Tuesday, September 9, 2014

Resensi Film CIVILISATIONS: The Masters of The River

Judul film        : CIVILISATIONS “The Masters of The River”
Alamat web     :
Genre              : Dokumenter
Sutradara         : Serge Tigneres, Tomomi Nagazawa
Narator            : Simon Chilvers

Film ini menceritakan tentang sisa-sisa peradaban kuno di sekitar Sungai Indus dan peradaban lain yang hampir hilang disekitar perbatasan Pakistan dengan India. Adapun sedikit diceritakan tentang peradaban Mohenjo-Daro pada pembukaan film dan penjelasan panjang tentang peradaban Dholavira .
Sisa-sisa reruntuhan Kota Mohenjo-Daro memperlihatkan kemajuan peradabannya. Mulai dari jalan-jalannya, sisa bangunannya yang memperlihatkan arsitektur yang sangat mengaggumkan. Kota ini mempunyai struktur irigasi yang sangat baik, memiliki 80 toilet umum, dan kamar mandi umum dengan ukuran yang sangat besar. Para arkeolog memperkirakan bahwa pada zaman dahulu, kota ini memiliki populasi yang cukup banyak.
Peradaban Dholavira juga hampir sama dengan peradaban Mohenjo Daro. Persamaan kedua peradaban ini adalah sama-sama mengenal system irigasi air yang sangat baik. Seorang arkeolog bernama Dr. RS Bisht melakukan ekskapasi di reruntuhan peradaban Dholavira. Kota Dholavira dikelilingi oleh tempat penampungan air seluas 250.000 m3. Kota ini diperkirakan memiliki luas 48 Ha dan jumlah populasi ±20.000 orang. Kota ini memiliki beberapa dinding yang melindungi pusat kota dimana dinding utama yang berada di pusat kota memiliki ketebalan yang lebih daripada yang berada di bagian luar. Kota ini juga memiliki banyak taman. Ada tinggalan arkeologis dari peradaban kuno Dholavira yang masih digunakan hingga saat ini, yaitu sumur yang memiliki persediaan air cukup banyak. Sumur itu dipakai oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari, seperti air minum, mencuci, dan keperluan lainnya. Sekitar 5000 tahun yang lalu telah terjadi kemarau dan populasi meningkat cepat sehingga kebutuhan air pun bertambah. Itu sebabnya, sumur itu dibuat agar kebutuhan air masyarakat terpenuhi.
Setiap tahunnya, khususnya pada bulan Juli, banjir akan melanda daerah sekitar Pakistan. Hal ini di akibatkan salju di Gunung Himalaya mencair. Para arkeolog menemukan cara orang-orang dimasa lampau mengatasi banjir. Mereka menemukan sebuah struktur, mirip seperti tempat penampungan air. Tempat penampungan air itu terhubung satu sama lain. Penampungan air itu terhubung melalui saluran irigasi sepanjang 79 m dan kedalaman 7 m.
Ada beberapa struktur irigasi yang memperlihatkan kehebatan para arsitek pada zaman dahulu.
Sudah empat tahun para arkeolog berusaha memecahkan misteri, mengapa masyarakat Dholavira membuat saluran irigasi untuk air sungai dan untuk air hujan. Bagi orang-orang Dholavira, air merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupannya. Para arkeolog menemukan suatu tempat pemujaan berupa sumur dengan ukuran diameter: 4 m dan kedalaman: 20 m. Tempat ini semacam tempat pengorbanan, dimana para gadis akan menenggelamkan dirinya di sumur ini. Ada semacam batu loncatan di sisi mulut sumur, tempat untuk meloncat.
Adapun sisa-sisa sungai didaerah perbatasan Pakistan dan India, disebut sebagai Haga Hakka. Dr. KS Nauriyal menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, ada sungai di sebelah timur Sungai Indus yang memiliki peradabannya tersendiri. Ditempat itu juga terdapat reruntuhan saluran air yang diduga terhubung dengan sungai. Para geolog memperkirakan bahwa 4000 tahun yang lalu telah terjadi gempa yang mengakibatkan sungai menghilang dan menciptakan aliran air bawah tanah. Tinggalan arkeologis di Haga Hakka berupa artefak batu dengan ukuran tinggi rata-rata satu meter yang merupakan bagian dari struktur irigasi aliran air.
Selain sistem irigasi, ada beberapa tinggalan yang diduga merupakan suatu bagian permainan kuno, yang terbuat dari bahan semacam kaca dan logam. Ada juga gerabah dan cetakan tanah liat yang memiliki bentuk-bentuk yang unik. Motif-motif yang digunakan pada ukiran-ukiran gerabah kebanyakan menceritakan tentang kehidupan sehari-hari di tempat tersebut dan hewan-hewan di sekitar tempat tersebut, seperti badak, kuda, buaya, dll. Para arkeolog mengidentifikasikan sekitar 400 simbol yang ditemukan pada cetakan dan ukiran-ukiran pada gerabah. Simbol-simbol itu diperkirakan merupakan huruf-huruf kuno.
Sekitar tahun 1999, para arkeolog menemukan sebuah prasasti di Dholavira yang berisi simbol-simbol, mungkin memiliki kaitan dengan peristiwa bersejarah kala itu. Diperkirakan, prasasti itu dibuat sekitar 4000 tahun yang lalu.
Berdasarkan temuan-temuan yang telah berhasil dikumpulkan, kita bisa melihat apa yang terjadi pada masa lampau, suatu keajaiban dari kecerdasan manusia. Adapun relief yang menggambarkan sebuah perahu. Bisa dikatakan bahwa manusia sudah mengenal perahu sejak dahulu kala dengan sistem navigasi yang sudah baik. Serge Cleuziou, seorang peneliti asal Prancis menjelaskan bahwa mereka melakukan pelayaran ke Mesir.
Seorang arkeolog bernama Dr. Walid Yasin, meneliti suatu tempat di arab yang memiliki bangunan dengan bentuk tabung yang di dalamnya berisi banyak keramik. Ada kesamaan antara simbol-simbol yang ada di Dholavira dengan yang ada di tempat tersebut.
Selain itu, ada seorang arkeolog yang meneliti di daerah Bahrain bernama Dr. Khaled al-Sendi menemukan sejumlah keramik yang memiliki kesamaan dengan keramik peradaban kuno Sungai Indus.
Film ini cukup menggambarkan dengan indah kota-kota peradaban Sungai Indus yang runtuh, dan juga mengungkapkan peradaban lain di Sungai Haga Haka yang hilang.

