Monday, September 30, 2013

ArchaeOpinion

Fort Rotterdam : Bertahan dari Guratan Para Vandalis

Makassar, sebuah kota yang katanya sedang menuju ke arah world class dengan pembangunan yang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah di segala aspek, dari perekonomian hingga penataan kota. Objek wisata Kota Makassar juga dipublikasikan oleh Pemda untuk menarik minat para wisatawan domestik maupun wisatawan asing, disamping memperkenalkan Kota Makassar itu sendiri, hal tersebut juga menambah pendapatan daerah[1]. Kegiatan-kegiatan yang bersifat internasional juga banyak diselenggarakan di Makassar dan pemilihan tempat untuk kegiatan-kegiatan tersebut biasanya adalah tempat-tempat wisata yang terkenal di Makassar.
Meskipun demikian, ada beberapa masalah-masalah yang muncul dipermukaan dan berdampak negatif bagi objek-objek wisata tersebut, terutama situs-situs bersejarah yang dijadikan objek wisata. Banyak perlakuan-perlakuan yang bersifat merusak situs-situs tersebut seperti mencungkil, menggores, ataupun mencoret-coret dinding bangunan/ struktur situs bersejarah.
Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang vandalisme yang dilakukan oleh para pengunjung pada situs bersejarah di Makassar, yaitu Fort Rotterdam. Tulisan ini erat kaitannya dengan pengelolaan Fort Rotterdam dan juga konservasi yang telah dilakukan di tempat ini.

Fort Rotterdam, Dahulu Hingga Sekarang
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Hingga sekarang, sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar (Asmunandar, 2008 : 144). Beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar.
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.

Vandalisme di Fort Rotterdam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal adalah perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Vandalisme biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan momen, tapi dengan cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui “karyanya”. Biasanya, coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para vandalis (orang yang melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/ simbol suatu kelompok, atau kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek vandalisme, tentu saja adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang.

Beberapa contoh coretan vandalisme pada bangunan Fort Rotterdam, 2013

Fort Rotterdam yang merupakan objek wisata juga tidak luput dari serangan tangan-tangan jahil para vandalis. Hampir setiap sudut, terutama pada bagian tenggara hingga ke bagian timur laut dihiasi dengan coretan-coretan tidak bertanggung jawab dari vandalis. Tidak hanya coretan dengan menggunakan spidol, namun para vandalis mengukir tembok-tembok Fort Rotterdam dengan benda yang tajam sehinnga seakan-akan mirip dengan “prasasti”.
Pada sore hari, pengunjung mulai ramai mengunjungi Fort Rotterdam dan rata-rata pengunjung Fort Rotterdam masih berstatus pelajar SMP atau SMA, mungkin menjadikan momen sore hari mereka sebagai pelepas lelah setelah seharian berpeluh dengan pelajaran. Nah, pada jam-jam inilah biasanya para vandalis mulai beraksi. Seorang petugas keamanan di Fort Rotterdam bernama Yusuf mengaku pernah memergoki beberapa pengunjung yang mencoba mencoret dinding bangunan tersebut. Setelah itu, mereka dibawa ke pos petugas keamanan untuk diberikan teguran dan nasihat agar tidak melakukan hal tersebut.
Menurut bapak yang  bekerja sebagai petugas keamanan Fort Rotterdam sejak 10 tahun yang lalu ini, kebanyakan pelaku kegiatan vandalisme tersebut adalah pasangan muda-mudi yang statusnya masih pelajar. “Biasanya, mereka coret-coret dinding ketika benteng sudah mau ditutup[2]”, begitu ujarnya. Faktor ketidaktahuan dan ketidakpedulian pengunjung, khususnya wisatawan domestik terhadap pelestarian bangunan bersejarah membuat nilai historis bangunan tersebut lama-kelamaan akan hilang.
Selain pengunjung yang tidak peduli, sistem keamanan Fort Rotterdam juga sangat rentan, entah karena personilnya yang kurang ataukah memang malas. Menurut saya, pengelolaan Fort Rotterdam jauh dari maksimal karena sepertinya ada bagian-bagian dari Fort Rotterdam yang mengalami perusakan namun tidak cepat ditangani, walaupun itu hanya perlu di lapisi saja dengan sedikit semen.

