Abstrak
Artikel ini berisi tentang penjelasan
arkeologis atas tiga zona ekologi Oseania, yakni Melanesia, Mikronesia,
Polinesia, serta hubungan dan kontak budaya yang ada di sana. Secara garis
besar, budaya gerabah lapita tersebar hampir disetiap wilayah Oseania. Namun,
fitur gerabah lapita semakin ke Timur, semakin sedikit. Selain itu, fauna juga
menjadi bukti ekspansi manusia di pulau-pulau Oseania. Di samping itu, bukti
artefaktual yang monumental juga tersebar dari Melanesia hingga ke Polinesia.
Monumen yang paling terkenal adalah Patung Moai di Rapa Nui (Pulau Paskah).
Hubungan dan kontak budaya dapat
terlihat dari cara mereka berdagang. Pulau Yap yang mulai menggunakan cangkang
kerang sebagai alat tukar, perdagangan obsidian Talasea-Borneo, hingga “kula”
yang elegan di Polinesia. Walaupun banyak bukti-bukti linguistik, arkeologis,
maupun antropologis, tidak menutup kemungkinan masih banyak budaya yang masih
belum terungkap.
Kata kunci:
Oseania, Melanesia, Mikronesia, Polinesia, Lapita, Perdagangan.
A.
Pendahuluan
Austronesia
merupakan suatu istilah yang disematkan oleh para ahli linguistik terhadap
sekelompok masyarakat budaya yang memiliki kemiripan bahasa secara geografis; membentang
dari Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah dan membujur dari Kepulauan Hawaii
hingga Selandia Baru (Masinambow, 2003 : 1; Noerwidi, 2008 : 1-2) (Gambar 1). Kebudayaan
austronesia memiliki sejarah peradaban yang sangat panjang dan juga tinggalan
budaya luar biasa yang masih bisa kita lihat sampai saat ini. Hampir sama
dengan budaya di tempat lain, kebudayaan austronesia pun dimulai sejak zaman
batu, hanya saja kebudayaan ini tergolong baru dan penggolongan three age system sepertinya tidak
berlaku untuk budaya ini.
Gambar
1. Persebaran kebudayaan austronesia
Perkembangan
pemikiran yang sangat pesat membuat manusia pada saat itu mulai mengembangkan
sistem teknologi pelayaran, perdagangan/ perekonomian, religi, sosial
masyarakat, dan juga sistem mata pencaharian awal. Secara geografis, bangsa
austronesia menetap di kepulauan, maka sebagian besar bangsa austronesia
merupakan bangsa maritim dan oleh karena itu, sistem mata pencaharian
difokuskan pada kegiatan menangkap dan budidaya ikan air asin. Di Oseania,
peradaban Polinesia hampir setara dengan Yunani kuno atau Roma, hanya saja, mereka
tidak melewati zaman besi dan tidak ada budaya tulisan. Pada tahun 1976,
Chaumont Devin mengunjungi Pulau Rennell dan mendapati sistem kasta sosial yang
sangat teratur dengan tingkatan-tingkatan serta pangkat. Menurutnya, mungkin
sebelum munculnya agama Hindu di India, bangsa austronesia sudah melakukan
kontak budaya, misalnya dengan Kebudayaan Harapa. Tanda-tanda kontak budaya
tersebut terlihat kepemimpinan, pemukiman, dan hal-hal yang bersifat rohaniah,
seperti filsafah, penyembahan, dan agama (Devin, 2009 : 6).
Beberapa
ahli berpendapat bahwa manusia pendukung dari kebudayaan ini adalah Negrito atau
Australomelanesid (Devin, 2009 : 3) dan Mongoloid (Noerwidi, 2008 : 6). Adapun
tinggalan-tinggalan artefaktual dari budaya austronesia seperti kapak genggam,
kapak persegi, alat-alat serpih dari batu, tulang, dan kerang, gerabah,
manik-manik, mata kail, monumen pemujaan (altar, batu pemujaan, dolmen), wadah
kubur, dan patung megalitik. Akan tetapi, dalam tulisan ini akan dikhususkan
pada wilayah di Oseania serta menghubungkannya satu sama lain. Kajian mengenai
austronesia di Oseania sungguh sangat menarik karena jarak antar pulau yang
sangat jauh dan kontak budaya yang mereka lakukan berbeda dengan budaya-budaya
yang lain.