Hal menarik dari film ini yaitu penyajiannya yang sangat edukasi dan memiliki nilai kultural. Menurut saya, film ini bisa dijadikan referensi yang sangat bagus, terutama dalam menyusun sebuah makalah atau laporan menyangkut kebudayaan kuno Sungai Indus. Kelebihan film ini adalah penejelasan mengenai peradaban Sungai Indus yang kronologis. Dalam film ini juga dijelaskan hal-hal yang selama ini menjadi misteri telah terkuak melalui data-data arkeologi. Namun begitu, adapun kekurangan film ini yaitu, penggunaan bahasa selain bahasa inggris yaitu bahasa prancis yang sulit bagi saya untuk mengerti. Ada baiknya jika film ini menggunakan bahasa inggris seluruhnya, atau lebih baiknya, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.


Tuesday, July 22, 2014

Tutorial Menggambar Kakashi Menggunakan Corel Draw X4 dan Microsoft Paint

Kali ini, aku ingin berbagi pengetahuan dengan agan-agan semua mengenai teknik-teknik sederhana dalam menggambar menggunakan aplikasi computer. Sesuai dengan judul di atas, kita akan menggambar Kakashi dalam cerita Naruto. Ga usah banyak bacot, langsung cekidot!


Cari gambar Kakashi format apa saja (JPG, PNG, dll). Gambar ini adalah gambar buatan tanganku yang diproses melalui editan abal-abalan. Entah tahun berapa gambar ini dibuat, yang jelas udah lama, kalian bisa cari gambar ini di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=421655497881913&set=a.418517671529029.86899.100001123997869&type=3&theater



Buka aplikasi Corel Draw (Kali ini, aku pakai Corel Draw X4), trus, Import (Ctrl+i) gambar.


Ubah Freehand Tool menjadi Polyline Tool .


Ubah warna Linenya menjadi warna merah agar lebih mudah dibedakan gambar dasarnya.  


Lalu, mulailah proses jiplak, hehehe…..  ^_^

Setelah proses penjiplakan yang cukup melelahkan, hapus gambar dasarnya sehingga hasilnya seperti gambar di atas.


Selanjutnya, buka aplikasi Microsoft Paint. Copy gambar dari CDR dan Paste gambar di MS Paint.


