Tuesday, June 9, 2015

Oseania: Sebaran Tinggalan Arkeologis serta Hubungan dan Kontak Budaya Austronesia di Kepulauan Pasifik


Abstrak
Artikel ini berisi tentang penjelasan arkeologis atas tiga zona ekologi Oseania, yakni Melanesia, Mikronesia, Polinesia, serta hubungan dan kontak budaya yang ada di sana. Secara garis besar, budaya gerabah lapita tersebar hampir disetiap wilayah Oseania. Namun, fitur gerabah lapita semakin ke Timur, semakin sedikit. Selain itu, fauna juga menjadi bukti ekspansi manusia di pulau-pulau Oseania. Di samping itu, bukti artefaktual yang monumental juga tersebar dari Melanesia hingga ke Polinesia. Monumen yang paling terkenal adalah Patung Moai di Rapa Nui (Pulau Paskah).
Hubungan dan kontak budaya dapat terlihat dari cara mereka berdagang. Pulau Yap yang mulai menggunakan cangkang kerang sebagai alat tukar, perdagangan obsidian Talasea-Borneo, hingga “kula” yang elegan di Polinesia. Walaupun banyak bukti-bukti linguistik, arkeologis, maupun antropologis, tidak menutup kemungkinan masih banyak budaya yang masih belum terungkap.

Kata kunci: Oseania, Melanesia, Mikronesia, Polinesia, Lapita, Perdagangan.



            A.                Pendahuluan
Austronesia merupakan suatu istilah yang disematkan oleh para ahli linguistik terhadap sekelompok masyarakat budaya yang memiliki kemiripan bahasa secara geografis; membentang dari Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah dan membujur dari Kepulauan Hawaii hingga Selandia Baru (Masinambow, 2003 : 1; Noerwidi, 2008 : 1-2) (Gambar 1). Kebudayaan austronesia memiliki sejarah peradaban yang sangat panjang dan juga tinggalan budaya luar biasa yang masih bisa kita lihat sampai saat ini. Hampir sama dengan budaya di tempat lain, kebudayaan austronesia pun dimulai sejak zaman batu, hanya saja kebudayaan ini tergolong baru dan penggolongan three age system sepertinya tidak berlaku untuk budaya ini. 


Gambar 1. Persebaran kebudayaan austronesia

Perkembangan pemikiran yang sangat pesat membuat manusia pada saat itu mulai mengembangkan sistem teknologi pelayaran, perdagangan/ perekonomian, religi, sosial masyarakat, dan juga sistem mata pencaharian awal. Secara geografis, bangsa austronesia menetap di kepulauan, maka sebagian besar bangsa austronesia merupakan bangsa maritim dan oleh karena itu, sistem mata pencaharian difokuskan pada kegiatan menangkap dan budidaya ikan air asin. Di Oseania, peradaban Polinesia hampir setara dengan Yunani kuno atau Roma, hanya saja, mereka tidak melewati zaman besi dan tidak ada budaya tulisan. Pada tahun 1976, Chaumont Devin mengunjungi Pulau Rennell dan mendapati sistem kasta sosial yang sangat teratur dengan tingkatan-tingkatan serta pangkat. Menurutnya, mungkin sebelum munculnya agama Hindu di India, bangsa austronesia sudah melakukan kontak budaya, misalnya dengan Kebudayaan Harapa. Tanda-tanda kontak budaya tersebut terlihat kepemimpinan, pemukiman, dan hal-hal yang bersifat rohaniah, seperti filsafah, penyembahan, dan agama (Devin, 2009 : 6).
Beberapa ahli berpendapat bahwa manusia pendukung dari kebudayaan ini adalah Negrito atau Australomelanesid (Devin, 2009 : 3) dan Mongoloid (Noerwidi, 2008 : 6). Adapun tinggalan-tinggalan artefaktual dari budaya austronesia seperti kapak genggam, kapak persegi, alat-alat serpih dari batu, tulang, dan kerang, gerabah, manik-manik, mata kail, monumen pemujaan (altar, batu pemujaan, dolmen), wadah kubur, dan patung megalitik. Akan tetapi, dalam tulisan ini akan dikhususkan pada wilayah di Oseania serta menghubungkannya satu sama lain. Kajian mengenai austronesia di Oseania sungguh sangat menarik karena jarak antar pulau yang sangat jauh dan kontak budaya yang mereka lakukan berbeda dengan budaya-budaya yang lain.

