Tuesday, January 14, 2014

Coretanku: Pendidikan Instan

   Dijaman yang serba instan, manusia sering lupa terhadap proses yang mereka lalui. Saking mengerikanya, hal-hal yang seharusya tidak boleh di "instan" kan menjadi bisa instan...
    Otak manusia diprogram untuk memproses sesuatu yang belum diketahui menjadi bisa diketahui, langkah demi langkah, sama halnya dengan rumus matematika. Walaupun rumus-rumus tersebut memiliki cara singkat, namun rumus tersebut tentu saja telah melewati langkah-langkah yang cukup panjang hingga ketika dicari penyederhanaannya, akan lebih mudah.
    Nah, yang menjadi persoalan adalah hal yang seharusnya tidak boleh "instan" bisa menjadi instan tanpa proses apa-apa. PENDIDIKAN!!
   Ya, pendidikan merupakan proses mendidik seseorang namun pada kenyataannya proses tersebut tidak pernah terjadi, kata pendidikan kini hanya sekedar formalitas belaka. Kalau begitu, kenapa bisa demikian?? Manusia diberi sifat malas, ketika mereka berada di "Zona Nyaman", mereka tidak lagi mau ambil pusing dengan apa yang sedang terjadi. Semakin mereka berada di Zona Nyaman tersebut maka INSTAN adalah kata-kata yang sering menjadi andalan mereka dan mereka juga semakin terjebak di "Alam Tanpa Proses". Akibat yang paling parah adalah tentu saja kebodohan.

    Mari kita cari contoh nyata di kehidupan kita...
1. Tiba Masa Tiba Akal
   Yup, kata-kata diatas sering sekali kita alami, terlebih saat ujian tiba. Sehari sebelumnya kita memaksa otak kita untuk berpikir, bagaimana cara menjawab soal dengan benar. What's going on dude? Bagaimana dengan pendidikan/ proses pembelajaran yang selama ini kita lakukan? Jawabannya adalah sia-sia karena kita hanya mempergunakan waktu satu hari untuk belajar. Apa bedanya jika tidak sekolah namun hanya mengikuti ujian saja? Lebih baik dirumah dan menunggu hingga ujian datang.
2.Menjiplak Tugas Orang Lain
   Kebiasan buruk dari INSTAN yang mengakibatkan kemalasan berpikir. Bayangkan saja, tugas yang kamu buat sama dengan tugas sepuluh orang yang lainnya? Ngga' banget bro! Kreativitas kamu malah tidak keluar dengan maksimal. Ketika kamu mengerjakan tugas, kamu akan mengandalkan orang lain dan ketika orang lain itu tidak mengerjakan tugas, yah, otomatis kamu juga bisa jadi tidak mengerjakan tugas.
3. Mencontek
   Ini yang paling lucu! Kenapa? Bayangkan, kamu sudah menghabiskan waktu duduk mendengarkan pelajaran selama bertahun-tahun dan kamu belajar keras dalam satu hari. Tiba di ruang ujian, kamu mengandalkan orang yang disampingmu. Jadi, apa gunanya kamu menghabiskan waktu, uang, dan tenaga, hanya untuk melirik ke sebelah kanan dan kiri? Lebih baik kamu katakan kepada pengawas ujian kalau kamu ingin melihat buku untuk menjawab pertanyaan dengan benar.

   Nah, mungkin itu yang paling sering kita jumpai atau alami. Namun, kenapa rasa malas itu muncul? Mari kita melihat dari segi pendidikan yang diberikan.

1. Paksaan
   Kamu menyukai pelajaran seni dan tidak menyukai matematika, setelah ujian, nilai matematika kamu jelek dan  kamu dinyatakan tidak lulus. Sungguh tidak adil, ya kan? Kenapa kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang menurut kita hal tersebut tidak cocok untuk kita? Mestinya, pendidikan itu tidak memaksa sehingga hasilnya menjadi maksimal. Mengapa bisa demikian? Karena untuk memaksimalkan potensi yang kamu punya, kamu harus bisa mengeliminasi hal yang tidak berguna bagi kamu. Bayangkan jika pelajaran yang kurang berguna dipaksakan untuk kamu, pelajaran yang berguna jadi terjepit di antara yang tidak berguna dalam otak kamu, akibatnya yang penting tersebut bisa kamu lupakan.
2. Cara Mendidik
   Ini juga bisa menjadi salah satu faktor kenapa orang tidak mudah menerima pendidikan dengan baik. Dari sisi psikologis, murid/siswa/mahasiswa mempunyai mental takut kepada yang lebih pintar. Beberapa pengajar memanfaatkan hal tersebut dengan tidak benar. Mereka membuat rasa takut mereka bertambah besar dengan kata-kata "Awas, kalau kamu tidak menjawab pertanyaan, kamu tidak lulus!" atau "Awas, kalau kamu macam-macam, nanti nilai E yang saya beri!". Hal tersebut malah membuat mereka menjadi tidak menjadi orang yang terdidik, malah membuat mereka layaknya robot atau kasarnya BUDAK! Akhirnya mereka mempunyai dendam dengan orang telah memberi mereka pendidikan. Ironis.

