Sunday, December 27, 2015

GENSET



Natal tahun ini cukup menggembirakan, soalnya aku punya kesempatan untuk bertemu dengan dua sahabat baikku, Rio dan Agung. Mereka cukup sehat dan kupikir, mereka tidak banyak berubah semenjak terakhir kali kami bertemu. Rio saat ini telah lulus dari kuliahnya di salah satu akademi keperawatan di Makassar. Selama kuliah di Makassar, hanya sekali aku bertemu dengan dia. Sedangkan Agung, masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di Palopo. Dia masuk kuliah pada tahun dua ribu dua belas. Kami hanya bertemu ketika aku pulang ke kampung dan bersantai-santai sambil bermain musik di studio milik Pak Sagino.
Sore hari, tanggal dua puluh lima desember tahun dua ribu lima belas, aku dan Agung berkunjung ke rumah Rio, kami menghabiskan waktu sambil mengenang kembali masa lalu kami. Yah, sembari mengunyah kudapan natal yang tersaji di depan kami. Aku dan Rio sudah berteman sejak Sekolah Dasar (SD) dan Agung, aku baru mengenalnya ketika kami berdua masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Agung dan Rio adalah teman sekelas di SMP dan kami bertiga punya hobi yang sama di bidang musik -sama-sama fans Linkin Park- paling tidak, suka mendengar musik walau tidak pandai memainkannya. Aku dan Agung, bersama dua orang teman, Hary dan Heri, sempat membentuk sebuah band lokal pada pertengahan tahun dua ribu delapan dengan genre musik alternatif. Kami beri nama band itu, V~Ru2 (baca: virus). Nama yang cukup menggelikan dan terdengar sangat “lebay” untuk saat ini. Saat itu, aku berperan sebagai drumer dan Agung berperan sebagai bassis. Benar-benar masa yang menyenangkan. Apalagi, kami berdua memiliki pacar di kelas yang sama saat Sekolah Menengah Atas (SMA). Oke, aku rasa sudah cukup cerita singkat mengenai kami bertiga. Saat ini, aku akan menceritakan sebuah pengalaman ketika aku masih SMA, cerita yang mungkin akan terdengar sedikit horor dan tidak masuk akal, tapi aku jamin bahwa cerita ini adalah kisah nyata, bukan hasil rekayasa. Mungkin, cerita ini agak kurang detail karena aku lupa-lupa ingat dan mencoba untuk melupakannya sebab, hal akan aku ceritakan ini adalah salah satu pengalaman terburukku. Aku kembali teringat cerita tersebut karena lokasi dalam ceritanya sangat dekat dari rumah Rio dan saat kami menyantap makan malam, kenangan itu berhasil membujukku untuk menceritakannya kepada kalian. Begini ceritanya...