            B.                 Oseania
Oseania atau Kepulauan Pasifik merupakan gugusan pulau-pulau yang membentang dari Pulau Nugini (Papua) hingga Pulau Paskah dan membujur dari Pulau Hawaii hingga Selandia Baru. Kondisi geografisnya sebagian besar merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah 34 negara kepulauan. Secara ekologi, Oseania terbagi atas tiga zona ekologi yaitu, Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia (Gambar 2).[1]



Gambar 2. Zona ekologi Oseania

Melanesia merupakan wilayah yang termasuk daratan Nugini dan semua pulau-pulau selatan khatulistiwa seperti Fiji dan Kaledonia Baru. Sebutan Pulau Melanesia mengacu kepada Melanesia, kecuali daratan Nugini. Propinsi Papua, Indonesia meliputi bagian Barat Nugini, sedangkan bagian Timur adalah Papua Nugini, yang juga termasuk pulau-pulau di Kepulauan Bismarck dan Solomon Utara. Mikronesia mencakup semua pulau di Utara atau mengangkangi khatulistiwa antara Palau dan Marianas di Barat dan Marshall dan Kiribati di Timur. "Segitiga Polinesia" meliputi wilayah antara Hawaii, Selandia Baru, dan Rapa Nui/Pulau Paskah. Polinesia Barat terdiri atas Tuvalu, Tonga, dan Samoa; Polinesia Timur mencakup semua sisanya; Selandia Baru dan pulau-pulau di dekatnya dipisahkan sebagai Polinesia Selatan. Beberapa arkeolog sering mengganti skema Melanesia-Mikronesia-Polinesia dengan istilah Oseania Dekat (Near Oceania) dan Oseania Jauh (Remote Oceania). Oceania Dekat meliputi daerah-daerah yang pertama kali digunakan sebagai lokasi tinggal dan menetap di era pleistosen: Australia dan Melanesia sampai Kepulauan Solomon Utama (tidak termasuk pulau-pulau kecil di sebelah Tenggara); sedangkan Oseania Jauh meliputi Polinesia dan Mikronesia (Lilley, 2006 : 4). Penjelasan mengenai tinggalan arkeologis di masing-masing wilayah akan dibahas dalam bentuk uraian sebagai berikut.

1.                  Melanesia
Melanesia berarti “kepulauan orang-orang hitam”. Julukan ini diberikan oleh Jules Dumont d’Urville pada tahun 1832 karena sebagian besar penduduk di wilayah ini berasal dari ras austromelanesid yang memiliki ciri fisik berkulit hitam. Adapun pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Melanesia yaitu, Papua, Timor, Maluku, Fiji, Kepulauan Salomon, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Loyalty, Vanuatu, dan Kaledonia Baru. Sekarang ini, anggapan etimologis Melanesia sudah tidak tepat sebab Melanesia memiliki keragaman budaya, linguistik, dan genetik, sehingga istilah ini lebih mengarah kepada letak geografis saja.[2]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Melanesia termasuk dalam Oseania Dekat yang notabene merupakan wilayah yang pertama kali dihuni, Green (dalam Sand, 2002 : 3) berpendapat bahwa manusia telah menetap di Melanesia sebelah Utara sekitar 30.000 BP, sedangkan di Melanesia sebelah Selatan (Vanuatu, Kepulauan Loyalty, Kaledonia Baru, dan Fiji) baru ditempati sekitar 3.000 BP. Bukti arkeologis pemukiman awal, dapat terlihat di Vanuatu Utara. Pada survei yang dilakukan oleh Coifier menunjukkan bukti eksistensi di Lembah Pentakosta dan Maevo, seperti rumah hunian yang terbuat dari batu-batu besar. Selain rumah hunian, ada juga bukti-bukti pemukiman berupa tempat-tempat pemujaan dan penguburan di Solomon Barat, Vanuatu, dan Fiji, ditandai dengan adanya patung megalitik yang mirip dengan wajah manusia (Sand, 2002 : 3-4).
Adapun struktur arkeologis yang dijumpai pada pulau-pulau di Melanesia seperti, bekas-bekas ladang dan juga benteng. Terasering dan bekas irigasi pertanian awal, banyak dijumpai di Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, dan Kepulauan Bismarck. Untuk tinggalan arkeologis berupa benteng ditemukan di Fiji dan Solomon, serta Situs Mare di Kepulauan Loyalty, dengan dinding benteng sepanjang 500 m dan lebar 4 - 10 m dengan memanfaatkan fosil karang sepanjang ± 2,5 m (Sand, 2002 : 4-5).
Selain struktur dan bangunan, ada juga tinggalan arkeologis yang khas dan bersifat moveable di Melanesia yaitu, gerabah lapita (Gambar 3). Gerabah ini merupakan gerabah dengan pola hias/motif yang khas, geometris, berliku, bergerigi, melingkar, antropomorfik (topeng), swastika, serta memiliki lubang di bibir atau tepiannya. Pola hias pada gerabah ini biasanya dibuat dengan teknik gores, tempel, tusuk, tekan, tatap ukir, dan cap (Nur, 2015). Penyebaran geografis gerabah lapita mulai dari Manus (Marshall) di Utara hingga Selat Vitiaz (antara Nugini dan New Britain) di Selatan dan membentang dari Tonga di Barat hingga Samoa di timur. Tinggalan arkeologis di Nugini hanyalah fragmen dari pot tunggal, di Situs Aitape, pantai utara Provinsi Sepik Barat, Papua Nugini. Budaya Lapita bertarikh sekitar 1.600 BC sampai 500 BC dan 1 AD di daerah yang berbeda, walaupun beberapa fiturnya hilang, namun tetap memerlihatkan ciri khas lapita (Spriggs, 2006 : 119).