Dampak-Dampak Vandalisme
Setelah mengetahui bahwa vandalisme merupakan tindakan yang merusak, tentu saja ada dampak-dampak yang negatif, baik bagi situs Fort Rotterdam maupun lingkungan sekitar situs. Dampak negatif bagi bangunan tersebut adalah kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh para vandalis, bila tidak cepat ditangani, akan membuat bangunan ini semakin tidak terawat dan lama-kelamaan akan rusak secara bertahap hingga tidak satupun bagian dari Fort Rotterdam yang terjaga keasliannya.
Selain objek pariwisata, Fort Rotterdam juga merupakan sumber daya arkeologi yang perlu dijaga kelestariannya. Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa (Aldi Mulyadi, 1999). Hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah yang dapat dilihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Tetapi, kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat jauh berbeda. Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

Masa Depan Fort Rotterdam
Fort Rotterdam sebagai objek wisata memang sangat bagus untuk dikembangkan, namun hal tersebut harus berbanding lurus dengan pelestariannya. Percuma saja jika setelah dibenahi lalu tidak dirawat, lama-kelamaan akan rusak dan habis sehingga tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Vandalisme bisa dihentikan dengan memberikan pemahaman kepada para pengunjung bahwa bangunan-bangunan sejarah harus dilestarikan dan merupakan corak kebudayaan bangsa. Selain itu, perlu juga kesadaran dari masyarakat itu sendiri karena masyarakatlah yang sebenarnya harus memahami kalau bangunan-bangunan tersebut milik mereka.
Fort Rotterdam bukan hanya warisan Belanda, tapi adalah peninggalan dari Kerajaan Gowa yang dimodifikasi sedikit oleh orang-orang Belanda. Jangan sampai kita mencap bahwa Fort Rotterdam ini tidak memiliki nilai historis hanya karena bangunan ini tidak “Indonesia” sekali. Perasaan acuh tak acuh yang sering muncul harus dilawan dengan pengetahuan agar tidak semena-mena terhadap sesuatu.
Benteng pertahanan yang dulu berjaya pada masanya, bertahan terhadap meriam-meriam musuh, kini harus bertahan dari guratan-guratan para vandalis dari kampung sendiri. Bagaimana sikap kita sebagai arkeolog melihat sumber daya arkeologi yang makin lama tergerus oleh perlakuan yang tidak benar. Sebenarnya, kota dan masyarakatnya yang akan kehilangan jati diri jika bangunan-bangunan tersebut hilang, sikap kita sebagai arkeologlah yang merangkul masyarakat kota agar tidak kehilangan jati diri mereka.

  

Catatan Kaki :

[1] Biasanya, objek-objek wisata (terkhusus yang berada dibawah naungan Pemerintah Daerah) tersebut dikenakan tarif masuk.
[2] Jam tutup Fort Rotterdam sebenarnya adalah jam 5 sore, tetapi kadang sampai setengah 6 sore karena tingkah pengunjung selalu ingin tetap berada di situs untuk kepentingan pribadi seperti mengambil gambar pada saat sunset.

Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel pribadi.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV). Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