*****

Malam itu, Nopember (aku lupa tanggal berapa) tahun dua ribu sembilan, hujan turun sangat deras. Aku, Agung, Hary, dan Heri habis pulang latihan band di Studio 8 milik Mister Udit di Desa Pepuro Barat, Kecamatan Wotu. Studio itu lumayan lengkap dan baik pada masanya serta pemiliknya, Mister Udit (aku tidak tahu nama lengkapnya) sangat ramah. Aku banyak belajar musik dari dia. Kami mengendarai motor, aku dibonceng oleh Agung dengan motor Smash hitamnya (sekarang, motor itu dipakai oleh kakaknya dan Agung memakai motor Satria Fuu), sedangkan Hary dan Heri berboncengan mengendarai motor Supra milik Hary. Saat itu, di sepanjang jalan masih sedikit rumah, sangat sunyi, yang ada hanyalah pohon-pohon kelapa sawit, tidak seperti sekarang. Jalan yang kami lalui bukanlah jalan poros atau jalan besar, melainkan jalan alternatif yang menghubungkan Kecamatan Tomoni dengan Kecamatan Wotu, sangat jauh dari pemukiman masyarakat.
Hujan semakin deras dan kami masih sangat jauh dari rumah. Kami terpaksa mencari tempat untuk berteduh. Saat itu, aku berpikir untuk berteduh di rumah Rio karena rumah Rio-lah yang paling dekat dari posisi kami yang sedang naik motor. Jadi, aku dan Agung memutuskan untuk berteduh sejenak di sana. Rio tinggal di kompleks perumahan karyawan perusahaan kelapa sawit, kebetulan ayahnya kerja di sana. Kami sering menyebut kompleks itu dengan sebutan PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) yang sebenarnya adalah bagian dari Dusun Indrokilo, Desa Bayondo, Kecamatan Tomoni. Memang, secara administratif, rumah Rio dan rumahku berada di desa yang sama, Desa Bayondo. Namun, jarak antara keduanya sangat jauh. Kompleks itu hanya ditinggali oleh beberapa karyawan dan sangat sunyi ketika malam hari, apalagi saat hujan turun (sekarang tempat itu semakin sunyi, soalnya banyak teman-temanku yang telah pindah rumah dari situ). Namun, Hary dan Heri sepertinya tidak sepemikiran dengan kami karena mereka merasa sedikit malu sebab tidak terlalu mengenal Rio. Hary sudah lama lulus SMA dan dia adalah pekerja serabutan. Aku dipertemukan dengan dia oleh Agung di studio musik milik Sandy, anak Pak Subur, pemilik penginapan Sumber Urip di Kecamatan Tomoni (Pak Subur sudah meninggal pada pertengahan tahun dua ribu dua belas). Hary adalah gitaris band-ku saat itu. Sedangkan Heri, sang vokalis, dia adalah kakak dari temanku, Hengki, satu kelas dengan Agung dan Rio saat SMP, rumahnya berdekatan dengan rumah Agung di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Tomoni. Dialah sang maestro, dialah yang menciptakan lirik-lirik lagu yang sering kami bawakan di beberapa festival band atau acara-acara pernikahan. Ketika band terbentuk, dia sementara kuliah di perguruan tinggi terbuka, dia mengambil jurusan pertanian. Ketika awal-awal kami berkenalan, aku memanggilnya dengan sebutan mas. Namun lama-kelamaan, panggilan itu menghilang seiring keakraban kami bertambah.
Lanjut cerita, ketika kami ingin memasuki kompleks PTP, entah karena kami sial atau memang takdir, gerbang PTP ambruk dan menutupi jalan masuk. Gerbang itu terbuat dari kayu yang sangat lapuk karena tidak pernah diganti semenjak PTP berdiri. Cukup berat untuk diangkat oleh kami berempat. Gerbang yang tingginya, jika berdiri, sekitar tujuh meter dan lebarnya lima meter, belum lagi keliling masing-masing tiangnya adalah dua meter. Sangat mustahil untuk kami angkat berempat di tengah hujan deras. Beruntungnya, ada beberapa orang yang juga mau masuk ke kompleks PTP, sepertinya mereka adalah karyawan di situ. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menyingkirkan gerbang yang roboh itu. Akhirnya, setelah menyingkirkan gerbang yang roboh itu, dengan sisa-sisa tenaga yang kami punya, kami melanjutkan perjalanan untuk berteduh di PTP karena hujan sepertinya tidak berpikir untuk reda, malah semakin menjadi-jadi.
Kami pun memasuki area kompleks perumahan tersebut dan jika saat itu kami cerdas, kami memilih untuk berteduh di rumah Rio karena rumahnya tergolong sangat dekat dari jalan masuk kompleks atau, bisa saja kami mengikuti beberapa orang yang “menolong” kami tadi dan singgah di salah satu rumah mereka. Tapi, yah, sudahlah, mungkin saat itu kami masih goblok dan orang-orang yang ikut menyingkirkan gerbang tadi, mereka sudah terlampau jauh meninggalkan kami yang daritadi menunggu motor Hary yang susah di-starter. Dari kejauhan, kami melihat dengan samar-samar, ada sebuah bangunan yang nampak sudah tua dan terlihat sedikit menyeramkan karena tidak ada satupun lampu yang meneranginya. Aku pun merasa semakin goblok dan mengkhayalkan diriku berada di rumah Rio, sambil minum teh hangat dan main playstation/PS (saat itu, rumah Rio adalah tempat rental PS). Nasib. Akhirnya, kami memutuskan untuk berteduh di bangunan itu. Kau bisa membayangkan, bagaimana seandainya tempat itu menjadi lokasi shooting reality show “Dunia Lain”, mungkin pesertanya hanya akan bertahan di bawah satu menit. Tapi, hari itu, tidak ada pilihan lain selain berteduh. Tidak ada pikiran yang macam-macam di kepala kami, yang ada hanyalah “kapan hujan reda?”.
Bentuk bangunan itu sangat sederhana, balok polos dan ukurannya, boleh dibilang dua kali ukuran kamar kost-ku saat ini, panjangnya sekitar delapan meter, lebarnya sekitar enam meter, dan tingginya sekitar empat meter. Hanya ada satu pintu masuk di depan, dua jendela, masing-masing berada di sisi kanan dan kiri bangunan. Atapnya terbuat dari seng yang sudah karatan dan bangunannya secara keseluruhan, terbuat dari papan kayu yang sudah agak lapuk. Isi bangunan tersebut dapat dilihat dari sela-sela papan. Hanya ada sebuah mesin tua di dalamnya. Tidak ada bangunan lain di sekitarnya, hanya rumput dan beberapa pohon kelapa sawit. Benar-benar bangunan yang penyendiri. Kami tidak bisa masuk ke dalam bangunan tersebut karena pintunya di segel dengan papan. Kami hanya berteduh di terasnya yang selebar satu meter. Dulu, ketika aku masih SD, aku sering mendengar dari anak-anak yang tinggal di kompleks itu, jika ada sebuah bangunan kosong yang disebut “genset”. Sebenarnya, bangunan kosong tersebut adalah bangunan tempat menyimpan sebuah genset tua milik PTP karena dulu, ketika listrik belum masuk di kompleks itu, karyawan di sana menggunakan genset sebagai sumber listrik. Konon, tempat tersebut berhantu. Sosok hantunya seperti raksasa, orang setempat sering menyebutnya longga’. Sebelumnya, aku belum pernah ke genset, namun aku yakin bahwa saat itu, kami sedang berteduh di genset.
Cih! Kesal juga rasanya karena berteduh di tempat yang sama sekali tidak diharapkan. Bayang-bayang tentang rumah Rio pupus sudah, yang ada hanya kesunyian ditemani suara mahkluk-mahkluk malam dan tentu saja, suara derasnya hujan. Selama bermenit-menit kemudian, kami hanya terdiam sambil mengertakan gigi karena menggigil. Pemandangan malam itu cukup monoton, mungkin kami bisa menggunakan waktu kami untuk menghitung berapa banyak tetes hujan yang turun membasahi jok motor. Rindu kehangatan. Mungkin, jika yang ada di sampingku adalah seorang perempuan, tidak berlama-lama lagi, pasti akan kupeluk dan dia pasti tidak akan keberatan dengan itu. Tapi, sungguh sial, yang berjongkok di sebelah kanan dan kiriku, semuanya adalah laki-laki. Membayangkan dua orang laki-laki saling berpelukan saja sungguh tidak mengenakkan, apalagi jika berempat. Mending kesurupan massal! Pikirku.
Sudah setengah jam kami menunggu hujan reda. Entah dosa apa yang kami perbuat sehingga kami tertahan di bangunan yang mirip neraka itu. Tidak ada tanda-tanda hujan mau reda dan handpone kami sudah tidak berfungsi lagi karena low-batt. Hening dan tiba-tiba...