B.
Oseania
Oseania
atau Kepulauan Pasifik merupakan gugusan pulau-pulau yang membentang dari Pulau
Nugini (Papua) hingga Pulau Paskah dan membujur dari Pulau Hawaii hingga
Selandia Baru. Kondisi geografisnya sebagian besar merupakan wilayah kepulauan
dengan jumlah 34 negara kepulauan. Secara ekologi, Oseania terbagi atas tiga zona
ekologi yaitu, Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia (Gambar 2).[1]
Gambar
2. Zona ekologi Oseania
Melanesia
merupakan wilayah yang termasuk daratan Nugini dan semua pulau-pulau selatan
khatulistiwa seperti Fiji dan Kaledonia Baru. Sebutan Pulau Melanesia mengacu
kepada Melanesia, kecuali daratan Nugini. Propinsi Papua, Indonesia meliputi
bagian Barat Nugini, sedangkan bagian Timur adalah Papua Nugini, yang juga
termasuk pulau-pulau di Kepulauan Bismarck dan Solomon Utara. Mikronesia
mencakup semua pulau di Utara atau mengangkangi khatulistiwa antara Palau dan
Marianas di Barat dan Marshall dan Kiribati di Timur. "Segitiga
Polinesia" meliputi wilayah antara Hawaii, Selandia Baru, dan Rapa Nui/Pulau
Paskah. Polinesia Barat terdiri atas Tuvalu, Tonga, dan Samoa; Polinesia Timur mencakup
semua sisanya; Selandia Baru dan pulau-pulau di dekatnya dipisahkan sebagai
Polinesia Selatan. Beberapa arkeolog sering mengganti skema
Melanesia-Mikronesia-Polinesia dengan istilah Oseania Dekat (Near Oceania) dan Oseania Jauh (Remote Oceania). Oceania Dekat meliputi daerah-daerah
yang pertama kali digunakan sebagai lokasi tinggal dan menetap di era
pleistosen: Australia dan Melanesia sampai Kepulauan Solomon Utama (tidak
termasuk pulau-pulau kecil di sebelah Tenggara); sedangkan Oseania Jauh meliputi
Polinesia dan Mikronesia (Lilley, 2006 : 4). Penjelasan mengenai tinggalan
arkeologis di masing-masing wilayah akan dibahas dalam bentuk uraian sebagai
berikut.
1.
Melanesia
Melanesia
berarti “kepulauan orang-orang hitam”. Julukan ini diberikan oleh Jules Dumont
d’Urville pada tahun 1832 karena sebagian besar penduduk di wilayah ini berasal
dari ras austromelanesid yang memiliki ciri fisik berkulit hitam. Adapun
pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Melanesia yaitu, Papua, Timor, Maluku,
Fiji, Kepulauan Salomon, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Loyalty, Vanuatu, dan
Kaledonia Baru. Sekarang ini, anggapan etimologis Melanesia sudah tidak tepat
sebab Melanesia memiliki keragaman budaya, linguistik, dan genetik, sehingga
istilah ini lebih mengarah kepada letak geografis saja.[2]
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Melanesia termasuk dalam Oseania Dekat
yang notabene merupakan wilayah yang pertama kali dihuni, Green (dalam Sand,
2002 : 3) berpendapat bahwa manusia telah menetap di Melanesia sebelah Utara sekitar
30.000 BP, sedangkan di Melanesia sebelah Selatan (Vanuatu, Kepulauan Loyalty,
Kaledonia Baru, dan Fiji) baru ditempati sekitar 3.000 BP. Bukti arkeologis
pemukiman awal, dapat terlihat di Vanuatu Utara. Pada survei yang dilakukan oleh Coifier
menunjukkan bukti eksistensi di
Lembah Pentakosta dan Maevo, seperti rumah
hunian yang terbuat dari batu-batu besar. Selain rumah
hunian, ada juga bukti-bukti pemukiman berupa tempat-tempat pemujaan dan
penguburan di Solomon Barat, Vanuatu, dan Fiji, ditandai dengan adanya patung
megalitik yang mirip dengan wajah manusia (Sand, 2002 : 3-4).