Thursday, September 19, 2013

Peradaban Neolitik Mallawa


Prasejarah di Sulawesi Selatan sudah terkenal hingga ke mancanegara, terutama daerah yang banyak ditemukan situs-situs prasejarah yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Topografinya juga sangat menarik karena selain panorama alam yang indah juga disuguhkan dengan pemandangan megah gugusan karst yang merupakan gugusan karst terpanjang kedua di dunia setelah Cina. Gua-gua prasejarah yang mencirikan pola hidup semi-menetap, banyak ditemukan pada bukit-bukit karst di Maros-Pangkep. Selain itu, teknologi yang dapat diidentifikasi dari temuan-temuan disana kebanyakan berasal dari masa Paleolitik awal dan Paleolitik akhir dengan ciri-ciri alat batu yang belum diupam (dihaluskan). 
Kali ini, penulis akan memberikan sedikit informasi mengenai situs prasejarah di Sulawasi Selatan yang temuan-temuannya memiliki teknologi pembuatan hampir sama, namun ada yang telah diupam dan kebanyakan temuan-temuan tersebut mengindikasikan pola hidup bertani (neolitik). Situs ini diberi nama Situs Mallawa.
Situs neolitik Mallawa secara administratif membentang dari Kelurahan Sabila, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros hingga Desa Polionro, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Secara geografis berada di titik koordinat antara 040 50’ 25.1” – 040 51’ 14.8” Lintang Selatan dan 1190 55’ 37.9” – 1190 56’ 20.2” Bujur Timur pada ketinggian antara 270 – 393 meter diatas permukaan laut, dengan luas keseluruhan 14,26km2.
Pada situs ini, ditemukan beberapa tinggalan arkeologis berupa artefak batu dengan berbagai jenis dan bahan pembuatan, serta fragmen tembikar dalam kondisi tersebar dan hanya terkonsentrasi pada beberapa titik saja. Situs Mallawa merupakan situs peradaban neolitik, jadi, tinggalan arkeologis yang banyak ditemukan di situs ini merupakan artefak batu yang berhubungan dengan teknologi pertanian seperti beliung, namun, adapun tinggalan arkeologis yang berasal dari masa sebelumnya, yaitu paleolitik dan mesolitik. Ini bisa dilihat dari teknologi pembuatan. Ada tinggalan arkeologis yang pembuatannya masih kasar dan adapula tinggalan arkeologis yang sudah dihaluskan (upam).
Artefak batu yang dijumpai di situs ini tidak semua dalam kondisi sempurna, sebagian ada yang berupa fragmen. Bentuk fragmen yang ditemukan ada yang hanya bagian mata, tengah, dan pangkal. Warnanya pun bervariasi, mulai dari hitam hingga coklat. Adapun jenis artefak batu yang ditemukan di situs ini yaitu, alat serpih, kapak, beliung, pahat, tatab-pelandas, batu asah, batu inti (core), dan limbah. Adapun jenis kapak batu yang ditemukan, seperti kapak genggam dan kapak persegi berasal dari masa yang berbeda yaitu mesolitik dan neolitik. Kapak dan beliung memang memiliki kesamaan, namun khusus pada temuan di Situs Mallawa, sebagian ahli menggolongkannya ke dalam tipe beliung persegi karena bentuknya yang memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagian permukaan biasanya diupam menyisakan bagian pangkal sebagai tempat ikatan tangkai. Penajaman dilakukan dengan mengasah dibagian ujung permukaan bawah ke arah pinggir permukaan atas. Melalui teknik ini diperoleh tajaman yang miring karena pemangkasan diutamakan pada salah satu sisi mata tajaman. Di Situs Mallawa, ada beberapa temuan dalam kondisi yang patah pada bagian pangkal atau tajaman.
Kemudian yang paling banyak ditemukan adalah alat serpih. Teknologi pembuatan alat serpih tersebut dapat dilihat dari permukaan artefak yang masih kasar maupun sudah dihaluskan. Dimensi artefak bervariasi dengan panjang antara 2,4cm hingga 5,7cm, lebar antara 2cm hingga 5,3cm, dan ketebalan antara 0,5cm hingga 3cm. Warna bahan bervariasi yaitu putih, abu-abu, putih kekuningan, kuning, jingga, krem, merah, dan coklat.
Pada situs ini juga ditemukan lumpang batu yang mencirikan kehidupan masyarakat agraris. Lokasinya berada pada punggungan-punggungan bukit dengan kondisi geografis yang berupa sabana (padang rumput). Umumnya, lokasi-lokasi temuan merupakan lahan gundul atau berada di puncak-puncak bukit, diduga, tempat tersebut pernah diolah sebagai lahan bercocok tanam.
Selain artefak dari batu, juga ditemukan artefak berupa fragmen tembikar di situs ini, walaupun dalam kondisi tersebar dan jumlahnya sangat sedikit. Pada umumnya, fragmen tembikar yang ditemukan di situs ini berukuran sangat kecil dan tipis namun kuat serta permukaannya yang halus.
Melihat kondisi alam yang merupakan bukit sabana, ada kemungkinan dilakukan kegiatan bertani dan ketidaktahuan masyarakat mengenai benda-benda arkeologis akan membuat situs ini akan hilang/ punah. Walaupun temuan-temuannya tidak selengkap temuan-temuan yang ada di situs neolitik Kalumpang, namun setidaknya situs di Mallawa memberikan sedikit pandangan berbeda soal situs-situs prasejarah yang selama ini kita kenal, selalu di kaitkan dengan gua-gua karst di Maros-Pangkep.
Sebagai arkeolog, bagaimana pandangan kita terhadap situs neolitik di Mallawa? Disatu sisi, situs neolitik Mallawa merupakan lumbung data prasejarah yang kita butuhkan dan lestarikan, di sisi lainnya, masyarakat perlu menggarap tanah demi kelangsungan hidup. Sebaiknya, bagaimanakah konservasi yang harus kita lakukan karena tidak mungkin kita melarang yang empunya tanah untuk mengelola tanahnya sendiri? Adakah diantara kita yang ingin membuat terobosan atau berbagi pemikirannya mengenai konservasi yang tidak memberatkan kedua belah pihak?
Ditunggu....