“bro, tadi saya dengar ada suara. Tidak tahu suara apa.” Hary membuka percakapan
“ah, mengkhayal kamu! Suara hujan kali.” bantah Heri
“serius bro!”
“alah, ngapusi koe (bohong kamu)!” Heri mengakhiri debat.

Keheningan kembali terjadi. Namun, sekitar semenit kemudian, Agung pun memulai kembali percakapan,

“Har, aku juga denger kok. Suaranya kayak cewek menangis.”
“wuish, serius Gung?”
“ho’o. Barusan, kayaknya dari dalam deh.” kata Agung sambil menunjuk bangunan di belakangnya
“alah, imajinasi” tiba-tiba Heri ikut nimbrung
“oh walah, ngeyel meneh (menyangkal lagi)! Serius Her! Coba kamu dengar baik-baik.” respon Hary dengan muka serius.

Heri pun menuruti perkataan Hary dengan muka masam. Kami berdiam diri lagi selama semenit. Sebenarnya, aku juga mendengar suara itu saat pertama kali Hary mendengarnya. Cuma, aku agak malas untuk mendebatkannya, soalnya aku terlalu sibuk kedinginan. Suara itu, tepat sekali yang dikatakan Agung, mirip suara perempuan sedang menangis. Tangisan yang sendu, pelan, dan menurutku, lumayan sedih untuk didengarkan. Namun, suaranya terdengar menggema, mirip suara efek reverb (kalau ada efek delay-nya, jadi lucu, mirip pimpinan orkes dangdut lagi nge-tes mic). Suaranya terdengar seperti suara orang yang sedang berada di dalam ruangan kosong. Tapi aneh, karena sepengetahuanku, jika benar suara tersebut berasal dari dalam bangunan tempat kami berteduh, maka suara yang dihasilkan tidak akan menggema seperti itu karena ada banyak lubang di dinding bangunan tersebut, di tambah lagi, bangunan tersebut tidak kosong karena ada sebuah mesin di dalamnya. Anehnya lagi, bangunan itu hanya memiliki satu pintu dan pintunya di segel dengan papan dari luar. Jendela? Jendelanya sangat tinggi untuk orang seukuranku dan sangat tidak mungkin memanjatnya karena dinding-dindingnya sudah lapuk. Siapa juga yang bersusah-susah mau masuk ke dalam bangunan yang menyeramkan itu. Namun, aku tetap berpikir positif sampai...

“kok, suaranya kayak orang mendesah?” kata Hary dengan wajan heran
“saya juga dengar. Mungkin suara angin kena mesin atau jangan-jangan kamu mikirnya ngeres (mesum) ya? ” Heri tetap tidak percaya
“orang ngomong serius, kok diajak bercanda?!“ timpal Hary dengan sinis
“suaranya kayak orang yang capek.” aku membuka suara, “ngos-ngosan gitu, terus suaranya berat.”
“jangan-jangan...” Agung berbicara setengah berbisik.

