Tuesday, June 24, 2014

ArchaeOpinion 2

Fort Rotterdam: Ekskavasi atau Vandalisme

Pada postingan kali ini, penulis lebih menempatkan foto-foto lebih banyak daripada tulisan. Sebenarnya, hal yang akan dibahas sudah lama dibenak penulis, namun penulis butuh beberapa pertimbangan dalam mempublikasikan hal ini.
Ekskavasi dalam arkeologi merupakan teknik kegiatan pengumpulan benda-benda dari dalam tanah untuk mengungkap kehidupan masa lampau. Ekskavasi sebenarnya bersifat merusak, mengapa dikatakan merusak? Karena ekskavasi bisa saja merubah konteks suatu temuan. Oleh karena itu, seorang arkeolog biasanya menempatkan ekskavasi sebagai pilihan terakhir dalam proses perekaman data dan memang dibutuhkan.
Pada suatu kesempatan, penulis berkunjung ke Fort Rotterdam dan melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. Pemandangan tersebut adalah bekas-bekas ekskavasi di sebelah selatan Fort Rotterdam. Menurut informasi yang penulis dapat, ekskavasi tersebut dilakukan oleh pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara. Kegiatan ekskavasi tersebut berlangsung 15 hari, dimulai pada tanggal 10 - 25 September 2013. Tujuan ekskavasi tersebut untuk mencari tahu struktur dinding selatan dan kanal Fort Rotterdam. Pihak BPCB mengatakan bahwa kotak ekskavasi yang dibuka tidak akan ditutup kembali, tetapi dijadikan sebagai objek yang menarik minat pengunjung ke Fort Rotterdam. Lokasi ekskavasi tidak dibebaskan bagi pengunjung karena akan dipasangi pagar atau Police Line disekelilingnya sehingga pengunjung tidak bisa seenaknya melakukan tindakan yang bisa merusak struktur Fort Rotterdam.
Setahun kemudian, kondisi kotak ekskavasi yang penulis lihat tidak seperti gambaran yang diberikan oleh pihak BPCB. Berikut foto-foto yang bisa penulis tampilkan.









Kotak ekskavasi yang penulis lihat lebih mirip dengan tempat sampah. Seperti tulisan ArchaeOpinion sebelumnya yang membahas tentang vandalisme, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai vandalisme atau tidak?
Menurut penulis, hal ini bisa dikatakan sebagai vandalisme dan pembiaran kerusakan pada Fort Rotterdam. Tetapi, ini hanya pendapat penulis saja. Bagaimana dengan anda??

Tuesday, June 3, 2014

MENGAWAL ARWAH KE ALAM BAKA

Ritual Tiwah, Suku Dayak di Kalimantan Tengah

Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera ke Papua dengan sejuta kultur budaya yang unik, baik budaya tutur maupun budaya material. Unsur-unsur kearifan lokal tertanam dalam batin masyarakat yang menjunjung tinggi hasrat untuk melestarikan budaya. Di zaman yang semakin tinggi tingkat mobilitasnya, memungkinkan budaya-budaya tersebut tereksplor ke dunia luar dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia secara umum. Salah satu kebudayaan lokal yang menarik menurut penulis adalah ‘Ritual Tiwah’ Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Secara astronomis, Kalimantan Tengah terletak di 1110-1150BT dan 0045’LU-30300LS dengan luas wilayah 153.564,50 Km2. Secara administratif, jumlah penduduk Kalimantan Tengah sekitar 2.514.375 jiwa dan sekitar 41,24% penduduk asli atau Suku Dayak (Permendagri No.66 Thn. 2011). Menurut data sensus tahun 2000, Suku Dayak di Kalimantan Tengah terpecah menjadi empat sub-suku, yaitu Dayak Ngaju, Dayak Sampit, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, dan Dayak Maanyan. Dari kacamata budaya, Suku Dayak memiliki tingkat akulturasi[1] yang cukup besar sehingga kepercayaan lokal bercampur dengan kepercayaan yang datang dari luar. Kepercayaan lokal Suku Dayak adalah Kaharingan. Menurut data sensus tahun 2010, pemeluk kepercayaan Kaharingan tersebar di seluruh Kalimantan Tengah dengan konsentrasi di sekitar hulu sungai, seperti hulu sungai Kahayan, sungai Katingan, dan hulu sungai lainnya. Salah satu keunikan dari Suku Dayak menurut penulis adalah Ritual Tiwah Suku Dayak. Sebagian besar masyarakat pemeluk kepercayaan Kaharingan dan pemeluk kepercayaan lainnya (sinkretisme[2] dari Kaharingan) masih menjalankan ritual tersebut.
Ritual Tiwah merupakan akhir dari rangkaian upacara kematian bagi pemeluk kepercayaan Kaharingan. Ritual ini adalah prosesi menyucikan dan memindahkan jasad dari liang kubur ke sebuah tempat yang disebut Sandung[3]. Sebelum ritual tersebut dilakukan, ada satu ritual yang dilakukan, yaitu Ritual Tantulak. Ritual Tantulak merupakan ritual tolak bala bagi arwah sekaligus ‘mengawal’ arwah ke Bukit Mailan[4], dari situ arwah-arwah menunggu kedatangan tuhan mereka yang mereka sebut Ranying Hattala Langit. Selanjutnya, sebelum arwah tersebut masuk ke Surga, sanak saudara yang masih hidup hendak melaksanakan Ritual Tiwah. Ritual Tiwah bertujuan untuk melepas ‘rantai duniawi’ sehingga arwah bisa bertemu dengan tuhannya. Ritual ini dilakukan ketika jenazah keluarga yang meninggal sudah menjadi tulang. Kuburnya digali dan tulang-tulangnya diangkat, kemudian tulang-tulang tersebut dibersihkan dan disucikan dengan rangkaian ritual khusus dan akhirnya tulang tersebut ditempatkan di dalam Sandung. Rangakaian ritual itu juga dibarengi dengan persembahan hewan kurban, berupa kerbau, sapi, atau babi.
Melihat dari keunikan-keunikan Ritual Tiwah, menurut penulis, kebudayaan lokal tersebut pantas untuk diteliti lebih lanjut dan menjadi bahan untuk penelitian etnografi atau antropologi. Ritual Tiwah merupakan salah satu keunikan Indonesia yang pantas dilestarikan dan semoga keunikan-keunikan budaya Indonesia yang lainnya juga bisa dipublikasikan sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai masyarakat Indonesia.



[1] Percampuran dua kebudayaan yang berbeda namun beberapa ciri khas dari masing-masing kebudayaan tersebut tidak dihilangkan.
[2]Salah satu bentuk dari akulturasi, dimana sinkretisme lebih merujuk pada penyatuan paham dari kepercayaan yang berbeda dengan memberi toleransi kepada kepercayaan yang terlebih dahulu ada, contoh lainnya yaitu, Islam Kejawen, Suku Jawa.
[3]Tempat khusus menyimpan tulang, Suku Dayak.
[4]Konsep khayangan tempat reinkarnasi arwah menurut Suku Dayak.