Jiplak kembali gambar menggunakan Curve. Warna Line kali ini adalah warna hitam.


Setelah proses penjiplakan yang kedua selesai, hapus sisa-sisa gambar dari CDR tapi menggunakan Fill with Color atau Eraser, sehingga hasilnya seperti di atas.


Copy dan Paste gambar Kakashi yang berwarna ke layar kerja MS Paint. Curi warnanya menggunakan Color Picker dan Fill with Color.


Setelah itu, jika kamu mau menambahkan efek bayangan, agaknya cukup sulit karena kamu harus menguasai teknik menggambar obyek 3 dimensi. Jika tidak bisa, kamu tidak perlu menambahkan efek bayangan.


Kamu bisa finishing  gambar di CDR, dengan cara Outline Trace Bitmaps. Tapi, jika kamu merasa sudah cukup sampai coloring di MS Paint, juga tidak apa-apa.


Gambarmu udah jadi. Tinggal tambahin nama kamu dan siap untuk dipamerin ke teman-teman sekampungmu. Yah, selamat berkarya!!

Kalian juga bisa lihat gambar-gambar lainnya di:

Saturday, July 12, 2014

CAGAR BUDAYA, KONSTITUSI, DAN MASYARAKAT

Pendahuluan
Indonesia memiliki sejuta ‘keindahan’, baik dari segi ekologis maupun sosial budaya. Seiring perkembangan zaman, sebagian besar masyarakat kehilangan atau lupa dengan ‘keindahan’ itu sehingga keindahan itu rusak dan tinggalkan bersama waktu. ‘Keindahan’ itu seharusnya kita jaga dan kita rawat karena sesungguhnya, hal itu tidak dapat diperbaharui.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.
Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya[1].
Untuk tulisan kali ini, penulis akan menyinggung sedikit soal pelestarian ‘keindahan’ sosial budaya (Cagar Budaya) kita melalui perspektif UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Namun, sesuai dengan tema Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa se-Indonesia “Archaeology for Society: Pemanfaatan dan Pelestarian Kawasan Karst Maros-Pangkep yang Berbasis Masyarakat”, penulis juga akan memasukan sedikit mengenai ‘keindahan’ ekologis Maros-Pangkep.

Sekilas Tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 11 Tahun 2010
Cagar Budaya merupakan warisan leluhur yang secara tidak langsung menjadi ciri khas dari suatu daerah. Pengertian Cagar Budaya tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 1, bunyinya:

“...Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Dilihat dari konteksnya, Cagar Budaya umumnya terbagi atas dua, yaitu moveable (dapat digerakkan/pindahkan) dan unmoveable (tidak dapat digerakkan/pindahkan). Apapun bentuknya, Cagar Budaya yang bersifat kebendaan ini sangat rentan dengan pengerusakan, entah karena faktor alam maupun manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kita harus mencegah kerusakan dan melestarikan Cagar Budaya tersebut? Kalau iya, kenapa? Seperti yang telah saya singgung diatas bahwa Cagar Budaya merupakan ciri khas atau identitas bangsa, warisan dunia, dan merupakan jejak rekam kemajuan bangsa kita, oleh karena itu kita harus menjaga dan melestarikannya. Selain itu, alat, bahan, serta teknologi pembuatannya telah lama hilang karena pengaruh modernisasi dan karenanya, Cagar Budaya tersebut terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Boleh saja dibuatkan replikanya, namun nilai penting sejarahnya tetap tidak dapat menyamai yang aslinya.


Societeit de Harmonie, salah satu bangunan Cagar Budaya. (Dok. Chandra)

Setiap orang wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan Cagar Budaya, hal ini secara tersirat tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab VII yang membahas tentang pelestarian. Negara sudah menyadari betapa pentingnya warisan budaya ini, UU Nomor 11 Tahun 2010 merupakan bukti bahwa Negara juga peduli dengan warisan budaya tersebut. Konstitusinya sudah ada, tinggal kontribusi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Setiap Cagar Budaya memiliki peringkat berdasarkan letak administratif dan syarat-syarat lainnya, sebagai berikut:

1.      Cagar Budaya Nasional
Cagar Budaya tingkat nasional, secara administratif terletak diantara dua provinsi. Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai:
a.       Wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
b.      Karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
c.       Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
d.      Bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.       Contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah[2].

2.      Cagar Budaya Provinsi
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila memenuhi syarat:
a.       Mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas kabupaten/kota;
b.      Mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi;
c.       Langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi;
d.      Sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.       Berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung[3].