Kami tetap memberanikan diri untuk tinggal berteduh di tempat itu. Rasanya, sebentar lagi hujan akan benar-benar reda. Kami mencoba berpikir positif sambil membersihkan tetes-tetes hujan yang membasahi jok motor. Ketika hujan benar-benar reda, kami bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun, benar-benar apes, motor Hary tidak bisa dinyalakan. Kakinya yang sedari tadi menendang-nendang starter sepertinya sudah kelelahan. Tetapi, yang bermasalah sepertinya adalah mesin. Mungkin terlalu lama kena air hujan, pikirku. Hary pun mengeluarkan sejumlah obeng dan beberapa busi bekas dari bagasi motornya, berharap ada yang bisa dia lakukan dengan motor mogoknya itu. Tak cukup semenit, suara pintu bangunan tersebut berdecit-decit, seolah-olah ada yang sedang berusaha keluar, entah manusia atau yang lebih buruk daripada itu. Heri sedikit menenangkan suasana dengan mengatakan bahwa suara itu mungkin dari seekor tikus yang berusaha keluar dari sana. Namun, tampaknya Hary sudah setengah meringis, dia sangat ingin meninggalkan tempat itu. Aku bingung, di satu sisi, aku sepertinya merasa geli melihat muka Hary sedang meringis. Bayangkan saja, badannya sangat kekar (mengingat dia pekerja serabutan, kuli bangunan ada dalam list-nya) dan mukanya juga kekar, tetapi ekspresinya seperti bayi yang sedang menahan kentut. Lucu sekali. Di sisi lainnya, aku juga cukup ketakutan dengan suara-suara itu. Entah apa itu, yang jelas aku takut. Memang, di samping kiri rumahku adalah kompleks pemakaman keluarga dan tepat di belakangnya adalah kebunku, tempat dimana aku sering menunggu durian jatuh ketika sedang musimnya. Namun, saat itu tidak sama dengan kompleks pemakaman samping rumahku. Tempat itu sunyi, gelap, dan baunya seperti arang yang terkena hujan, bukan petrikor. Walaupun jumlah kami empat orang, tapi aku merasa sendirian. Posisi kami saat itu saling berjauhan, aku masih di teras bangunan, Heri juga, namun ia berada dua meter di samping kananku, tepat di depan pintu bangunan yang tersegel itu, Agung duduk di motor sambil menyalakan lampu motor untuk menerangi Hary yang sedang memerbaiki motornya.
Serasa lima menit berdiri, tiba-tiba aku melihat wajah pucat Heri. Pertama kalinya aku melihat dia sangat ketakutan. Keringat di dahinya pun terlihat ketakutan. Aku pun mengajak dia berbicara,

mas, kenapa mas?”
“takut bro!”
“takut kenapa? Saya tidak dengar ada suara-suara aneh?”
“Coba kamu tengok di bawah kakiku ini ada apa?”

Tidak mencoba mendramatisir, namun aku menurunkan mataku yang setengah melotot dengan sangat pelan. Mirip seperti adegan slow-motion di film-film. Aku tersenyum kecut ketika mataku telah sampai di kaki Heri. Ingin rasanya menangis saat itu, sebuah perasaan yang aneh. Takut dengan ekspresi senyum sambil menangis. Aku melihat sebuah...

mas, ada tangan mas.” ucapku sambil gemetar
“tangan apa?”
“tangannya pucat mas, terus kukunya hitam kotor.”
“yang benar kamu?”
“iya mas, coba ditengok sendiri.”
“biarin aja, cuman dipegang-pegang kok.” kata Heri sok tegar, padahal terlihat jelas rasa takut yang luar biasa di wajahnya.