Gambar 3. Gerabah lapita

Hingga saat ini, ada tiga gaya gerabah lapita yang diakui, yakni lapita proto-Barat, lapita Barat, dan lapita Timur. Lapita proto-Barat memiliki persebaran yang terbatas pada Kepulauan Bismarck dan bertarikh sekitar 1600-1200 BC. Gaya ini menghasilkan bentuk bejana yang paling sempurna dan motif dekoratif yang paling rumit dengan teknik cap bergerigi. Lapita Barat bertarikh 1200 BC di Kepulauan Bismarcks dan mewakili gerabah Lapita di Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru. Gerabah ini memiliki dekorasi yang kurang rumit jika dibandingkan dengan proto-Barat, hampir memiliki bentuk yang sempurna dan umumnya menggunakan teknik tekan. Gaya lapita Barat berlangsung sampai tahun 1 AD di beberapa daerah, sementara di tempat lain, teknik dekoratif cap bergerigi hanya berlangsung hingga 500 BC. Lapita Timur ditemukan di Fiji dan Polinesia Barat, bertarikh 1000 BC. Motif dan bentuknya masih sederhana. Teknik cap bergerigi juga digunakan untuk gerabah dengan gaya ini. Di Tonga, gaya ini digunakan sampai ± 2000 BP, sedangkan di Samoa, tradisi gerabah ini berhenti pada 800 BC. Gaya lapita Timur berhubungan erat dengan gaya lapita Barat di Malo, Vanuatu utara (Spriggs, 2006 : 123-124).

