi empat periode yaitu, Periode Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana, Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut, Bercocok Tanam, dan Perundagian.
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Periode
Kehidupan

Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Berburu dan mengumpulkan makanan secara sederhana,  nomaden (berpindah-pindah).

Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Masih sama dengan di atas, hanya saja kehidupan pada masa ini sudah dimungkinkan untuk tinggal menetap.


Bercocok Tanam
Pada masa ini, kehidupan ditandai dengan pengolahan tanah (bertani) dan juga penjinakan hewan (memelihara). Mereka tinggal menetap. Tinggalan yang menunjukan mereka menetap adalah sampah kerang-kerangan (kjokkenmodinger).

Perundagian
Pada masa ini, masyarakat sudah mengenal sistem irigasi dan sistem pemerintah hirarki (kerajaan). Pada masa ini, sistem religi sudah berkembang. Sistem religi yang dianut pada masa perundagian adalah Animisme dan Dinamisme.


3.    Berdasarkan Skala Masyarakatnya Menurut Elman R. Service
Elman Rogers Service (18 Mei 1915 – 14 November 1996) adalah seorang antropolog budaya asal Amerika Serikat. Beliau memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1941 dari University of Michigan. Dia mendapatkan gelar Ph.D. untuk Ilmu  Antropologi dari Universitas Columbia pada tahun 1951 dan mengajar di sana 1949-1953. Kemudian, Service kembali ke University of Michigan untuk mengajar dari tahun 1953 sampai 1969. Dia kemudian mengajar di University of California di Santa Barbara 1969-1985, kemudian setelah itu, ia pensiun.
Elman Service meneliti etnologi, evolusi budaya, dan teori dan metode dalam etnologi di Amerika Latin. Ia belajar evolusi budaya di Paraguay dan belajar budaya di Amerika Latin dan Karibia. Dalam studinya, ia menghasilkan teori tentang sistem sosial dan munculnya negara sebagai suatu sistem organisasi politik. Elman Service mengklasifikasikan evolusi sosial menjadi empat tingkatan organisasi politik yaitu, Bands, Tribes, Chiefdom, dan State.
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Jenis Kelompok
Ciri-ciri dan Skala Masyarakatnya
Bands
Jumlahnya kurang dari 100 orang, hidupnya nomaden dan sumber makanannya berasal dari lingkungan tempat tinggalnya, sistem pemerintahan tidak formal, dalam satu kelompok masih memiliki hubungan kekeluargaan.
Tribes
Sudah berkembang dari kehidupan yang sebelumnya. Jenis kelompok ini sudah mengenal sistem bercocok tanam dan beternak. Jumlahnya lebih banyak dari bands tetapi kurang dari 1000 orang. Sudah mengenal sistem religi. Pemimpin biasanya seorang yang paling kaya diantara kelompoknya.
Chiefdom
Pada masa ini merupakan awal dari sistem kerajaan yang turun temurun (feodal) dimana kelompok mempunyai pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlak, ikatan gen, dan prestisenya sehingga rakyatnya memberi upeti kepada si pemimpin. Sudah ada pengklasifikasian masyarakat berdasarkan umur, keturunan, dan prestisenya. Jumlah masyarakat pada jenis ini berkisar antara 5000-20.000.
State
Pada masa ini, sistem feodal lebih kompleks, biasanya dipimpin oleh Raja atau Ratu. Kehidupan masyarakat dibedakan berdasarkan status sosialnya.

Pendekatan-Pendekatan Arkeologi menurut Brian M. Fagan
Fagan  membagi pendekatan-pendekatan arkeologi menjadi empat yaitu, Budaya, Struktural, Ekologi, dan Evolusi. Pendekatan secara material budaya menjelaskan bahwa arkeologi melihat dari sudut pandang perbedaan budaya. Hampir sama dengan pendekatan material budaya, pendekatan struktural melihat dari struktur masyarakat, dalam artian ada suatu ciri dalam tinggalan arkeologis dilihat dari tingkat kasta dalam masyarakat.
Pendekatan Ekologi mengkaitkan manusia dengan lingkungannya. Ekosistem mereka melibatkan lingkungan alam dan lingkungan sosial. Penyesuaian lingkungan dengan cara hidup mereka menghasilkan bentuk kebudayaan yang memiliki ciri. Contohnya, rumah adat yang menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Pendekatan Evolusi dikembangkan dari teori kebudayaan abad XIX. Pendekatan ini melihat dari proses evolusi yang panjang. Akibat adanya proses yang panjang menyebabkan adanya perubahan kebudayaan di dua tempat yang berbeda walau berada dalam satu waktu.