Kami berdua pun kembali diam dengan tatapan kosong ke depan, muka tanpa ekspresi, dan keringat dingin berlebih di daerah dahi dan sekitarnya. Sepertinya kami pasrah mau diapakan oleh “sesosok tangan” itu. Tangan yang tampak tersebut hanya sebatas lengan saja, menjulur dari dalam bangunan, tepat di bawah lubang pintu. Pucat, keriput, serta kuku-kukunya panjang dan hitam karena kotor. Tidak lama kemudian, Agung memanggil aku dengan isyarat tangan. Aku sedikit agak lega karena menjauhi bangunan itu. Heri pun mengikutiku. Mungkin dia juga merasa tidak betah dan berharap pergi dari tempat itu. Sesampainya di sebelah Agung, ia pun mencoba melirik-lirikan matanya dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang bangunan. Aku mau saja menebak apa yang sedang dilihat oleh Agung, tapi aku memilih untuk tidak menebak, tidak pula menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Agung. Heri yang menuruti isyarat dari Agung, menoleh ke arah belakang bangunan itu dan sedikit berbisik setengah menganga, katanya: HAN.. HA.. RA.. HA... (baca: genderuwo). Kau bisa membayangkan bagaimana ekspresi kami bertiga. Aku yang tidak menoleh saja, serasa ingin terbang menjauh dari tempat itu, apalagi Agung dan Heri yang telah menoleh. Mungkin, mereka berdua berharap dibuat pingsan atau setidaknya, mereka berharap memiliki kekuatan teleportasi berpindah tempat kemana saja, asal bukan di tempat itu, tapi tidak bisa.
Rasanya ada yang ketinggalan. Oya, ada Hary yang sedari tadi meringis tidak karuan. Ternyata dia juga melihat mahkluk “genderuwo” tersebut. Mukanya terlihat sekecut jeruk yang masih sangat muda, kecut-kecut pahit, sulit mendeskripsikannya. Seperti “Budi Anduk” yang sedang bermain maracas sambil telanjang dan dilempar di tengah-tengah sekawanan ikan hiu (ungkapan dalam anime Gintama, lupa episode yang ke berapa, pokoknya menceritakan Shogun yang pengen mandi di kolam renang publik. Hanya saja, kata Mutsu-ken di ganti dengan Budi Anduk). Ditambah lagi, dia sendirian bersama motornya yang berjarak sekitar tiga meter dari kami. Bayangkanlah ketakutan yang ia rasakan. Terlihat tetes-tetes embun di matanya, kelihatannya dia sedang menangis. Yang jelas, dia menangis bukan karena sedih, namun karena hal yang lain. Tapi apa daya, motornya belum juga pulih. Tak ada jalan lain, dia mengangguk-anggukan kepalanya, sinyal untuk melarikan diri dari tempat itu. Kami pelan-pelan menjauhi bangunan itu. Hanya beberapa langkah dari situ, terdengar raungan yang membuat merinding sekujur tubuh. Alangkah takutnya kami saat itu. Kami kocar-kacir sambil berteriak: “SEEETAAAAAAAAAN!!!”. Anjrit bener! Sumpah bro, aku mau disambar geledek bareng-bareng! Sungguh rasa takut yang luar biasa! Agung langsung memacu motornya menembus rerumputan yang berada di sela-sela pohon kelapa sawit, aku dan Heri berlari lurus ke depan mengikuti lampu motor Agung, selangkangan celanaku robek ketika melewati pohon yang tumbang di sekitar situ. Sedangkan Hary, aku tidak tahu bagaimana dia bisa secepat itu mendahului kami sambil mendorong motornya. Mungkin efek kerja serabutan.
Kami berlari pontang-panting hingga keluar dari kompleks PTP. Jarak dari bangunan yang menyeramkan itu hingga gerbang masuk adalah lima ratus meter, tapi kami tidak capek dan memerdulikan seberapa jauh jaraknya, yang penting kami pergi secepat kilat dari situ. Tidak sampai semenit (menurut perkiraanku), kami telah sampai di jalan yang kami lalui tadi dan bermaksud untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Aku, Agung, dan Heri berboncengan sambil mendorong Hary dan motornya yang mogok. Hanya lima menit dari gerbang kompleks PTP, bensin motor Agung habis. WTF! Celaka dua belas! Mungkin, kami memang banyak dosa. Akhirnya, kami mendorong dua motor sekaligus hingga menemui toko yang menjual bensin eceran. Dan kalian tahu seberapa lama kami berjalan? Kami melihat jam tangan Heri dan memerkirakan waktu yang kami tempuh dari lokasi mogoknya motor Agung hingga kami menemukan toko penjual bensin eceran adalah sekitar satu jam. SATU JAM!!! Kami mendorong motor, maksudku dua motor, tanpa berbicara sepatah kata pun, wajah pucat, keringat dingin, lutut lemas, mengertakan gigi karena kedinginan, pandangan kosong, dan terlihat sangat paranoid ketika mendengar suara aneh di semak-semak sepanjang jalan. Kadang kami berteriak histeris dan dilanjutkan dengan tertawa-tawa aneh untuk menghibur diri, mirip orang sinting. Kuulangi dan kupertegas bahwa kami berjalan dengan kondisi seperti itu di sepanjang jalan dan selama SATU JAM!!!
Alangkah sialnya kami hari itu. Namun, kesialan tidak hanya sampai di situ. Ketika hendak membayar uang bensin, aku teringat dengan kondisi keuangan kami. Ternyata uang kami tadi habis dipakai untuk bayar sewa studio buat latihan. Kami saling melempar pandangan. Hanya perasaan “minta dikasihani” yang terpancar dari wajah kami. Kami benar-benar kehabisan akal. Aku melihat sekeliling, mungkin ada yang bisa dikenali. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Aku mengenali seseorang yang sedang lewat. Seorang gadis yang perawakannya pendek, mengenakan baju kaos, celana santai, dan mengenakan sendal jepit. Dia adalah temanku saat SD, namanya Masnawati. Selepas SD, dia langsung dipinang. Hal tersebut bukanlah hal yang mengherankan di kampungku. Singkat cerita, aku menghampiri dia dan bertanya apakah dia punya sedikit uang untuk kami pakai membayar bensin. Untung saja, toko yang kami singgahi adalah toko miliknya. Mungkin ini yang dinamakan “berkah di balik musibah”. Tetangganya pun punya bengkel motor, sekalian saja memerbaiki motor si Hary, kataku. Sekali tepuk, dua lalat kena. Ajaib benar. Namun, kami masih saja paranoid memikirkan hal yang baru saja kami alami di bangunan tua itu. Setelah sedikit bercerita dengan Masna (begitu panggilannya), dia yakin bahwa tadi kami sedang berteduh di genset. Tepat dugaanku tadi. Berdasarkan ciri-ciri hantu yang kusebutkan tadi, tidak salah lagi bahwa mereka adalah penghuni genset. 
        Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kedua motor yang kami akan naiki sudah pulih. Lega juga akhirnya, walaupun jam tangan Heri telah menunjukan waktu yang larut malam, sekitar sepuluh menit lagi tengah malam. Aku sangat berterima kasih kepada Masna dan juga tetangganya (lupa siapa namanya) yang sudah mau sibuk memerbaiki motor Hary walaupun telah larut malam. Sesampainya di pertigaan jalan poros, Agung mengantarku ke rumahku yang berada di Selatan pertigaan, sedangkan Hary dan Heri melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang berada di Utara pertigaan. Setibanya di rumah, Agung langsung pamit pulang. Katanya, dia sangat capek. Aku juga merasakan hal yang sama. Selepas Agung pergi dari rumahku, aku langsung masuk dan membasahi kepalaku dengan air keran untuk membersihkan sisa-sisa air hujan, takutnya nanti sakit, begitu kata orang-orang tua dulu. Aku pun melepaskan baju dan celanaku yang basah, dan berjalan menuju ke kamarku sambil telanjang. Malam itu, seluruh keluargaku telah tidur terlelap, tinggal aku sendiri yang masih sadar dan berharap untuk tidak memimpikan hal yang buruk dan mungkin sisi positifnya, berat badanku berkurang tiga kilogram malam itu. Benar-benar malam yang sial!