Tuesday, September 17, 2013

ArchaeoGraphic

Fort Rotterdam:
Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah
Oleh Peniel Chandra

a.  Pendahuluan
Makassar, sebuah kota pesisir pantai yang menawarkan pemandangan yang cukup indah. Tidak hanya menyajikan pemandangan, Makassar memiliki kekhasan daerah yang eksotis dan juga bangunan-bangunan kuno  yang memiliki nilai sejarah, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan Eropa di film-film era ‘70an. Salah satunya yaitu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial, kemudian pada masa sekarang menjadi objek wisata, Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros, memiliki luas areal 28.595,55 m2 dengan luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2, Benteng Rotterdam denah dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah barat menghadap ke laut dan pintu kecil di sebelah timur. Bagian tembok dinding yang tertinggi 7 m dan bagian yang terendah 5 m, dengan ketebalan dinding 2 meter. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.  Sekilas dinding-dinding tembok benteng berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat, mengitari sepanjang tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata warna kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar. Di bagian utara, timur dan selatan Benteng Rotterdam dikelilingi oleh bangunan perkantoran maupun perumahan. Bahkan, di dinding bagian timur digunakan penduduk sebagai bagian dari dinding rumahnya. Hal ini menyebabkan beberapa bagian dinding benteng mengalami kerusakan (Asmunandar, 2008 : 144).
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tat letak, gaya, bahan dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis mencoba menelisik hal ini dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba diterapkan dalam Benteng Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.

b. Pengelolaan Fort Rotterdam
Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa tidak luput dari perhatian pemerintah, hal tersebut dapat terlihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Pengelolaan situs Fort Rotterdam adalah salah satu perwujudan fisik dari usaha pelestarian sumberdaya arkeologi yang tidak hanya menyangkut tata ruang arkeologis tetapi juga menyangkut akan  tatanan nilai dalam masyarakat. Oleh karena hal tersebut pengelolaan situs Fort Rotterdam harus dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Pendayagunaan tata ruang lahan situs Fort Rotterdam dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat diaplikasikan dalam bentuk taman purbakala sebagaimana yang telah diterapkan pada situs Candi Borobudur (Aldi Mulyadi, 1999) .
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski demikian, Benteng Rotterdam maupun Museum La Galigo tetap saja dapat dinikmati setiap pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Cagar budaya Benteng Rotterdam  tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk mensejahterakan dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk menjaga harmoni dan pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama halnya dengan Museum La Galigo. Bukan hanya sebagai tempat untuk memamerkan peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian. Tetapi Museum La Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk mencerdaskan bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.

c.   Fort Rotterdam sebagai Objek Wisata
Faktor pendukung suatu tempat dijadikan objek wisata adalah nilai estetika tempat tersebut. Semakin indah, maka semakin banyak pengunjung. Fort Rotterdam sebagai objek pariwisata memang mempunyai nilai lebih seperti gaya bangunan kuno yang megah dan letaknya yang stratetis karena berada di daerah pesisir pantai sehingga para pengunjung lokal maupun turis selalu ramai berdatangan.
Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam. Peningkatan pada pertengahan tahun 2013 memang yang paling menanjak karena juga bertepatan dengan masa liburan sekolah.
Hingga pada hari ini, wisatawan terus berdatangan ke Fort Rotterdam dan jumlahnya semakin bertambah dengan adanya kegiatan ekskavasi di bagian selatan Benteng ini. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari dengan mendatangkan tenaga ahli dari Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Mundardjito. Ekskavasi yang dilakukan di Fort Rotterdam rupanya menarik minat pengunjung yang rata-rata pelajar. Salah satu pengunjung mengaku bahwa baru kali ini melihat penggalian yang begitu lama dan rumit. “Seperti di film National Geographic, keren!”, tegasnya.
Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Gagasan mengenai nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga dikemukakan oleh James Semple Kerr (1983). Menurutnya, nilai penting bangunan kuno atau lingkungan bersejarah dilihat dari beberapa nilai yakni; nilai sosial, jika sebuah bangunan bermakna bagi masyarakat; nilai komersil, sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan peranannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Asmunandar, 2008 : 167). Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki spot yang indah, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku bagi para budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