Adapun
struktur arkeologis yang dijumpai pada pulau-pulau di Melanesia seperti,
bekas-bekas ladang dan juga benteng. Terasering dan bekas irigasi pertanian
awal, banyak dijumpai di Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, dan
Kepulauan Bismarck. Untuk tinggalan arkeologis berupa benteng ditemukan di Fiji
dan Solomon, serta Situs Mare di
Kepulauan Loyalty, dengan dinding
benteng sepanjang 500 m dan lebar
4 - 10 m dengan memanfaatkan
fosil karang sepanjang ± 2,5 m (Sand, 2002 : 4-5).
Selain
struktur dan bangunan, ada juga tinggalan arkeologis yang khas dan bersifat moveable di Melanesia yaitu, gerabah
lapita (Gambar 3). Gerabah ini merupakan gerabah dengan pola hias/motif yang
khas, geometris, berliku, bergerigi, melingkar, antropomorfik (topeng),
swastika, serta memiliki lubang di bibir atau tepiannya. Pola hias pada gerabah
ini biasanya dibuat dengan teknik gores, tempel, tusuk, tekan, tatap ukir, dan
cap (Nur, 2015). Penyebaran geografis gerabah lapita mulai dari Manus (Marshall)
di Utara hingga Selat Vitiaz (antara Nugini dan New Britain) di Selatan dan
membentang dari Tonga di Barat hingga Samoa di timur. Tinggalan arkeologis di
Nugini hanyalah fragmen dari pot tunggal, di Situs Aitape, pantai utara
Provinsi Sepik Barat, Papua Nugini. Budaya Lapita bertarikh sekitar 1.600 BC
sampai 500 BC dan 1 AD di daerah yang berbeda, walaupun beberapa fiturnya
hilang, namun tetap memerlihatkan ciri khas lapita (Spriggs, 2006 : 119).
Gambar
3. Gerabah lapita
Hingga saat ini,
ada tiga gaya gerabah lapita yang diakui, yakni lapita proto-Barat, lapita
Barat, dan lapita Timur. Lapita proto-Barat memiliki persebaran yang terbatas
pada Kepulauan Bismarck dan bertarikh sekitar 1600-1200 BC. Gaya ini menghasilkan
bentuk bejana yang paling sempurna dan motif dekoratif yang paling rumit dengan
teknik cap bergerigi. Lapita Barat bertarikh 1200 BC di Kepulauan Bismarcks dan
mewakili gerabah Lapita di Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru. Gerabah ini
memiliki dekorasi yang kurang rumit jika dibandingkan dengan proto-Barat, hampir
memiliki bentuk yang sempurna dan umumnya menggunakan teknik tekan. Gaya lapita
Barat berlangsung sampai tahun 1 AD di beberapa daerah, sementara di tempat
lain, teknik dekoratif cap bergerigi hanya berlangsung hingga 500 BC. Lapita
Timur ditemukan di Fiji dan Polinesia Barat, bertarikh 1000 BC. Motif dan
bentuknya masih sederhana. Teknik cap bergerigi juga digunakan untuk gerabah
dengan gaya ini. Di Tonga, gaya ini digunakan sampai ± 2000 BP, sedangkan di
Samoa, tradisi gerabah ini berhenti pada 800 BC. Gaya lapita Timur berhubungan
erat dengan gaya lapita Barat di Malo, Vanuatu utara (Spriggs, 2006 : 123-124).
2.
Mikronesia
Mikronesia
dapat diartikan sebagai “pulau-pulau kecil”. Batas-batas administratif Mikronesia
adalah Filipina di sebelah Barat, Indonesia di Barat Daya, Papua Nugini dan
Melanesia di sebelah Selatan, dan Polinesia di Tenggara dan Timur. Secara
politis, Mikronesia terbagi atas delapan negara yakni, Federasi Mikronesia,
Kepulauan Marshall, Palau, Nauru, Kiribati, Kepulauan Mariana Utara, Guam, dan
Pulau Wake. Sebagian besar pulau-pulau di Mikronesia merupakan milik Amerika
Serikat, namun secara ekologi masih tetap termasuk dalam Mikronesia.[3]
Penelitian
menunjukan bahwa Mikronesia telah dihuni sejak 2.000 BP. Bukti arkeologis yang
dapat membuktikan hal tersebut adalah gerabah dan tulang-tulang anjing yang
ditemukan di Chuuk, Pohnpei, dan Kosrae. Gerabah Mikronesia tidak memiliki
motif/polos, banyak ditemukan di Kepulauan Mariana dan sering disebut Gerabah Mariana’s Red, berbeda jauh dengan
gerabah lapita (Nur, 2015). Tulang anjing ditemukan di Chuuk, Pohnpei, dan
Kosrae bertarikh 2.000 BP. Tulang anjing tidak ditemukan di Mikronesia sebelah
Barat, kecuali di Pulau Fais, Kep. Carolina, ditemukan tulang anjing yang
bertarikh 1800 BP. Selain itu, ditemukan pula tulang anjing di Pulau Marshall
bertarikh 1000 BP (Intoh, 1999 : 409-411; Carson, 2014 : 9).
