Sima atau tanah perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak
istimewa dengan tidak di punguti pajak. Biasanya, sima diberikan kepada
orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah. Sima juga biasa
diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu pada saat itu. Daerah sima yang
diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu biasanya dibangun Candi atau Lingga.
Masyarakat disekitar Candi diberikan keistimewaan untuk tidak membayar pajak
dengan syarat, mereka harus menjaga dan merawat Candi tersebut. Ada beberapa
prasasti yang memuat tentang sima, seperti Prasasti Mantyasih dan Prasasti
Plumpungan.
a.
Prasasti Mantyasih
Prasasti Mantyasih atau prasasti Balitung adalah prasasti berangka tahun 907 M yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan
di kampung Mantyasih, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti
ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah,
sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah
kerajaan Mataram Kuno.
Dalam
prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai
desa perdikan (daerah
bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu,
yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu
disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro danSumbing).
Kata
"Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta
kasih".
Prasasti ini bertarikh
828 Saka, bagian yang memuat silsilah raja adalah pada bagian B baris 7-9:
·
ta < 7 > sak rahyang ta rumuhun. sirangbăsa ing wanua. sang
mangdyan kahyaňan. sang magawai kadatwan. sang magalagah pomahan. sang
tomanggöng susuk. sang tumkeng wanua gana kandi landap nyan paka çapatha kamu.
Rahyang
·
< 8 > ta rumuhun. ri mdang. ri poh pitu. rakai mataram. sang
ratu sańjaya. çri mahǎrǎja rakai panangkaran. çri mahǎrǎja rakai panunggalan.
çri mahǎrǎja rakai warak. çri mahǎrǎja rakai garung. çri mahǎrǎja rakai pikatan
·
< 9 > çri mahǎrǎja rakai kayuwańi. çri mahǎrǎja rakai
watuhumalang. lwiha sangkā rikā landap nyān paka çapatha çri mahǎrǎja rakai
watukura dyah dharmmodaya mahāçambhu.
Bosch dalam
karyanya Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952)
berpendapat bahwa di Kerajaan Medang dua dinasti yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra sama-sama
berkuasa. Wangsa Sanjaya didirikan oleh Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu Siwa. Maharaja selanjutnya
ialah Rakai Panangkaran, yang menurutnya dikalahkan
oleh Wangsa Sailendra. Maka di Medang terdapat Wangsa Sanjaya berkuasa di utara
Jawa dan Wangsa Sailendra berkuasa di selatan Jawa.
Namun Putri
Maharaja Samaratungga dari Wangsa Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah
dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang kemudian mewarisi
takhta mertuanya dan Wangsa Sanjaya pun berkuasa kembali di Medang. Bosch
berasumsi bahwa gelar rakai adalah nama silsilah wangsa.
Daftar silsilah raja-raja Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih menurut
Bosch, adalah:
Pendapat berbeda
diberikan oleh Slametmuljana. Ia berpendapat daftar tersebut
bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar raja-raja yang pernah
berkuasa di Kerajaan Medang. Gelar Rakaimenurutnya berarti penguasa
atau pejabat di daerah atau raja bawahan yang masih mempunyai hubungan keluarga
dengan maharaja yang masih bertahta. Ia pun memperbandingkan isi prasasti
Mantyasih dengan prasasti Kelurak, prasasti Kayumwungan, prasasti Siwagraha,
dan prasasti Nalanda; dan berpendapat bahwa Rakai
Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah dari
Wangsa Sailendra, karena Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana sendiri
bergelar Sailendrawamsatilaka (artinya "permata Wangsa Sailendra").
b.
Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan terletak di Desa Kauman Kidul, Kecamatan
Sidorejo,Salatiga. Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi
ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra
secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat
prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan
demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti
Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta
(resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang
raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti tersebut ditulis denganmenmggunakan bahasa Jawa kuno
dan Bahasa Sansekerta. Tulisan itu adalah
1.
Srir Astu Swasti Prajabhyah
2.
Jnaddyaham //O//
3.
//dharmmartham ksetradanam
yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4.
hampragramam
triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5.
kosamragrawalekhaksarawidhiwidhitam
prantasimawidhanam
6.
tasyaitad = bhanunamno bhuwi
bhatu yaso jiwitamcatwa nityam
yang
berarti :
a.
Semoga bahagia ! Selamatlah
rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760m) pada hari
Jumat
b.
tengah hari
c.
Dari beliau, demi agama
untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah
atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka
d.
yaitu desa Hampra yang
terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhdewi
(Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan
e.
ditetapkan dengan tulisan
aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam
f.
dari beliau yang bernama Bhanu.
(dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi
g.
Melalui Prasasti tersebut,
dapat kita simpulkan bahwa Kota Salatiga telah berdiri sejak tahun 760M. Dan
melalui Prasasti tersebut, dapat diketahui bahwa Kota Salatiga pada saat itu
adalah kota yang bebas pajak.