d.    Penutup
Perkembangan masyarakat ke arah modern semakin membuat kita melupakan sejarah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Fort Rotterdam dari tahun ke tahun membuktikan bahwa masyarakat awam biasanya menganggapnya sebagai objek wisata semata. Soal vandalisme di Fort Rotterdam sama halnya yang terjadi pada situs-situs lainnya, masalahnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bangunan kuno yang harus kita lestarikan. Semakin lama, tanpa adanya rasa ingin tahu, tentu saja, Fort Rotterdam hanyalah sekedar tempat melepas lelah di akhir minggu.
Selain itu, Pemerintah Kota tidak begitu memperhatikan hal-hal yang seperti ini. Seperti yang penulis kutip dari seorang arkeolog, Iwan Sumantri, beliau mengatakan bahwa negara berkembang biasanya lebih fokus pada permasalahan ekonomi, beda dengan negara maju yang sudah maju perekonomiannya sejak lampau dan pada masa sekarang, mereka kembali kepada kebudayaan mereka.
Harapan penulis tentang Fort Rotterdam, kiranya pengelolaanya semakin baik, begitu juga dengan pelestariannya. Tidak hanya sebatas itu, masyarakat juga perlu tahu nilai penting dari sebuah bangunan kuno agar mereka juga ikut melestarikan sehingga anak cucu kita juga menikmati apa yang kita nikmati saat ini. Bukan hanya keindahannya, tapi nilai sejarah adalah yang paling penting.


Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (www.tribun_timur.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

Sunday, September 8, 2013

Flinders Petrie (1853-1942)

Sir William Matthew Flinders Petrie (3 Juni 1853 – 28 Juli 1942), merupakan seorang egyptolog asal Inggris dan juga pelopor metodologi sistematis dalam arkeologi serta pelestarian artefak. Dia adalah egyptolog pertama di Inggris dan telah melakukan penggalian (ekskavasi) di berbagai situs arkeologi di Mesir. Beberapa temuannya yang paling terkenal antara lain Prasasti Merneptah dan sistem pertanggalan berdasarkan lapisan keramik.


Kehidupan Pribadi
William Matthew Flinders Petrie lahir di Charlton, Kent, Inggris pada 3 Juni 1853, merupakan putra dari pasangan William Petrie dan Anne Flinders. Sejak kecil, Flinders tidak menjalani pendidikan formal seperti kebanyakan anak lainnya. Dia mempelajari semua hal dari ayahnya, mulai dari metode survei yang akurat hingga meyakinkan Flinders untuk menjadi seorang arkeolog. Dia mulai membicarakan tentang arkeologi sejak umur delapan tahun dan pada masa itu, ia sudah mempelajari tiga bahasa yaitu, Prancis, Latin, dan Yunani. 
Petrie menikah dengan Hilda Urlin pada 26 November 1896 dan dikaruniai dua orang anak yaitu, John Petrie dan Ann Petrie. Pada awalnya, mereka tinggal di Hampstead namun saat ia pensiun dari jabatan profesor pada tahun 1933, ia pindah dan menetap di Yerusalem.
Pada tahun 1942, Petrie meninggal dunia dan menyumbangkan kepalanya kepada Royal College of Surgeons, London, dan tubuhnya dimakamkam di Kompleks Pemakaman Mt. Sion. Saat itu, tengah terjadi Perang Dunia II sehingga kepala Flinders tertahan di tengah jalan. Kepalanya disimpan dan tidak pernah dipublikasikan oleh pihak Royal College of Surgeons, London.