Selain
gerabah dan tulang anjing, adapun tinggalan arkeologis yang lain yakni, kapak dan
pahat kerang. Bahan utama pembuatan alat kerang ini adalah cangkang kerang
dewasa dari jenis Terebra maculata
atau Terebra mitra sp. Namun,
penggunaan teknologi berbahan kerang ini tergolong masih baru, diperkirakan
mulai digunakan pada tahun 1.000-1.200 AD. Pola distribusi kapak dan pahat
kerang hanya berlangsung di Mikronesia dan Melanesia, kecuali polinesia.
Nukuoro adalah salah satu pulau di mana budaya kapak dan pahat kerang ditemukan.
Selain itu, ada beberapa tinggalan
arkeologis yang berkaitan dengan mata pencaharian
maritim, seperti mata kail ditemukan di Mikronesia:
Marshall, Pohnpei, Kosrae dan Fais (Gambar
4). Semua mata kail ini terbuat dari cangkang kerang mutiara dewasa. Adapun
pertanggalan yang dihasilkan antara lain di Fais berkisar 450-750 AD dan Kepulauan
Marshall 700 AD. Kegiatan memancing khas Oseania juga
dipraktekkan di Kepulauan Caroline (Palau, Caroline Pusat, dan Chuuk) dan
Melanesia utara (Timur-Laut pantai Nugini, Admiralty, Solomon, Trobriand dll)
(Intoh, 1999 : 413-414).
Gambar
4. Mata kail prasejarah di Oseania
3.
Polinesia
Sesuai
dengan namanya yang berarti “banyak pulau”, Polinesia memiliki ribuan, mungkin
lebih, pulau yang batas-batasnya membentuk segitiga di Pasifik yang dikenal
dengan Segitiga Polinesia. Meskipun demikian, Polinesia hanya memiliki empat
negara yang berdaulat, yaitu Tonga, Tuvalu, Samoa, dan Selandia Baru. Sisanya
merupakan milik negara-negara Eropa[4].
Oleh karena wilayah teritorial Polinesia sangat luas dan didominasi oleh
lautan, maka Polinesia terbagi atas lima kelompok besar kepulauan. Polinesia
Utara merupakan Kepulauan Hawaii; Polinesia Timur merupakan Pulau Paskah dan
sekitarnya; Polinesia Selatan merupakan Selandia Baru dan sekitarnya; Polinesia
Barat terdiri atas Tonga, Samoa, Alice, Phoenix, dan Cook; sedangkan Polinesia
Tengah terdiri atas Marquises, Line, Austral, Society, Yap, dan Tahiti (Nur,
2015).
Migrasi
manusia modern secara anatomis berasal dari Afrika sekitar 150.000 - 100.000 BP,
bergerak ke Timur menuju Asia dan Utara ke Eropa.
Bagian dari migrasi ini mencapai Asia Tenggara sekitar
60.000 BP. Populasi
ini kemudian menyebar ke Pasifik melalui Nugini-Australia
dan Kepulauan Bismarck sekitar 45.000-30.000 BP.
Setelah di Asia Tenggara
dan Australia, ekplorasi manusia ke daerah-daerah baru berhenti selama
hampir 30.000 tahun. Gelombang baru ekspansi menuju ke pulau-pulau
Pasifik berlangsung mulai sekitar 3.500 BP.
Dalam migrasi ini, orang-orang bergerak menuju ke arah Timur
(Samoa dan Tonga)
dan dari sana menuju Utara (Hawaii), dan akhirnya, bergerak ke arah Timur
dan Selatan menuju Pulau Paskah dan selatan Selandia Baru. Ini
merupakan peristiwa migrasi besar
manusia yang terakhir. Ekspansi
terakhir mencakup seluruh Polinesia Timur sekitar 700-1000 AD. Teknologi
canggih dalam pelayaran Amerika Selatan merupakan bukti atau lebih tepatnya sebuah
klaim untuk membuktikan kontak budaya antara Polinesia dengan Amerika. Nenek moyang Polinesia terkenal sebagai
navigator ulung dan inovatif di dunia. Mereka menggunakan pengetahuan tentang pasang
surut air laut serta astronomi untuk melaut dan mengeksplorasi wilayah pasifik.