   Pendidikan mestinya menjadi proses yang menyenangkan bukan menjadi momok sehingga berubah menjadi instan. Untuk membuat pendidikan menjadi sebuah proses yang menyenangkan tidaklah mudah. Kita harus memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada dan untuk merubah sistem perlu kesadaran dari diri kita masing-masing mulai dari sekarang. Memang membutuhkan waktu lama, tapi apa salahnya menjadi pakkaramula...
So, keep movin' with good process dan jangan jadi manusia "instan"!!! 
(Tapi bisa ji makan mie instan!)

Friday, January 10, 2014

ArchaeNote

KEHIDUPAN PESISIR DILIHAT DARI KACAMATA KEKINIAN
(Artikel Ekologi Maritim)
Oleh Peniel Chandra

1.    Pendahuluan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Ekologi tentu erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, entah dimana lingkungannya, pastilah mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut. Dalam ilmu psikologi, ada tiga teori psikologi dalam memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan dari dalam, kedua, perilaku disebabkan faktor lingkungan atau proses belajar, ketiga, perilaku disebabkan oleh interaksi manusia–lingkungan (A.F. Helmi, 1999:1). Teori ini tentu saja sangat berkaitan dengan ekologi jika ditinjau dari segi psikologis. Selain itu, kondisi alam juga terkait dengan pekerjaan pokok masyarakat dan perekonomian. Masyarakat agraris erat kaitannya dengan sumber perekonomian yang berasal dari lahan pertanian, sedangkan masyarakat maritim erat kaitannya dengan sumber perekonomian yang berasal dari lautan.
Pada tulisan ini, akan ditekankan pada masyarakat pesisir/ maritim, sesuai dengan hasil observasi lapangan yang dilakukan oleh penulis. Dalam kehidupan maritim juga dikenal dengan sosial budaya bahari. Menurut Koentjaraningrat menerapkan konsep “tiga wujud kebudayaan”, menurut Sanjek menerapkan konsep “kreasi dan dinamika budaya”, dan menurut Vayda menerapkan metode penjelasan progresif kontekstual” sebagai model deskripsi, penjelasan dan analisis secara empirik. Wujud budaya bahari nelayan ialah sistem budaya (meliputi terutama sistem-sistem pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan daftar kebutuhan serta cita-cita dalam kognitifnya), kelembagaan (organisasi, kelompok kerjasama nelayan, hak-hak pemilikan/kontrol atas wilayah dan sumberdaya laut), dan teknologi (sarana/prasarana transportasi laut, sarana penggerak berupa layar, mesin, alat-alat tangkap, perlengkapan fisik lainnya).
Pada tulisan kali ini, penulis mengambil objek di daerah pesisir, tepatnya di Tanjung Bayang, Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan. Dari Kota Makassar, Tanjung Bayang berjarak kira-kira 4 km ke arah barat. Alasan penulis memilih objek tersebut dikarenakan kehidupan para penjual dan pekerja jasa hiburan tersebut layaknya kehidupan nelayan pada umumnya dimana ada majikan dan pekerja atau yang masyarakat Makassar kenal sebagai punggawa-sawi. Adanya ‘transformasi profesi’ yang tidak meninggalkan ciri-ciri profei sebelumnya, yaitu dari profesi nelayan menjadi pekerja jasa hiburan tapi tetap memegang ciri-ciri yang ada pada kehidupan nelayan.

2.    Maritim, Masyarakat, dan Lingkungan Modern
Sebenarnya, kata modern kurang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia karena sangat ambivalen[1], dimana masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan peralatan-peralatan tradisional dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kata modern yang dimaksud adalah penggunaan teknologi dan juga kehidupan masyarakat yang mainstream. Banyak masyarakat mulai ikut-ikutan dengan perkembangan zaman yang ada meskipun, kebiasaan-kebiasaan lama tidak ditinggalkan.  
Tak terlepas dari kehidupan pesisir, masyarakat disana juga ternyata mengikuti perkembangan zaman walaupun tak semaju kehidupan di kota. Kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi sebagian dari kehidupan mereka, mulai dari segi pekerjaan.
Tradisi kemaritiman adalah kebiasaan masyarakat maritim nusantara yang sudah dilakukan sejak lama. Biasanya tradisi maritim berkaitan dengan fase-fase pembuatan kapal (Safri Burhanuddin, dkk, 2003:173), tetapi jika melihat kondisi yang sekarang, tradisi tersebut mulai hilang. Memang, fase pembuatan kapal sudah hilang, namun tradisi-tradisi seperti mitos-mitos pelaut, sesajen, dan sistem dalam masyarakat maritim tersebut masih ada. Walaupun lingkungan sudah mulai memasuki fase ‘modern’, tapi ideologi nenek moyang masih tetap tersimpan walau hanya sedikit yang dapat dipertahankan pada kehidupan masyarakat pesisir sekarang.