Karir dalam Arkeologi
Pada masa remajanya, Petrie melakukan survei di monumen-monumen prasejarah di Inggris untuk memahami posisi geometrisnya (19 survei yang paling akurat adalah di Stonehenge). Pada awal tahun 1880, Petrie pergi ke Mesir untuk melakukan survei di Piramida Giza, menyelidiki bagaimana piramida ini dibangun. Hasil survei dan analisis tentang arsitektur Piramida Giza yang dipublikasikan adalah metodologi dan keakuratan survei, sangkalan terhadap teori-teori sebelumnya mengenai Piramida Giza, dan data-data terbaru mengenai Piramida Giza pada masa itu. Pada surveinya, ia sangat terkejut dengan kerusakan-kerusakan yang dialami oleh monumen-monumen piramida dan mumi. Dia menggambarkan Mesir seperti “rumah yang hancur” dan ia merasa harus menyelamatkan apa yang ada agar pengetahuan tentang piramida tidak hilang begitu saja.
Pada akhir tahun 1880, Petrie kembali ke Inggris dan menulis sejumlah artikel terkait surveinya di Mesir. Ia juga bertemu dengan Amelia Edwards, seorang jurnalis yang tertarik dengan Mesir dan bersedia membiayai ekskavasi Petrie selanjutnya di Mesir. 
Pada bulan November 1884, Petrie memulai ekskavasinya di Mesir. Ia melakukan penggalian di situs baru di Tanis dengan bantuan 170 pekerja. Walaupun Petrie adalah seorang yang amatir, ia sangat dikagumi oleh ahli-ahli yang lebih senior karena menghapuskan sistem mandor-buruh pada penggaliannya sehingga pekerja bisa bekerja tanpa tekanan.
Pada akhir penggalian di Tanis, ia memutuskan untuk keluar dari proyek dan pandanaan dan tetap tinggal di Mesir. Ia pergi ke situs pemakaman di Fayum dan menemukan makam yang utuh kemudian mengirimkan sebagian dari hasil dokumentasinya ke Egyptian Departemen of Antiquities. Namun pada akhirnya, Petrie marah akibat pengelolaan barang antik yang buruk dan menuntut agar barang-barang antiknya dikembalikan dan dipindahkan ke Museum Inggris.
Pada tahun 1890, Petrie melakukan ekskavasi di Tell el-Hesi, Palestina. Disana, ia menemukan kompleks pemakaman di Wadi al-Rababah, Yerusalem, dari zaman besi dan periode awal Kekaisaran Romawi. Pada tahun 1891, ia bekerja di Kuil Aten di Tell el-Amarna dan menemukan struktur trotoar taman seluas 300m2 dan beberapa relief.
Pada awal 1896, Petrie dan timnya melakukan ekskavasi di sebuah kuil di Luxor, kompleks pemakaman Amenhotep III. Setelah penggaliannya, ia menemukan dua kamar mayat. Petrie terus menggali hingga akhirnya ia menemukan sebuah prasasti yang memuat tentang pembuatan kuil oleh Merenptah, putra dari Ramses II. Selain itu, prasasti ini menggambarkan bagaimana Amenophis III dalam pertempuran antara Nubia dan Siria dan juga prestasi Amenhopis III atas pembangunan kuil tersebut. Proses penerjemahan prasasti ini dibantu oleh seorang egyptolog muda asal Jerman bernama Wilheim Spiegelberg. 
Pada tahun 1923, Petrie dianugerahi gelar bangsawan atas jasanya dalam kegiatan arkeologi dan egyptologi oleh Inggris. Petrie kemudian berfokus pada situs-situs di Palestina pada tahun 1926. Dia mulai melakukan ekskavasi diberbagai situs di sebelah barat daya Palestina, termasuk Tell el-Jemmeh dan Tell el-Ajjul.
Perekaman dan studi artefak memakai standar baru dalam arkeologi. Petrie menghubungkan gaya pada tembikar dengan periodenya, ia juga orang pertama yang menggunakan seration pada Mesir Kuno, sebuah metode untuk mengetahui kronologi sebuah situs. Flinders Petrie adalah sorang mentor dan pelatih bagi para egyptolog, salah satunya adalah Howard Carter.
Petrie menjadi sosok yang terkenal atas pemikirannya yang pro-eugenika dan opini yang obyektif mengenai topik-topik sosial yang ada seperti perdebatannya dengan egyptolog Museum British, E.A. Wallis Budge. Budge beranggapan bahwa agama di Mesir pada dasarnya identik dengan agama yang ada di timur laut dan tengah Afrika. Tetapi, Petrie menganggap bahwa kebudayaan Mesir Kuno berasal dari Kaukasia yang pada masanya menaklukan Mesir dan memperkenalkan sistem pemerintahan kerajaan/ Firaun.
Petrie adalah seorang pro-eugenika yaitu percaya bahwa tidak ada yang namanya inovasi budaya atau sosial masyarakat, melainkan perubahan sosial yang ada merupakan hasil dari perubahan biologis, seperti migrasi atau penaklukan oleh bangsa asing yang menyebabkan keberagaman ras.
Flinders Petrie juga seorang pemikir anti demokrasi Inggris dan seorang mukmin yang berdedikasi dalam superioritas Bangsa Utara atas Bangsa Latinate dan Selatan. Ia mengatakan bahwa pendapat Budge tentang orang Mesir Kuno adalah Bangsa Afrika sangat tidak ilmiah. Karya-karyanya yang pernah dipublikasikan antara lain: Tel el-Hesy. London: Palestine Exploration Fund; “The Tomb-Cutter’s Cubits at Jerusalem,” Palestine Exploration Fund QuQuarterly, 1892 Vol. 24: 24-35.