2.                  Mikronesia
Mikronesia dapat diartikan sebagai “pulau-pulau kecil”. Batas-batas administratif Mikronesia adalah Filipina di sebelah Barat, Indonesia di Barat Daya, Papua Nugini dan Melanesia di sebelah Selatan, dan Polinesia di Tenggara dan Timur. Secara politis, Mikronesia terbagi atas delapan negara yakni, Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshall, Palau, Nauru, Kiribati, Kepulauan Mariana Utara, Guam, dan Pulau Wake. Sebagian besar pulau-pulau di Mikronesia merupakan milik Amerika Serikat, namun secara ekologi masih tetap termasuk dalam Mikronesia.[3]
Penelitian menunjukan bahwa Mikronesia telah dihuni sejak 2.000 BP. Bukti arkeologis yang dapat membuktikan hal tersebut adalah gerabah dan tulang-tulang anjing yang ditemukan di Chuuk, Pohnpei, dan Kosrae. Gerabah Mikronesia tidak memiliki motif/polos, banyak ditemukan di Kepulauan Mariana dan sering disebut Gerabah Mariana’s Red, berbeda jauh dengan gerabah lapita (Nur, 2015). Tulang anjing ditemukan di Chuuk, Pohnpei, dan Kosrae bertarikh 2.000 BP. Tulang anjing tidak ditemukan di Mikronesia sebelah Barat, kecuali di Pulau Fais, Kep. Carolina, ditemukan tulang anjing yang bertarikh 1800 BP. Selain itu, ditemukan pula tulang anjing di Pulau Marshall bertarikh 1000 BP (Intoh, 1999 : 409-411; Carson, 2014 : 9).
Selain gerabah dan tulang anjing, adapun tinggalan arkeologis yang lain yakni, kapak dan pahat kerang. Bahan utama pembuatan alat kerang ini adalah cangkang kerang dewasa dari jenis Terebra maculata atau Terebra mitra sp. Namun, penggunaan teknologi berbahan kerang ini tergolong masih baru, diperkirakan mulai digunakan pada tahun 1.000-1.200 AD. Pola distribusi kapak dan pahat kerang hanya berlangsung di Mikronesia dan Melanesia, kecuali polinesia. Nukuoro adalah salah satu pulau di mana budaya kapak dan pahat kerang ditemukan. Selain itu, ada beberapa tinggalan arkeologis yang berkaitan dengan mata pencaharian maritim, seperti mata kail ditemukan di Mikronesia: Marshall, Pohnpei, Kosrae dan Fais (Gambar 4). Semua mata kail ini terbuat dari cangkang kerang mutiara dewasa. Adapun pertanggalan yang dihasilkan antara lain di Fais berkisar 450-750 AD dan Kepulauan Marshall 700 AD. Kegiatan memancing khas Oseania juga dipraktekkan di Kepulauan Caroline (Palau, Caroline Pusat, dan Chuuk) dan Melanesia utara (Timur-Laut pantai Nugini, Admiralty, Solomon, Trobriand dll) (Intoh, 1999 : 413-414).