3.      Cagar Budaya Kabupaten/Kota
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat:
a.       Sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten/kota;
b.      Mewakili masa gaya yang khas;
c.       Tingkat keterancamannya tinggi;
d.      Jenisnya sedikit; dan/atau
e.       Jumlahnya terbatas[4].

Ruang lingkup Cagar Budaya mencangkup darat dan air, selama berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena Cagar Budaya yang dimaksud merupakan milik NKRI, maka kita sebagai warga tidak boleh memperjual-belikan Cagar Budaya dengan pihak asing/Negara asing. Pada akhirnya, kita sendiri yang akan rugi jika menjualnya karena sama saja dengan menjual identitas kita sehingga nanti, kita tidak lagi memiliki identitas. Karena itu, UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya seharusnya dan sepantasnya dilaksanakan untuk menjaga identitas atau jati diri bangsa kita.

Masyarakat dan Cagar Budaya
Berbicara soal kepemilikan Cagar Budaya, sudah sangat jelas bahwa masyarakat luas adalah pemiliknya. Oleh karena masyarakat yang memilikinya, maka sewajarnya untuk merawat apa yang dimilikinya. Namun, setelah melihat UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab IV mengenai Pemilikan dan Penguasaan, memang setiap orang dapat memiliki Cagar Budaya apabila mempunyai surat-surat keterangan kepemilikan dan jika surat-surat tersebut tidak ada maka Cagar Budaya tersebut adalah milik Negara.
Negara yang dimaksud (menurut penulis) adalah pemerintah. Setelah ditetapkan menjadi Cagar Budaya, Negara berhak memiliki, memelihara, dan memanfaatkan Cagar Budaya tersebut selama Cagar Budaya tersebut sebelumnya tidak memiliki pemilik yang sah. Namun, bagaimana jika kepemilikan ini diabaikan juga oleh Negara? Masyarakat juga seharusnya memiliki peranan atas Cagar Budaya tersebut walau tidak ada bukti hitam diatas putih. Masyarakat memang harus dibatasi untuk tidak merusak, tapi terkadang, publikasi mengenai pelestarian yang tertulis dalam undang-undang sangat kurang sehingga muncul ketidakpahaman dalam masyarakat.
Fakta yang ditemukan oleh Tim Ilmiah Piami XV Unhas dilapangan[5], masyarakat cenderung takut mendekati situs-situs Cagar Budaya (selain alasan mistis) karena mereka pernah mendengar atau mungkin melihat orang yang tertangkap dan dipenjara karena berkeliaran disekitar situs. Hal ini tidak pernah dikonfirmasi oleh pihak pemerintah, kenapa orang tersebut bisa ditangkap dan dimasukan ke penjara[6]. Selain itu, akibat kurangnya publikasi, warga juga ogah-ogahan dengan pelestarian Cagar Budaya dan mengatakan dengan jelas bahwa mereka tidak terlalu peduli karena mereka menganggap semua itu milik pemerintah dan pemerintah yang wajib mengurusnya[7].


Vandalisme di Fort Rotterdam. (Dok. Chandra)

Entah apa yang salah dengan undang-undang Cagar Budaya ini. Tapi, yang jelas ada kesalahan. Melihat kenyataan yang ada, banyak situs-situs Cagar Budaya yang dirusak dengan sengaja dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun tidak ada ganjaran yang mereka dapatkan. Konstitusinya yang lemah ataukah kita sebagai pelaksana konstitusi yang lemah? Gambar di atas merupakan bukti bahwa selama ini, kita terlalu lemah dalam melakukan tindakan yang sudah jelas ditetapkan dalam peraturan Negara kita, UU Nomor 11 Tahun 2010 pada Bab XI mengenai Ketentuan Pidana. Tapi, dalam bertindak, kita juga merasa terbatasi karena adanya pihak-pihak yang lebih berwenang dalam menjatuhkan sanksi, namun mereka juga seakan menutup mata dengan pengerusakan-pengerusakan tersebut. Lalu, bagaimana kita seharusnya bertindak?