Daftar Pustaka
en.wikipedia.org. akses di Makassar, 7 September 2013; pukul 00.37 WITA
Hirst, Kris. 2013. Sir William Flinders Petrie (1853-1942). archaeology.about.com. (akses di Makassar, 7 September 2013; pukul 00.44 WITA)

Tuesday, September 3, 2013

SEJARAH EKSKAVASI

Menurut terminologinya, ekskavasi merupakan penggalian yang dilakukan di lokasi yang menyimpan tinggalan-tinggalan purbakala. Ekskavasi dalam arkeologi merupakan teknik kegiatan pengumpulan benda-benda dari dalam tanah untuk mengungkap kehidupan masa lampau.
Ekskavasi dilakukan pertama kali di Herculaneum pada tahun 1738 dan di pompeii pada tahun 1748 yang pada saat itu dibawah pemerintahan Raja Charles III dari Naples, Itali. Kemudian, pada tahun 1768, hasil-hasil temuan arkeologis yang ada di lokasi tersebut yaitu di Herculaneum dan Villa Papyrus dipublikasi. Hal tersebut semakin membuka pandangan masyarakat awam dan kalangan ilmuwan tentang peradaban-peradaban yang menakjubkan pada masa lalu.
Pada abad XVIII, munculah suatu pengembangan dari teori-teori maupun metode-metode yang dipakai para arkeolog sebelumnya, kini dikenal dengan nama Arkeologi Modern. Pencetusnya adalah Johann Joachim Winckleman. Mulailah metode dengan pendekatan empiris dan masuk dalam tataran makna untuk menyimpulkan temuan dan lingkungan sekitar temuan yang mendukung peradaban di tempat tersebut. Metode tersebut dikenal dengan nama Metode Arkeologi Modern.


Thomas Jefferson melakukan Ekskavasi pada tahun 1784. Metode yang ia gunakan memanglah yang terbaik pada masanya sehingga dia dijuluki “Bapak Arkeologi Modern”, tapi, metode tersebut belum begitu terstruktur dan masih bisa dikatakan serampangan.
Napoleon Bonaparte dan tentaranya melakukan ekspedisi lintas samudra pertama dengan mengunjungi Mesir pada tahun 1798 dan berakhir pada tahun 1801. Ekspedisi tersebut melibatkan para ilmuwan, biolog, ahli kimia, dan ahli bahasa. Salah satu krunya bernama Jean-Fracois Champolion menemukan batu rosetta dan berhasil memecahkan kode hierogliph pada batu tersebut. Disinilah awalnya muncul suatu cabang ilmu arkeologi, yaitu Egypthologi.
Ekskavasi pada masa awal tidak begitu sistematis. Tahun 1803, Thomas Bruce melakukan kritik terhadap Pangeran Elgin VII yang mengesahkan sebuah patung sebagai ciri peradaban kuno Yunani tetapi informasi yang terdapat dalam patung tersebut tidak mencirikan hal