Mereka ditemukan dan menetap, hampir di setiap pulau di Samudra Pasifik sebelum
penjelajah Eropa sampai di Polinesia pada abad XIII. Adapun tradisi tutur Maori
mengenai tanah legendaris yang Suku Maori dan orang-orang Polinesia eksplorasi di
pulau-pulau Pasifik dan Aotearoa/Selandia Baru bernama Hawaiki. Selain data
etnografi tersebut, adapun beberapa bukti ilmiah tentang orang-orang Polinesia
yang mencapai Amerika Selatan sebelum bangsa Eropa pertama (Denny dan Smith, 2010
: 1-2; Irwin, 2010 : 52).
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa budaya gerabah lapita sampai ke Polinesia
yang disebut dengan gaya lapita Timur, yang pertama kali muncul di Kepulauan
Bismarck di dekat Oceania sekitar 3500 BP dan bergerak menuju Tonga. Ekskavasi
arkeologi yang dilakukan di Samoa
dan Tonga sejak
tahun 1950 telah menunjukkan bahwa unsur-unsur khas budaya
Oseania berkembang di Polinesia
dan memiliki kaitan erat dengan ekspansi
budaya lapita. Polinesia Barat merupakan pusat dari peradaban Polinesia, namun genetika orang-orang
pembawa budaya lapita dan Polinesia modern masih perlu ditinjau. Para Antropolog
sangat tertarik pada manusia pendukung budaya lapita dan apa peran mereka dalam
teka-teki kebudayaan Pasifik. Sisa-sisa gerabah lapita sekarang banyak
ditemukan di kawasan Oseania jauh, yang menunjukkan bahwa orang-orang dan
budaya lapita bermigrasi dan memiliki eksistensi sampai ke wilayah sejauh ini
(Spriggs, 2006 : 123-124; Denny dan Smith, 2010 : 4; Irwin, 2010 : 59).
Selain
budaya lapita, ada pula peradaban yang sangat menarik di Polinesia yaitu
peradaban Rapa Nui atau biasa kita kenal dengan sebutan Pulau Paskah. Pendekatan
yang dilakukan untuk merekonstruksi sejarah pemukiman manusia di Pulau Paskah
(Rapa Nui) adalah melalui ekskavasi arkeologi, analisis polen, Carbon dating, dan studi etnografi.
Setiap metode menguak informasi mengenai keseluruhan dari sejarah peradaban
Rapa Nui, tetapi masing-masing dari metode ini menimbulkan sedikit masalah.
Ekskavasi arkeologi dan Carbon dating
menghasilkan pertanggalan sekitar 200 AD. Analisis polen, yang mencoba
mengetahui erosi tanah dan jenis fauna di Rapa Nui, ternyata populasinya hanya
di beberapa tempat di sekitar pulau, tetapi pertanggalan hampir sama dengan Carbon dating. Studi etnografi yang kaya
dengan konten, sumbernya sering bertentangan satu sama lain atau dengan bukti
ilmiah lainnya. Sekarang ini, sumber yang dipercaya mengatakan bahwa Penduduk
Polinesia di Rapa Nui adalah keturunan penjajah yang tiba di pulau sekitar
400 AD. Diperkirakan, mereka tiba di
pulau dengan jumlah awak 20-30 orang dengan seorang kepala
suku yang mereka sebut Hotu Matu'a, menggunakan perahu layar untuk
perjalanan jarak jauh. Para pendatang tersebut membawa banyak persediaan makanan pokok
tradisional Polinesia yaitu, ayam,
tikus, talas, ubi, ubi jalar, pisang, labu,
kertas murbei, kunyit,
dan sagu. Berdasarkan bukti linguistik sepanjang Pasifik
Selatan, arkeolog dan sejarawan
menganggap bahwa asal-usul Rapa Nui adalah Kepulauan
Mangareva. Pulau Pitcairn mungkin telah titik akhir migrasi
karena lokasinya dekat dengan Rapa Nui (Pakandam, 2009 : 6-7).