Gambar 4. Mata kail prasejarah di Oseania

3.                  Polinesia
Sesuai dengan namanya yang berarti “banyak pulau”, Polinesia memiliki ribuan, mungkin lebih, pulau yang batas-batasnya membentuk segitiga di Pasifik yang dikenal dengan Segitiga Polinesia. Meskipun demikian, Polinesia hanya memiliki empat negara yang berdaulat, yaitu Tonga, Tuvalu, Samoa, dan Selandia Baru. Sisanya merupakan milik negara-negara Eropa[4]. Oleh karena wilayah teritorial Polinesia sangat luas dan didominasi oleh lautan, maka Polinesia terbagi atas lima kelompok besar kepulauan. Polinesia Utara merupakan Kepulauan Hawaii; Polinesia Timur merupakan Pulau Paskah dan sekitarnya; Polinesia Selatan merupakan Selandia Baru dan sekitarnya; Polinesia Barat terdiri atas Tonga, Samoa, Alice, Phoenix, dan Cook; sedangkan Polinesia Tengah terdiri atas Marquises, Line, Austral, Society, Yap, dan Tahiti (Nur, 2015).
Migrasi manusia modern secara anatomis berasal dari Afrika sekitar 150.000 - 100.000 BP, bergerak ke Timur menuju Asia dan Utara ke Eropa. Bagian dari migrasi ini mencapai Asia Tenggara sekitar 60.000 BP. Populasi ini kemudian menyebar ke Pasifik melalui Nugini-Australia dan Kepulauan Bismarck sekitar 45.000-30.000 BP. Setelah di Asia Tenggara dan Australia, ekplorasi manusia ke daerah-daerah baru berhenti selama hampir 30.000 tahun. Gelombang baru ekspansi menuju ke pulau-pulau Pasifik berlangsung mulai sekitar 3.500 BP. Dalam migrasi ini, orang-orang bergerak menuju ke arah Timur (Samoa dan Tonga) dan dari sana menuju Utara (Hawaii), dan akhirnya, bergerak ke arah Timur dan Selatan menuju Pulau Paskah dan selatan Selandia Baru. Ini merupakan peristiwa migrasi besar manusia yang terakhir. Ekspansi terakhir mencakup seluruh Polinesia Timur sekitar 700-1000 AD. Teknologi canggih dalam pelayaran Amerika Selatan merupakan bukti atau lebih tepatnya sebuah klaim untuk membuktikan kontak budaya antara Polinesia dengan Amerika.  Nenek moyang Polinesia terkenal sebagai navigator ulung dan inovatif di dunia. Mereka menggunakan pengetahuan tentang pasang surut air laut serta astronomi untuk melaut dan mengeksplorasi wilayah pasifik. Mereka ditemukan dan menetap, hampir di setiap pulau di Samudra Pasifik sebelum penjelajah Eropa sampai di Polinesia pada abad XIII. Adapun tradisi tutur Maori mengenai tanah legendaris yang Suku Maori dan orang-orang Polinesia eksplorasi di pulau-pulau Pasifik dan Aotearoa/Selandia Baru bernama Hawaiki. Selain data etnografi tersebut, adapun beberapa bukti ilmiah tentang orang-orang Polinesia yang mencapai Amerika Selatan sebelum bangsa Eropa pertama (Denny dan Smith, 2010 : 1-2; Irwin, 2010 : 52).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa budaya gerabah lapita sampai ke Polinesia yang disebut dengan gaya lapita Timur, yang pertama kali muncul di Kepulauan Bismarck di dekat Oceania sekitar 3500 BP dan bergerak menuju Tonga. Ekskavasi arkeologi yang dilakukan di Samoa dan Tonga sejak tahun 1950 telah menunjukkan bahwa unsur-unsur khas budaya Oseania berkembang di Polinesia dan memiliki kaitan erat dengan ekspansi budaya lapita. Polinesia Barat merupakan pusat dari peradaban Polinesia, namun genetika orang-orang pembawa budaya lapita dan Polinesia modern masih perlu ditinjau. Para Antropolog sangat tertarik pada manusia pendukung budaya lapita dan apa peran mereka dalam teka-teki kebudayaan Pasifik. Sisa-sisa gerabah lapita sekarang banyak ditemukan di kawasan Oseania jauh, yang menunjukkan bahwa orang-orang dan budaya lapita bermigrasi dan memiliki eksistensi sampai ke wilayah sejauh ini (Spriggs, 2006 : 123-124; Denny dan Smith, 2010 : 4; Irwin, 2010 : 59).
Selain budaya lapita, ada pula peradaban yang sangat menarik di Polinesia yaitu peradaban Rapa Nui atau biasa kita kenal dengan sebutan Pulau Paskah. Pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi sejarah pemukiman manusia di Pulau Paskah (Rapa Nui) adalah melalui ekskavasi arkeologi, analisis polen, Carbon dating, dan studi etnografi. Setiap metode menguak informasi mengenai keseluruhan dari sejarah peradaban Rapa Nui, tetapi masing-masing dari metode ini menimbulkan sedikit masalah. Ekskavasi arkeologi dan Carbon dating menghasilkan pertanggalan sekitar 200 AD. Analisis polen, yang mencoba mengetahui erosi tanah dan jenis fauna di Rapa Nui, ternyata populasinya hanya di beberapa tempat di sekitar pulau, tetapi pertanggalan hampir sama dengan Carbon dating. Studi etnografi yang kaya dengan konten, sumbernya sering bertentangan satu sama lain atau dengan bukti ilmiah lainnya. Sekarang ini, sumber yang dipercaya mengatakan bahwa Penduduk Polinesia di Rapa Nui adalah keturunan penjajah yang tiba di pulau sekitar 400 AD. Diperkirakan, mereka tiba di pulau dengan jumlah awak 20-30 orang dengan seorang kepala suku yang mereka sebut Hotu Matu'a, menggunakan perahu layar untuk perjalanan jarak jauh. Para pendatang tersebut membawa banyak persediaan makanan pokok tradisional Polinesia yaitu, ayam, tikus, talas, ubi, ubi jalar, pisang, labu, kertas murbei, kunyit, dan sagu. Berdasarkan bukti linguistik sepanjang Pasifik Selatan, arkeolog dan sejarawan menganggap bahwa asal-usul Rapa Nui adalah Kepulauan Mangareva. Pulau Pitcairn mungkin telah titik akhir migrasi karena lokasinya dekat dengan Rapa Nui (Pakandam, 2009 : 6-7).
Reruntuhan dan monumen budaya memiliki kepentingan bagi mereka, sehingga seolah-olah, seluruh pulau menjadi museum terbuka, dengan tempat-tempat suci yang besar (ahu) dan patung kolosal (moai), yang berdiri di atas ahu atau di lereng vulkanik yang berfungsi sebagai quarry, didedikasikan untuk kultus leluhur. Sekitar tiga abad, sebelum pembangunan pusat upacara yang pertama, ditemukan di pusat upacara yang lain di Tahai dan Vinapu yang bertarikh sekitar 700 AD. Seringkali di ahu, terdapat lebih dari satu patung moai yang mewakili para leluhur. Pertemuan atau upacara, seperti inisiasi, pertemuan tetua adat, dan pesta besar dilakukan dalam rangka mendoakan hasil panen dan diadakan di ahu atau di depan patung. Dalam upacara penguburan, mayat dibungkus kain tapa, diletakkan di ahu tersebut dan diletakan sampai membusuk. Ketika mayatnya tinggal tulang, tulang-tulang tersebut dicuci dan dimakamkan diletakan di sebuah struktur ahu yang disebut avanga (batu-berbaris rongga) (Charola, 1994 : 5, 21).