*****

Begitulah cerita tentang pengalaman sialku. Melihat beberapa hal yang tergolong aneh dan cukup membuatku paranoid. Ketika natal di rumah Rio, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan dan melihat kembali tempat “kesialan” kami itu, genset. Kini, tempat itu telah rata dengan tanah. Hanya ada beberapa bekas bangunan di sana. Namun, tempat itu masih menyimpan kesan mistis, apalagi lagi saat itu, ketika kami kembali ke rumah Rio, hujan deras turun dan mengingatkanku dan Agung pada saat kami terjebak di sana dulu. Sungguh pengalaman yang ingin sekali kami lupakan, tapi sepertinya tidak bisa. Pengalaman ini pernah aku tuliskan ketika kami mengerjakan tugas akhir mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diwajibkan membuat sebuah cerpen berdasarkan pengalaman kami. Yah, aku pilih pengalamanku yang satu ini dengan menambahkan sedikit kesan-kesan ala detektif (saat itu, aku suka sekali dengan anime Detective Conan), entah guru kami percaya atau tidak, who cares? Tapi, percayalah bahwa hal-hal yang terjadi di genset pada malam itu, semuanya adalah kisah nyata seratus persen. Aku pun menutup cerita tentang kenangan tersebut sambil menghabiskan minuman dinginku yang sedari tadi aku tinggalkan, ketika berjalan-jalan mengunjungi tempat “kesialan”-ku dulu.