Reruntuhan
dan monumen budaya memiliki kepentingan bagi mereka, sehingga seolah-olah,
seluruh pulau menjadi museum terbuka, dengan tempat-tempat suci yang besar (ahu)
dan patung kolosal (moai), yang berdiri di atas ahu atau di lereng vulkanik
yang berfungsi sebagai quarry, didedikasikan
untuk kultus leluhur. Sekitar tiga abad, sebelum pembangunan pusat upacara yang
pertama, ditemukan di pusat upacara yang lain di Tahai dan Vinapu yang
bertarikh sekitar 700 AD. Seringkali di ahu, terdapat lebih dari satu patung
moai yang mewakili para leluhur. Pertemuan atau upacara, seperti inisiasi, pertemuan
tetua adat, dan pesta besar dilakukan dalam rangka mendoakan hasil panen dan
diadakan di ahu atau di depan patung. Dalam upacara penguburan, mayat dibungkus
kain tapa, diletakkan di ahu tersebut dan diletakan sampai membusuk. Ketika
mayatnya tinggal tulang, tulang-tulang tersebut dicuci dan dimakamkan diletakan
di sebuah struktur ahu yang disebut avanga
(batu-berbaris rongga) (Charola, 1994 : 5, 21).
Gambar 5.
Patung-patung Moai
Rumah-rumah
bangsawan terletak dekat ahu, sebagian besar yang di sepanjang pantai,
sedangkan rakyat jelata lebih ke pedalaman. Rumah-rumah (hare paenga) Rapa Nui
memiliki struktur sederhana yang elips berbahan kayu basal persegi panjang dan
bentuknya seperti perahu terbalik. Pasak dibuat di permukaan basal sebagai
kerangka utama, kemudian diberi atap
yang terbuat dari daun pisang, daun kelapa, atau rumbia dari daun tebu kering
atau rumput. Ukuran rumah rata-rata adalah panjang 10-15 meter dan lebar 2
meter, meskipun beberapa rumah, ada yang panjangnya mencapai 40 meter. Adapun
barang-barang rumah tangga seperti tikar dan selimut anyaman dari serat nabati,
bantal batu (ngarua) dan tempat menyimpan
makanan dan air yang terbuat dari labu kering. Rumah rakyat biasa bahkan lebih
sederhana tanpa batu pondasi. Setiap rumah yang dilengkapi dengan pemanas alami
yang terbuat dari batu berlapis (umupae).
Fitur lainnya, termasuk pagar kebun (manavai)
yang melindungi tanaman dari dehidrasi dan paparan angin dan kandang ayam (bare moa).
Adapun rumah dengan tipe lain yang berbentuk persegi, persegi panjang atau
bahkan melingkar, kebanyakan ditemukan di pedalaman pulau. Dari data arkeologi,
dapat kita simpulkan bahwa mereka memiliki profesi sampingan, seperti penebang
kayu. Selain menebang kayu, mereka juga melakukan aktivitas memancing karena
terjadi penurunan populasi pohon dan mereka juga membuat perahu untuk memancing di laut dalam, kegiatan ini banyak
dipraktekkan, terutama di pantai Utara. Sedangkan di perairan dangkal, seperti
yang di pantai selatan, jaring juga digunakan untuk menangkap ikan (Charola,
1994 : 21).
C.
Hubungan dan Kontak Budaya di Oseania
Hubungan antar
pulau-pulau di Oseania memang sungguh menarik. Hubungan ini telihat jelas
dengan adanya budaya gerabah lapita dan juga migrasi fauna-fauna yang ikut
bersama dengan manusia. Bukti arkeologi lainnya yang
menunjukkan kontak budaya antara Melanesia dan Mikronesia adalah tongkat dengan
bentuk kepala yang aneh. Jenis tongkat seperti ini masih banyak didapati di
masyarakat di Kepulauan Solomon. Manik-manik yang terbuat dari mutiara serta
tradisi pembuatan jenis mata kail diperkirakan terjadi sekitar 2500 BP dan
tradsi lapita di Tkopia, Taumako, Watom dan Reef, Santa Cruz. Semua tinggalan
arkeologis tersebut terbuat dari kerang Trochus
dengan bentuk tonjolan yang sedikit berbeda dari bahan yang pernah digunakan
sebelumnya. Namun, kebudayaan ini hampir sama dan khas di Oseania. Tidak jelas
bagaimana, kapan, dan di mana Trochus
digantikan oleh kerang mutiara untuk membuat mata kail jenis ini. Bukti adanya
hubungan dan kontak budaya yang terjadi antara mikronesia dan melanesia adalah
anjing dan tikus. Mikronesia merupakan negara kepulauan yang mendapat pengaruh
dari segi fauna karena anjing dan tikus merupakan hewan daratan melanesia,
begitu pula tikus. Hal ini dapat ditemukan di Kepulauan Caroline (Intoh, 1999 :
407, 414-416).