Gambar 5. Patung-patung Moai

Rumah-rumah bangsawan terletak dekat ahu, sebagian besar yang di sepanjang pantai, sedangkan rakyat jelata lebih ke pedalaman. Rumah-rumah (hare paenga) Rapa Nui memiliki struktur sederhana yang elips berbahan kayu basal persegi panjang dan bentuknya seperti perahu terbalik. Pasak dibuat di permukaan basal sebagai kerangka utama,  kemudian diberi atap yang terbuat dari daun pisang, daun kelapa, atau rumbia dari daun tebu kering atau rumput. Ukuran rumah rata-rata adalah panjang 10-15 meter dan lebar 2 meter, meskipun beberapa rumah, ada yang panjangnya mencapai 40 meter. Adapun barang-barang rumah tangga seperti tikar dan selimut anyaman dari serat nabati, bantal batu (ngarua) dan tempat menyimpan makanan dan air yang terbuat dari labu kering. Rumah rakyat biasa bahkan lebih sederhana tanpa batu pondasi. Setiap rumah yang dilengkapi dengan pemanas alami yang terbuat dari batu berlapis (umupae). Fitur lainnya, termasuk pagar kebun (manavai) yang melindungi tanaman dari dehidrasi dan paparan angin dan kandang ayam (bare moa). Adapun rumah dengan tipe lain yang berbentuk persegi, persegi panjang atau bahkan melingkar, kebanyakan ditemukan di pedalaman pulau. Dari data arkeologi, dapat kita simpulkan bahwa mereka memiliki profesi sampingan, seperti penebang kayu. Selain menebang kayu, mereka juga melakukan aktivitas memancing karena terjadi penurunan populasi pohon dan mereka juga membuat perahu untuk  memancing di laut dalam, kegiatan ini banyak dipraktekkan, terutama di pantai Utara. Sedangkan di perairan dangkal, seperti yang di pantai selatan, jaring juga digunakan untuk menangkap ikan (Charola, 1994 : 21).