SEKIAN

Tuesday, September 29, 2015

Sendok dan Garpu




Ketika sedang menikmati makan malam di sebuah warung kecil yang terletak di pinggiran kota, tiba-tiba terlintas dalam benakku sebuah pertanyaan, “kapan dan dimana, manusia pertama kali menciptakan sendok dan garpu?”. Agak aneh sekaligus konyol juga karena secara tidak sadar, cukup lama saya menghabiskan waktu untuk saling bertatap-tatapan dengan sendok dan garpu yang sedang saya pengang. Tentu, pertanyaan ini sangat sederhana dan terlihat sangat mudah. Tetapi setelah dipikir-pikir, sendok dan garpu merupakan produk yang cukup berguna bahkan selalu menghiasi meja-meja makan, namun kemunculannya tidak begitu dipermasalahkan atau menonjol jika dibandingkan dengan lampu, misalnya. Selain itu, jika dilihat dari konteks budaya lokal Indonesia, hampir semua suku pribumi tidak mengenal budaya sendok dan garpu. Lantas, bagaimana bisa kedua benda yang kecil itu menjadi salah satu produk budaya yang bersifat universal? Tulisan ini hanya saya fokuskan saja pada sejarahnya. Jadi, kita akan sedikit mendengarkan dongeng yang panjang lebar. Oh iya, tulisan ini juga hanya sekedar iseng-iseng dan merupakan hasil rangkuman dari beberapa tulisan yang berkaitan dengan sejarah sendok dan garpu.
Entah darimana memulainya, yang jelas, sendok dan garpu belum pasti “kapan” dan “dimana” pertama kali ditemukan. Banyak para arkeolog menduga bahwa sendoklah yang pertama kali muncul dibanding garpu. Sendok merupakan salah satu alat makan tertua, diyakini telah ada sejak zaman prasejarah (jika melihat dari kacamata orang Eropa, sendok telah ada sejak zaman paleolitikum). Pada saat itu, bentuk sendok masih sangat sederhana dan bahannya pun berasal dari benda-benda yang mudah didapatkan, seperti kayu atau cangkang kerang[1]. Semakin berkembangnya zaman, sendok sudah mengalami beberapa modifikasi dari segi bentuk dan bahan.
Beberapa penelitian arkeologi telah mengungkap penggunaan serta bahan dari sendok, seperti Peradaban Mesir Kuno (1000 SM), ditemukan sendok dari bahan tanduk dan kayu yang dihiasi hieroglip dan simbol-simbol agama Mesir Kuno. Diduga, sendok tersebut digunakan untuk keperluan ritual suci. Selain itu, sendok juga ditemukan di situs Peradaban Neolitik Ozieri, Sardinia (3200-2800 SM), ditemukan sendok yang terbuat dari keramik. Lain halnya dengan sendok dari Dinasti Shang, Cina (1600-1046 SM), yang terbuat dari tulang atau perunggu. Dalam kebudayaan Klasik Eropa (Yunani dan Romawi), sendok terbuat dari perungu atau perak. Selain penelitian material culture, bukti penggunaan sendok juga dapat ditemukan dalam teks-teks kuno, misalnya dalam kitab Rigveda, tertulis “menyentuh mulut sendok” (RV 8.43.10).

Sendok Kayu Mary Rose, abad XVI.
Di Eropa, sendok pertama kali didokumentasikan pada tahun 1259, sebagai salah satu perkakas dalam lemari Raja Edward I. Sama halnya dengan Mesir Kuno, penggunaan sendok pada saat itu hanya untuk kebutuhan keagamaan. Pada zaman pertengahan, sekitar abad XV, sendok yang digunakan terbuat dari tanduk sapi, kayu, kuningan, atau timah. Pada masa tersebut, sendok sangat populer digunakan sebagai salah satu alat untuk ritual suci, seperti pembaptisan. Sendok pada masa tersebut, umumnya memiliki ukiran-ukiran yang bersifat keagamaan. Pada abad XVIII, bentuk sendok semakin ramping dan cukup ringan. Nah, sendok yang kalian lihat dan pakai pada saat ini, pertama kali digunakan pada tahun 1760.

Kegunaan sendok pun beragam. Di Eropa, sendok digunakan untuk mengangkat makanan cair/semi-cair, seperti sup, es krim, kacang hijau, gula, dan segala jenis makanan bubuk. Lain halnya dengan di Asia Tenggara, sendok merupakan alat utama yang digunakan untuk makan. Selain itu, sendok juga digunakan untuk memasak atau mengaduk bahan olahan kue atau roti. Oleh karena itu, bentuk sendok pun menjadi beragam sesuai fungsinya, seperti sendok teh, sendok makan, sendok es krim, sendok untuk mengaduk nasi/bahan kue, bahkan ada sendok yang hanya menjadi barang pajangan atau suvenir yang diukir untuk mengingat suatu peristiwa.
Lantas, bagaimana dengan garpu?
Garpu merupakan sahabat karib dari sendok. Banyak ahli kebudayaan yang mengatakan bahwa garpu telah lama digunakan oleh masyarakat di Timur Tengah. Tapi, dahulu, kombinasi alat makan sendok dan garpu hanya populer digunakan untuk makanan Barat dan menyebar ke Asia Utara (sekarang Rusia), sedangkan Asia Timur hingga Utara Asia Tenggara lebih lazim menggunakan sumpit. Kata garpu berasal dari bahasa latin yaitu “furca” yang berarti penggaruk rumput. Sama halnya dengan sendok, kemunculan garpu juga sangat tidak jelas. Beberapa literatur menyebutkan penggunaan garpu sebagai alat memasak di Mesir Kuno. Namun, beberapa bukti arkeologis menunjukan eksistensi garpu, seperti garpu yang terbuat dari tulang di situs pemakaman Zaman Perunggu Qijia (2400-1900 SM). Selain itu, penggunaan garpu juga disebutkan dalam kebudayaan Romawi Timur, tepatnya kekaisaran Bizantium. Tercatat bahwa pada abad X, Domenico Salvo dari Venesia, tunangan seorang putri dari kekaisaran Bizantium membawa dua buah garpu dalam kopernya. Selain itu, Theophano Sklereina, istri Kaisar Bizantium, Otto II, adalah yang pertama kali memerkenalkan garpu di Eropa Barat saat perjamuan Imperial, tahun 972. 