Sedangkan
untuk hubungan antara melanesia dengan polinesia adalah gerabah lapita.
Distribusi gerabah lapita sudah dijelaskan pada pembagian tiga gaya lapita yang
persebarannya hingga ke Tonga, Polinesia (Spriggs, 2006 : 124). Adapun ciri
khas lain dari gerabah lapita yaitu, penggunaan serbuk dari cangkang kerang
sebagai bahan temper pengganti pasir. Gerabah di
Mikronesia merupakan bentuk ekspansi Melanesia. Buktinya, tembikar timur
Mikronesia mirip dengan lapita polos Melanesia, ciri-cirinya, badan melingkar
dan tepiannya berlekuk. Fiturnya lebih sedikit, di Chuuk tepian gerabahnya
berlekuk, tapi gerabah dengan gaya ini tidak ditemukan di Kosrae. Gerabah yang
ditemukan di Pohnpei, hanya 35% yang tepiannya berlekuk. Teknik dayung dan
landasan merupakan teknik yang banyak digunakan dalam pembuatan tembikar lapita
polos, tetapi tidak untuk Mikronesia, kecuali Pohnpei (Intoh, 1999 : 409).
Berdagang
merupakan salah satu aktivitas yang paling memungkinkan oleh penduduk di
Oseania dalam melakukan kontak budaya. Bentuk perdagangan antar pulau yang
tertua di Oseania adalah perdagangan batu obsidian dari Pulau Talasea ke Sabah
(Borneo) untuk keperluan pembuatan perkakas berbahan batu. Perdagangan sejenis
ini berlangsung sejak 1.200 - 900 BC dan menyebar ke arah timur, di Kepulauan
Hawaaii dan Rapa Nui sekitar 650 AD. Lain halnya dengan di Pulau Yap. Di tempat
ini sudah mengenal sistem alat tukar. Mereka memakai cangkang kerang sebagai
mata uang dan nilainya diukur dari segi estetika cangkang kerang (Nur, 2015).
Selain itu, di wilayah Polinesia, ada juga bentuk perdagangan yang sangat unik,
dikenal dengan sebutan “kula”. Kula merupakan suatu potlatch[5],
yang dibawa dengan perahu dagang antar suku besar di sepanjang Trobriands,
bagian dari kelompok d'Entrecasteaux dan bagian dari Amphletts. Kula memiliki
pengaruh secara tidak langsung pada semua suku, walaupun beberapa suku mendapat
pengaruh langsung seperti Dobu di Amphletts, Kiriwina, Sinaketa dan Kitava di
Trobriands, dan Vakuta di Pulau Woodlark. Perdagangan Kula bersifat aristokrat.
Biasanya, barang-barang kula akan disediakan untuk kepala suku dari kapten armada
kula. Perdagangan dilakukan dengan elegan dan pamrih, namun sederhana. Kula
sangat dibedakan dengan sistem barter yang dikenal dengan sebutan gimwali.
Sistem kula seperti potlatch Amerika,
dimana ada si pemberi dan si penerima. Adapun aturan dalam kula yaitu, dalam
ekspedisi pelayaran besar (uvalaku), diciptakan aturan yang mengatur pengeluaran
saat bertukar atau bahkan untuk memberikan imbalan/ gaji pada awak. Pada
kunjungan kula, hanya ada satu penerima saja dan pada tahun berikutnya, si
penerima akan memberikan hadiah sebagai bunga dari kula (Mauss, 1967 : 20).