C.                Hubungan dan Kontak Budaya di Oseania
Hubungan antar pulau-pulau di Oseania memang sungguh menarik. Hubungan ini telihat jelas dengan adanya budaya gerabah lapita dan juga migrasi fauna-fauna yang ikut bersama dengan manusia. Bukti arkeologi lainnya yang menunjukkan kontak budaya antara Melanesia dan Mikronesia adalah tongkat dengan bentuk kepala yang aneh. Jenis tongkat seperti ini masih banyak didapati di masyarakat di Kepulauan Solomon. Manik-manik yang terbuat dari mutiara serta tradisi pembuatan jenis mata kail diperkirakan terjadi sekitar 2500 BP dan tradsi lapita di Tkopia, Taumako, Watom dan Reef, Santa Cruz. Semua tinggalan arkeologis tersebut terbuat dari kerang Trochus dengan bentuk tonjolan yang sedikit berbeda dari bahan yang pernah digunakan sebelumnya. Namun, kebudayaan ini hampir sama dan khas di Oseania. Tidak jelas bagaimana, kapan, dan di mana Trochus digantikan oleh kerang mutiara untuk membuat mata kail jenis ini. Bukti adanya hubungan dan kontak budaya yang terjadi antara mikronesia dan melanesia adalah anjing dan tikus. Mikronesia merupakan negara kepulauan yang mendapat pengaruh dari segi fauna karena anjing dan tikus merupakan hewan daratan melanesia, begitu pula tikus. Hal ini dapat ditemukan di Kepulauan Caroline (Intoh, 1999 : 407, 414-416).
Sedangkan untuk hubungan antara melanesia dengan polinesia adalah gerabah lapita. Distribusi gerabah lapita sudah dijelaskan pada pembagian tiga gaya lapita yang persebarannya hingga ke Tonga, Polinesia (Spriggs, 2006 : 124). Adapun ciri khas lain dari gerabah lapita yaitu, penggunaan serbuk dari cangkang kerang sebagai bahan temper pengganti pasir. Gerabah di Mikronesia merupakan bentuk ekspansi Melanesia. Buktinya, tembikar timur Mikronesia mirip dengan lapita polos Melanesia, ciri-cirinya, badan melingkar dan tepiannya berlekuk. Fiturnya lebih sedikit, di Chuuk tepian gerabahnya berlekuk, tapi gerabah dengan gaya ini tidak ditemukan di Kosrae. Gerabah yang ditemukan di Pohnpei, hanya 35% yang tepiannya berlekuk. Teknik dayung dan landasan merupakan teknik yang banyak digunakan dalam pembuatan tembikar lapita polos, tetapi tidak untuk Mikronesia, kecuali Pohnpei (Intoh, 1999 : 409).
Berdagang merupakan salah satu aktivitas yang paling memungkinkan oleh penduduk di Oseania dalam melakukan kontak budaya. Bentuk perdagangan antar pulau yang tertua di Oseania adalah perdagangan batu obsidian dari Pulau Talasea ke Sabah (Borneo) untuk keperluan pembuatan perkakas berbahan batu. Perdagangan sejenis ini berlangsung sejak 1.200 - 900 BC dan menyebar ke arah timur, di Kepulauan Hawaaii dan Rapa Nui sekitar 650 AD. Lain halnya dengan di Pulau Yap. Di tempat ini sudah mengenal sistem alat tukar. Mereka memakai cangkang kerang sebagai mata uang dan nilainya diukur dari segi estetika cangkang kerang (Nur, 2015). Selain itu, di wilayah Polinesia, ada juga bentuk perdagangan yang sangat unik, dikenal dengan sebutan “kula”. Kula merupakan suatu potlatch[5], yang dibawa dengan perahu dagang antar suku besar di sepanjang Trobriands, bagian dari kelompok d'Entrecasteaux dan bagian dari Amphletts. Kula memiliki pengaruh secara tidak langsung pada semua suku, walaupun beberapa suku mendapat pengaruh langsung seperti Dobu di Amphletts, Kiriwina, Sinaketa dan Kitava di Trobriands, dan Vakuta di Pulau Woodlark. Perdagangan Kula bersifat aristokrat. Biasanya, barang-barang kula akan disediakan untuk kepala suku dari kapten armada kula. Perdagangan dilakukan dengan elegan dan pamrih, namun sederhana. Kula sangat dibedakan dengan sistem barter yang dikenal dengan sebutan gimwali. Sistem kula seperti potlatch Amerika, dimana ada si pemberi dan si penerima. Adapun aturan dalam kula yaitu, dalam ekspedisi pelayaran besar (uvalaku), diciptakan aturan yang mengatur pengeluaran saat bertukar atau bahkan untuk memberikan imbalan/ gaji pada awak. Pada kunjungan kula, hanya ada satu penerima saja dan pada tahun berikutnya, si penerima akan memberikan hadiah sebagai bunga dari kula (Mauss, 1967 : 20).
Walaupun terpisah secara ekologi, namun, ketiga wilayah Oseania ini memiliki banyak relasi, baik secara linguistik, antropologis, maupun arkeologis. Hubungan dan kontak budaya yang terjalin antar pulau-pulau di Oseania merupakan bukti kekuatan maritim karena mereka terisolasi secara geografis namun dapat berinteraksi dengan baik, bahkan menciptakan teknologi pelayaran jarak jauh. Banyak teori yang berusaha mengungkap cara migrasi penduduk Oseania, antara lain Teori Lompat Katak (Douglas MacArthur), Teori Kon Tiki (Thor Heyerdahl), hingga yang paling terkenal, yaitu Teori Out of Taiwan (Robert Blust). Namun, kebenaran Oseania belum sepenuhnya terkuak. Masih banyak misteri mengenai hubungan dan kontak budaya Oseania yang belum terungkap dan semoga saja, para peneliti dapat sedikit demi sedikit merekonstruksi sejarah peradaban Oseania.