Penutup
Tulisan ini sengaja dibuatkan pertanyaan yang belum terjawab karena penulis merasa bahwa pertanyaan tersebut tidak bisa penulis jawab sendiri, melainkan melalui proses diskusi dan tukar pikiran. Selain itu, penulis juga sadar akan kekurangan penulis dalam memahami isi dari undang-undang tersebut. Pada akhirnya, semuanya tidak bisa kita lakukan sendirian, tapi bersama-sama.
Kesimpulan yang penulis dapatkan setelah membaca dan memahami (kurang lebih) UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, penulis merasa undang-undang ini belum sampai ke telinga masyarakat luas yang notabene adalah pemilik sah dari Cagar Budaya tersebut. Publikasi yang kurang tersebar membuat masyarakat tidak peduli dan ini sangat gawat. Undang-undang ini sebenarnya sangat, sangat baik menurut penulis. Namun dalam pelaksanaannya, sungguh-sungguh mengecewakan. Seharusnya, undang-undang yang berlaku setelah satu tahun semenjak ditetapkannya, kini terbengkalai selama hampir empat tahun.
Harapan penulis, dengan adanya undang-undang Cagar Budaya tersebut, masyarakat janganlah menjadi takut, tetapi semakin peduli karena Cagar Budaya jangan hanya dilihat dari bentuk fisiknya saja, tetapi dalam publikasi undang-undang, pemerintah juga lebih menekankan nilai-nilai dari Cagar Budaya dan masyarakat punya rasa memiliki akan Cagar Budaya tersebut.

Catatan: Mungkin tulisan ini bersambung karena pembahasannya cukup menarik   ^_^



[1] Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal. 1.

[2] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 42.
[3] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 43.
[4] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 44.
[5] Tim Ilmiah Piami XV Unhas beranggotakan 8 orang, yaitu: Edar (2013), Yuni (2013), Wani (2013), Edi (2013), Vivi (2013), Wandi (2013), Afdal (2011), dan Chandra (2011). Tim ini melakukan survei dan wawancara di Kabupaten Pangkep dan Maros, didampingi oleh saudara Azwar (2010) dan saudara Aman (2008).
[6] Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Pangkep.
[7] Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Maros.

Tuesday, June 24, 2014

ArchaeOpinion 2

Fort Rotterdam: Ekskavasi atau Vandalisme

Pada postingan kali ini, penulis lebih menempatkan foto-foto lebih banyak daripada tulisan. Sebenarnya, hal yang akan dibahas sudah lama dibenak penulis, namun penulis butuh beberapa pertimbangan dalam mempublikasikan hal ini.
Ekskavasi dalam arkeologi merupakan teknik kegiatan pengumpulan benda-benda dari dalam tanah untuk mengungkap kehidupan masa lampau. Ekskavasi sebenarnya bersifat merusak, mengapa dikatakan merusak? Karena ekskavasi bisa saja merubah konteks suatu temuan. Oleh karena itu, seorang arkeolog biasanya menempatkan ekskavasi sebagai pilihan terakhir dalam proses perekaman data dan memang dibutuhkan.
Pada suatu kesempatan, penulis berkunjung ke Fort Rotterdam dan melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. Pemandangan tersebut adalah bekas-bekas ekskavasi di sebelah selatan Fort Rotterdam. Menurut informasi yang penulis dapat, ekskavasi tersebut dilakukan oleh pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara. Kegiatan ekskavasi tersebut berlangsung 15 hari, dimulai pada tanggal 10 - 25 September 2013. Tujuan ekskavasi tersebut untuk mencari tahu struktur dinding selatan dan kanal Fort Rotterdam. Pihak BPCB mengatakan bahwa kotak ekskavasi yang dibuka tidak akan ditutup kembali, tetapi dijadikan sebagai objek yang menarik minat pengunjung ke Fort Rotterdam. Lokasi ekskavasi tidak dibebaskan bagi pengunjung karena akan dipasangi pagar atau Police Line disekelilingnya sehingga pengunjung tidak bisa seenaknya melakukan tindakan yang bisa merusak struktur Fort Rotterdam.
Setahun kemudian, kondisi kotak ekskavasi yang penulis lihat tidak seperti gambaran yang diberikan oleh pihak BPCB. Berikut foto-foto yang bisa penulis tampilkan.









Kotak ekskavasi yang penulis lihat lebih mirip dengan tempat sampah. Seperti tulisan ArchaeOpinion sebelumnya yang membahas tentang vandalisme, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai vandalisme atau tidak?
Menurut penulis, hal ini bisa dikatakan sebagai vandalisme dan pembiaran kerusakan pada Fort Rotterdam. Tetapi, ini hanya pendapat penulis saja. Bagaimana dengan anda??