Teori-Teori Umum dalam Arkeologi
Berburu-Mengumpulkan Makanan
1.    Teori-Teori yang Menganggap Manusia Masih Primitif
Inti dari teori ini, beberapa pakar setuju kalau pada masa awal peradaban, manusia memiliki pemikiran yang masih sederahana. Tingkat kecerdasannya masih pada tingkatan evolusi yang paling rendah dan ada kemungkinan untuk punah.
2.    Teori-Teori Ekologi
Ahli-ahli arkeologi dan antropologi yang membantah teori manusia masih primitif mengatakan bahwa manusia sudah bisa memilih tempat untuk berteduh yang dekat dengan sumber makanan. Artinya, manusia sudah berpikir untuk mencari tempat bermukim yang baik dan kaya dengan sumber makanan.
3.    Teori-Teori yang Menganggap Kehidupan Masyarakat Sudah Optimal
Dalam teori ini, masyarakat sudah mencari sumber makanan secara optimal. Ada pengklasifikasian makanan pada masa itu dan sudah ada kemungkinan manusia untuk tinggal menetap karena pemikiran manusia sudah maju untuk mengelola sumber makanan secara efektif.
Domestifikasi
1.    Teori Oasis
Teori Oasis dicetuskan oleh Raphael Pumpelly pada tahun 1908, kemudian di kembangkan oleh Vere Gordon Childe pada tahun 1928. Teori ini menyatakan bahwa naiknya suhu bumi menyebabkan kekeringan dibeberapa daerah. Manusia pada saat itu harus berhubungan dengan hewan-hewan disekitarnya dan menyebabkan domestifikasi hewan seiring berjalannya proses bercocok tanam. Namun, saat ini teori ini memiliki kelemahan karena banyak arkeolog berpendapat bahwa pada masa bercocok tanam, iklim tidak kering, melainkan basah.
2.    Teori Sisi Bukit
Teori ini diusulkan oleh Robert Braidwood pada tahun 1948 yang memperlihatkan bahwa  pertanian dimulai pada sisi-sisi bukit dan pegunungan Taurus Zagros, di mana iklim tidak kering seperti yang Childe katakan dan tanah yang subur didukung berbagai tumbuhan dan hewan yang bisa didomestikasi.
3.    Teori Demografi
Teori-teori demografi diusulkan oleh Carl Sauer dan diadaptasi oleh Lewis Binford dan Kent Flannery yang mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup terjadi karena adanya kepadatan penduduk. Proses pemenuhan kebutuhan makin kompleks seiring bertambahnya populasi dalam suatu wilayah.
4.    Teori Overpopulation
Pada awalnya, masyarakat yang nomaden sudah bertambah jumlahnya dan mereka sudah berpikir bahwa mereka harus tinggal menetap. Menurut Cohen, proses domestikasi terjadi karena bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang banyak menyebabkan pemenuhan kebutuhan bertambah.
5.    Teori Koevolusioner
Teori ini mengatakan bahwa proses domestikasi merupakan hasil dari evolusi dan interaksi antara manusia, hewan, dan habitatnya. Manusia sudah mampu membagi lokasi-lokasi sekitarnya berdasarkan hasil interaksi. Teori ini di cetuskan oleh David Rindos.
6.    Hipotesis tentang Irigasi
Teori ini berkaitan pertambahan jumlah penduduk. Disini, Wafftaggel lebih melihat proses dari chiefdom ke state. Wafftagel melihat bahwa chiefdom memiliki kecenderungan untuk berubah menjadi state dikarenakan sistem pengelolaan irigasi yang baik sehingga daerah tersebut menjadi subur.
7.    Hipotesis tentang Perang dan Batas Wilayah
Hipotesis ini mengatakan bahwa peperangan merupakan suatu cara singkat dari chiefdom menuju ke jenjang berikutnya (state). Peperangan merupakan cara paksa untuk merebut suatu wilayah sehingga terjadi pertambahan penduduk. Daerah yang sudah dikalahkan dalam perang akan dibatasi wilayahnya.

Relasi Antara Pendekatan dan Teori Arkeologi dengan Pembagian Masa Prasejarah menurut Para Ahli.

Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode pustaka, kami menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara pendekatan dan teori arkeologi dengan pembagian masa prasejarah menurut para ahli. Berikut akan diuraikan dalam tabel dibawah ini.
Pembagian Masa Prasejarah
C.J. Thomsen
R.P. Soejono
Elman Service
Teori
Pendekatan
Batu
Paleolithik
Berburu Tingkat Sederhana
Bands
Teori Primitif
Teori Ekologi
Teori Optimal
Teori Oasis
Teori Demografi
Teori Koevolusioner
Pendekatan Material Budaya
Pendekatan Ekologi

Mesolithik
Berburu Tingkat Lanjut
Neolithik
Bercocok Tanam
Tribes
Teori Oasis
Teori Sisi Bukit
Teori Demografi
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi
Perunggu
Tembaga
Perundagian
Chiefdom
Teori Sisi Bukit
Teori Demografi
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Hipotesis Irigasi
Pendekatan Struktural
Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi
Perunggu
Besi
State
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Hipotesis Irigasi
Hipotesis Perang dan Batas Wilayah
Pendekatan Material Budaya
Pendekatan Struktural
Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi

DAFTAR PUSTAKA
Basid, Abdul. 2011. R.P. Soejono, Bapak Prasejarah Indonesia. (blogspot.penapagi.com; diakses di Makasaar, 27 Mei 2013; Pukul 22.10 WITA)
Colin, dkk. 1991. Archaeology Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Sumantri, Iwan. 2004. Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Susanto, Djuliuanto. 2011. Tokoh Arkeologi: Prof. DR. R.P. Soejono. (blogspot.majalaharkeologi.com; diakses di Makassar, 27 Mei 2013; Pukul 22.11 WITA)
www.wikipedia.com