DAFTAR PUSTAKA

Carson, Mike T. 2014. “Position of the Marianas in Oceanic Prehistory”. Dalam First Settlement of Remote Oceania: Earliest Sites in the Mariana Island, SpringerBriefs in Archaeology Volume 1. Hal. 9-14. New York: Springer International Publishing.
Charola, A. Elena. 1994. Easter Island: The Heritage and its Conservation. New York: World Monuments Fund.
Denny, Michal dan Lisa Matisoo-Smith. 2010. “Rethinking Polynesian Origins: Human Settlement of the Pacific”. Dalam LENScience Senior Biology Seminar Series. Hal. 1-9. Auckland: National Research Centre for Growth and Development.
Devin, Chaumont. 2009. Prasejarah dan Sejarah Bangsa Austronesia. Hawaii: tidak terbit.
Intoh, Michiko. 1999. “Cultural Contacs Between Micronesia and Melanesia”. Dalam J. C. Galipaud and I. Liley (eds.) Le Pacifique de 5000 a 2000 avant le Present: Supplements a l’histoire d’une Colonisation. Hal. 407- 422. Paris: Editions de IRD (Institut de Recherche pour le developpement).
Irwin, Geoffrey. 2010. “Navigation and Seafaring”. Dalam Ian Lilley (eds.) Early Human Expansion and Innovation in the Pasific. Hal. 47-72. Paris: International Council on Monuments and Sites.
Lilley, Ian. 2006. Archaeology of Oceania:Australia and the Paciļ¬c Islands. Oxford: Blackwell Publishing.
Masinambow, E.K.M. et al. 2004. Polemik Tentang Masyarakat Austronesia: Fakta atau Fiksi? Jakarta: LIPI Press.
Mauss, Marcel. 1967. The Gift. New York: The Norton Library.
Noerwidi, Sofwan. 2008. Awal Pendaratan Austronesia di Pantai Utara Jawa, Sebuah Prospek Melacak Nenek Moyang Etnis Jawa. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Nur, Muhammad. 2015. Prasejarah Regional: Pasifik. Bahan Ajar. Makassar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Pakandam, Barzin. 2009. Why Easter Island Collapsed: An Answer for an Enduring Question. London: Department of Economic History London School of Economics.
Sand, C. 2002. “Melanesian Tribes vs. Polynesian Chiefdoms: Recent Archaeological Assessment of a Classic Model of Sociopolitical Types in Oceania”. Asian Perspectives Volume 41 Nomor 2. (Hal. 284-296).
Spriggs, Matthew. 2006. “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”. Dalam Peter Bellwood, James J. Fox, dan Darrell Tryon (eds.) The Austronesians: Historical and Comparative Perspective. Hal. 119-142.  Canberra: ANU (Australian National University) E-Press.


[1] “Oceania” Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Oseania, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul 20.03 WITA.
[2] “Melanesia” Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Melanesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul 20.15 WITA.
[3] “Mikronesia” Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mikronesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul 20.21 WITA.
[4] “Polinesia” Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Polinesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul 20.43 WITA.
[5] Istilah “potlatch” didefinisikan Marcel Mauss (1967) dalam bukunya yang berjudul “The Gift” sebagai pemberian yang dipertukarkan. Lebih tegas lagi dikategorikan pembelian timbal balik. Di sini tak ada konsep ikhlas atau saleh, yang ada adalah pemberian berpengharapan.