Alkisah
pada suatu ketika, ada sekelompok pengembara yang berjalan melintasi sebuah
gurun. Terik matahari kala itu sangat membakar hingga keringat mereka mengering
sebelum menyentuh tanah, namun para pengembara itu terus melanjutkan
perjalanan. Setelah berjalan selama berhari-hari, mereka beristirahat saat
petang dan berteduh di bawah pohon-pohon akasia yang rindang hingga kaki-kaki
mereka dapat beristirahat dari panas pasir gurun.
Ketika
mereka hendak memejamkan mata karena malam dan kantuk datang menyapa, kepala
kelompok mendengar suara kecil berdecik diantara duri-duri pohon akasia. Ia
mengambil kayu bakaran dari unggun yang menyala, nampaklah seekor burung
hud-hud[1],
gemuk sebesar buah kelapa, berusaha melepaskan diri dari jerat duri-duri akasia
tersebut. Melihat ukuran burung yang tidak biasa itu, tertegunlah ia sebab
kelompoknya hanya meminum air bercampur peluh, gigi mereka tak pernah menguyah
makanan dan lidah mereka tak merasakan nikmatnya daging panggang selama lima
hari mengembara. Sambil menelan ludah, ia berusaha melepas burung itu dan
mendekapnya dengan penuh nafsu.
Lapar
karena lelah dan kepalanya sudah kosong, ia menyiapkan sebuah tusukan dari
akar-akar akasia dan membuat unggunnya menyala lebih besar agar daging dari
burung hud-hud itu cepat masak, lalu kelompoknya bisa makan. Ia mengikat burung
itu di dekat keranjangnya dan menyiapkan segalanya sendirian sementara
kelompoknya tidur. Malam itu cukup hening sehingga kepala kelompok dapat
mendengar suara-suara dari perut anggota kelompoknya yang lapar, ia pun
mempercepat pekerjaannya.
Ketika
pekerjaannya selesai, tibalah saatnya ia memanggang burung hud-hud itu. Ia
mengambil tusukan dan hendak menusuk burung tersebut. Tatkala ia memegang
burung itu, tersingkaplah kain penutup keranjangnya karena burung hud-hud itu
mengamuk. Ia memalingkan perhatian pada kain itu dan melupakan sejenak burung
yang dari tadi ia ingin bakar. Saat memperbaiki keranjangnya, ia melihat
sesuatu yang sepertinya telah lama terlupakan. Bentuknya menyerupai buku tebal
yang agak kusam karena pasir-pasir gurun. Ia mengambil buku tersebut dan
melihat sesuatu yang sepertinya telah ditandai saat terakhir kali buku itu
terbuka.
Oleh
karena penasaran yang tiba-tiba muncul, rasa laparnya berubah menjadi keinginan
untuk menelisik buku dalam keranjangnya tadi. Di bawah sinar rembulan yang
terang di langit tak berawan, ia membuka buku tersebut dan mulai membaca. Selang
beberapa waktu kepala kelompok membaca dan mulai memahami maksud dari isi
lembaran yang terakhir kali terbuka itu. Lembaran itu berisi aturan-aturan
mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Ada satu kalimat yang
membuat dadanya terenyuh, yaitu kalimat yang menyatakan bahwa memakan burung
hud-hud itu dilarang. Marah bercampur sedih dan bingung ketika melihat burung
hud-hud yang terikat tak berdaya dekat kakinya. Oleh karena ia adalah seorang
yang taat pada tradisi dan aturan, ia tak rela menyerahkan ketaatan kepada
nafsunya di hadapan pasir-pasir gurun dan pohon-pohon akasia. Namun di sisi
lain, ia juga kasihan melihat anggotanya yang kelaparan, entah esok masih kuat
melanjutkan perjalanan atau tidak. Kecintaan terhadap tradisi dan kelompoknya
membuatnya bimbang. Tanggung jawabnya sebagai kepala kelompok di uji.
Ketaatannya
karena wibawa sebagai pemimpin yang memegang teguh tradisi, ia akhirnya melepas
burung hud-hud itu. Sekejap, burung itu menghilang di tengah keheningan malam.
Kepala kelompok berpikir keras agar kelompoknya dapat makan sebelum kembali
melanjutkan perjalanan. Ia akhirnya berjalan tanpa arah serta diselimuti lelah
dan rasa kantuk yang luar biasa. Setelah berjalan sejauh 1000 ‘ammah[2],
ia melihat remang-remang suar pelita dari sebuah gubuk. Ia mendekati gubuk
tersebut dan menjumpai pemiliknya. Pemilik gubuk tersebut adalah seorang yang
lanjut usia, ia memiliki banyak persediaan makanan di lumbungnya oleh karena
anaknya yang sedang bekerja di kota. Kepala kelompok pun memohon agar kiranya
pemilik gubuk tersebut berbagi. Mendengar cerita kepala kelompok tersebut, hati
pemilik gubuk tersentuh. Ia membagikan setengah dari isi lumbungnya kepada
kepala kelompok. Singkat cerita, kepala kelompok kembali ke tempat kelompoknya
beristirahat dan paginya, kelompok pengembara tersebut terpuaskan laparnya dan
menyisakan sebagiannya lagi untuk bekal diperjalanan. Mereka melanjutkan
perjalanan tanpa tahu apa yang telah terjadi dengan kepala kelompok mereka semalam.
Cinta merupakan nilai tertinggi dalam kehidupan. Tanpa cinta, kita tidak bisa membayangkan dunia ini akan seperti apa. Cinta dapat melahirkan
sebuah harapan dan tekad. Cerita di atas menggambarkan kecintaan dan ketaatan
seorang kepala kelompok kepada tradisi dan anggota kelompoknya. Kepala kelompok
rela menanggung lelah dan kantuk demi sebuah wujud harapan dari setiap anggota
kelompoknya. Harapan akan kehidupan yang baik tentunya adalah kehidupan yang
penuh dengan cinta. Namun perlu ditekankan bahwa cinta sangat berbeda dengan
nafsu. Cinta dilandaskan oleh kasih dan pemikiran yang filosofis, sedangkan
nafsu didasarkan pada keinginan daging/duniawi.