3.    Ekologi Tanjung Bayang
Tanjung Bayang terletak di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan. Tanjung Bayang yang merupakan daerah pesisir kini lebih dikenal sebagai lokasi wisata pantai. Profesi masyarakat sekitar Tanjung Bayang kebanyakan adalah penjual dan pekerja jasa hiburan. Kondisi lingkungannya yang berpasir sangat cocok sebagai tempat berwisata. Melihat hal tersebut, masyarakat mulai memanfaatkan sumber daya yang ada dan mengubah cara hidup mereka yang dari awalnya merupakan tempat bagi para nelayan, sekarang menjadi tempat wisata. Walaupun begitu, masyarakat hanya beralih profesi saja, mereka tidak meninggalkan kebudayaan yang sering disebut punggawa-sawi. Punggawa, dalam hal ini majikan, yang awalnya mempekerjakan orang (sawi) untuk melaut, sekarang mereka mencari pekerja jasa hiburan. Hiburan/ wahana pantai yang ditawarkan yaitu Banana Boat dan kapal bebek.
Salah satu pekerja jasa hiburan bernama Akbar mengaku dipekerjakan oleh Ibu Tanning yang merupakan tetangga dekatnya. Hal ini sangat mirip dengan halnya sistem punggawa-sawi. Pada awalnya, Ayah dari Ibu Tanning merupakan juragan nelayan ditempat tersebut, kini, sejak 10 tahun terakhir ketika Tanjung Bayang menjadi lokasi wisata, Ibu Tanning memanfaatkan kapal-kapal nelayan yang ia miliki untuk dipakai sebagai Banana Boat. Selain sistem punggawa sawi, ternyata pekerja jasa hiburan maupun penjual memiliki kepercayaan terhadap mitos-mitos tentang laut, seperti menaruh sesajen ditengah laut pada hari-hari tertentu. Ditengah lingkungan dimana kebudayaan lokal sedang tergeser oleh westernisasi, mereka berusaha mempertahankan kebudayaan asli, meskipun tidak semuanya. Sebenarnya, hal tersebut yang membuat suatu daerah terlihat unik.

4.    Separuh Perjalanan...
Zaman memang selalu berubah-ubah dan menciptakan warnanya sendiri. Walaupun berubah, tentunya warna dasar tetap ada dan mungkin menghilang. Kehidupan sekarang merupakan kehidupan masa lampau yang dipoles oleh waktu. Penulis menyimpulkan bahwa kehidupan maritim di Tanjung Bayang memiliki beberapa kemiripan dengan kehidupan nelayan pada umunya. Contohnya pada penelitian hari kelima, Akbar yang seorang pekerja jasa hiburan berperan sebagai Sawi, sedangkan majikannya berperan sebagai Punggawa. Mungkin yang membedakan hanya profesi saja, dimana mereka tidak lagi melaut, tetapi pekerjaan yang memanfaatkan keindahan pantai Tanjung Bayang.
Selain itu, para penjual-penjual di sekitar Tanjung Bayang memanfaatkan jumlah pengunjung yang ada. Diperkirakan jumlah pengunjung dalam sehari berkisar dari 500 orang sampai 1000 orang. Tentu, Tanjung Bayang menjadi lahan ekonomi yang menjanjikan bagi para penjual-penjual ini. Kecuali, pada hari-hari dengan cuaca yang kurang baik, pengunjung yang datang kurang ramai.
Entah berapa lama lagi perjalanan yang ditempuh oleh kebudayaan untuk berubah seutuhnya atau sebaliknya, kembali ke asal. Sesungguhnya, masyarakat sendirilah yang menentukan ke arah mana kebudayaan mereka dibawa.
 
KEPUSTAKAAN
Budiawan, Ambivalensi: Post-Kolonialisme Membedah Musik Hingga Agama di Indonesia (Jakarta: Jalasutra, 2010)
Burhanuddin, Safri, dkk, Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan Perikanan (BRKP), dan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Helmi, A.F., “Beberapa Teori Psikologi Lingkungan”, Buletin Psikologi, Tahun VII, 2 Desember 1999.


[1] Budiawan, Ambivalensi Post-Kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama di Indonesia (Jakarta, Jalasutra : 2010), perihal. 1