Sendok dan garpu dari Syria, abad 4 M.
Pada abad XI, garpu semakin populer digunakan di Semenanjung Italia. Pada awalnya, bahannya adalah kayu yang ujungnya dipasangi tiga batang kayu, desain ini diciptakan untuk memudahkan orang-orang menggulung mie atau spageti. Kemudian di Portugal pada abad XV, sekitar tahun 1450, kebudayaan penggunaan garpu di meja makan diperkenalkan oleh Duchess of Viseu, Infanta Beatrice, ibu dari raja portugal, Raja Manuel I. Di Perancis, garpu pertama kali diperkenalkan oleh Catherine de Medicis yang menikah dengan Raja Henry II pada tahun 1533. Dalam literatur Perancis juga tertulis penggunaan garpu pada pesta pernikanan putri Raja Louis XIV, Duc de Chartres pada tahun 1692. Namun, garpu tidak umum digunakan di Eropa Barat sampai abad XVI, sedangkan untuk Eropa sampai abad XIX.
Penggunaan garpu di Inggris terjadi belakangan. Tercatat seseorang berkebangsaan Inggris, Thomas Corryate membawa garpu yang dibelinya saat melakukan perjalanan di Italia (1611). Pada masa itu, garpu dianggap sebagai wujud penghinaan terhadap Tuhan. Dikatakan bahwa... “Tuhan sangat bijaksana telah memberikan garpu alami (jari-jari) pada manusia. Oleh karena itu, menggunakan garpu yang terbuat dari logam ketika makan merupakan penghinaan kepada-Nya”. Selain itu, garpu juga sering diasosiasikan dengan tongkat iblis. Sedangkan dalam kebudayaan Jerman, penggunaan garpu menjadi sangat penting karena makan menggunakan tangan kosong dianggap sangat tidak sopan. Lalu, di Amerika sendiri, garpu baru mulai populer digunakan pasca-revolusi Amerika (1783). Sama halnya dengan sendok, garpu juga memiliki jenis sesuai fungsinya, seperti garpu makan, garpu kue, dan garpu daging.

Sendok dari tempurung kelapa dengan gagang yang terbuat dari bambu.
Dalam kebudayaan lokal Indonesia, sebenarnya mengenal sendok, namun bentuknya sedikit berbeda. Kalian pasti pernah makan daging buah kelapa memakai sendok yang terbuat dari kulit kelapa atau pengaduk nasi yang terbuat dari tempurung kelapa dan bambu sebagai gagangnya atau jika kalian dari suku Jawa, pasti mengenal istilah sudu, sebuah sendok yang terbuat dari daun pisang, biasanya digunakan untuk menyantap bubur atau liwet. Nah, itu semua merupakan bentuk sendok tradisional, meskipun tidak semua wilayah di Indonesia memiliki budaya menggunakan sendok. Begitupun dengan garpu. Budaya lokal Indonesia tidak mengenal garpu seperti di Timur Tengah. Di sana, mereka menggunakan garpu untuk memanggang daging, sedangkan di Indonesia, orang-orang biasanya menusuk daging (sate’) dengan sebatang kayu dan memanggangnya. Budaya sendok dan garpu masuk ke Indonesia setelah adanya pengaruh dari bangsa asing, utamanya bangsa Eropa. Saya curiga, mungkin inilah yang dimaksud “bangga dengan kebudayaan orang luar”. Tapi, saya rasa cukup sampai di sini dulu tulisan ini. Entah, jika ada yang ingin lebih lanjut menulis kajian pasca-kolonial mengenai penggunaan sendok dan garpu di meja makan orang Indonesia, silahkan!


[1] Secara etimologis, sendok berasal dari bahasa Yunani, yaitu “cochlea” yang berarti cangkang kerang. Kalian juga pasti tahu bahwa bahasa Inggris untuk sendok adalah spoon. Nah, kata spoon sendiri berasal dari bahasa Anglo-Saxon, yaitu “spon” yang berarti serpihan kayu.