Walaupun
terpisah secara ekologi, namun, ketiga wilayah Oseania ini memiliki banyak
relasi, baik secara linguistik, antropologis, maupun arkeologis. Hubungan dan
kontak budaya yang terjalin antar pulau-pulau di Oseania merupakan bukti
kekuatan maritim karena mereka terisolasi secara geografis namun dapat
berinteraksi dengan baik, bahkan menciptakan teknologi pelayaran jarak jauh. Banyak
teori yang berusaha mengungkap cara migrasi penduduk Oseania, antara lain Teori
Lompat Katak (Douglas MacArthur), Teori Kon Tiki (Thor Heyerdahl), hingga yang
paling terkenal, yaitu Teori Out of Taiwan (Robert Blust). Namun, kebenaran
Oseania belum sepenuhnya terkuak. Masih banyak misteri mengenai hubungan dan
kontak budaya Oseania yang belum terungkap dan semoga saja, para peneliti dapat
sedikit demi sedikit merekonstruksi sejarah peradaban Oseania.
DAFTAR
PUSTAKA
Carson, Mike T. 2014. “Position of the Marianas in Oceanic Prehistory”. Dalam First Settlement of Remote Oceania: Earliest Sites in the Mariana Island, SpringerBriefs in Archaeology Volume 1. Hal. 9-14.
New York: Springer
International Publishing.
Charola, A.
Elena. 1994. Easter Island: The Heritage
and its Conservation. New York: World Monuments Fund.
Denny, Michal
dan Lisa Matisoo-Smith. 2010. “Rethinking Polynesian Origins: Human Settlement
of the Pacific”. Dalam LENScience Senior
Biology Seminar Series. Hal. 1-9. Auckland: National Research Centre for Growth and Development.
Devin, Chaumont.
2009. Prasejarah dan Sejarah Bangsa
Austronesia. Hawaii: tidak terbit.
Intoh, Michiko.
1999. “Cultural Contacs Between Micronesia and Melanesia”. Dalam J. C. Galipaud
and I. Liley (eds.) Le Pacifique de 5000 a 2000 avant le Present: Supplements
a l’histoire d’une Colonisation.
Hal. 407- 422. Paris: Editions de IRD (Institut de Recherche pour le
developpement).
Irwin, Geoffrey.
2010. “Navigation and Seafaring”. Dalam Ian Lilley (eds.) Early Human Expansion and Innovation in the Pasific. Hal. 47-72. Paris:
International Council on Monuments and Sites.
Lilley, Ian.
2006. Archaeology of Oceania:Australia
and the Paciļ¬c Islands. Oxford: Blackwell Publishing.
Masinambow,
E.K.M. et al. 2004. Polemik Tentang Masyarakat Austronesia:
Fakta atau Fiksi? Jakarta: LIPI Press.
Mauss, Marcel.
1967. The Gift. New York: The Norton
Library.
Noerwidi,
Sofwan. 2008. Awal Pendaratan Austronesia
di Pantai Utara Jawa, Sebuah Prospek Melacak Nenek Moyang Etnis Jawa. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta.
Nur, Muhammad.
2015. Prasejarah Regional: Pasifik. Bahan Ajar. Makassar: Jurusan Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Pakandam, Barzin. 2009. Why Easter Island Collapsed: An Answer for an Enduring Question.
London: Department of Economic History London School of Economics.
Sand, C. 2002. “Melanesian Tribes vs. Polynesian
Chiefdoms: Recent Archaeological Assessment of a Classic Model of
Sociopolitical Types in Oceania”. Asian
Perspectives Volume 41 Nomor 2. (Hal. 284-296).
Spriggs, Matthew.
2006. “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”. Dalam Peter
Bellwood, James J. Fox, dan Darrell Tryon (eds.) The Austronesians: Historical and Comparative Perspective. Hal.
119-142. Canberra: ANU (Australian
National University) E-Press.
[1] “Oceania” Wikipedia Bahasa
Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Oseania, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul
20.03 WITA.
[2] “Melanesia” Wikipedia Bahasa
Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Melanesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul
20.15 WITA.
[3] “Mikronesia” Wikipedia Bahasa
Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mikronesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul
20.21 WITA.
[4] “Polinesia” Wikipedia Bahasa
Indonesia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Polinesia, pada tanggal 30 Mei 2015; Pukul
20.43 WITA.
[5]
Istilah “potlatch” didefinisikan Marcel Mauss (1967) dalam
bukunya yang berjudul “The Gift” sebagai pemberian yang dipertukarkan. Lebih
tegas lagi dikategorikan pembelian timbal balik. Di sini tak ada konsep ikhlas atau
saleh, yang ada adalah pemberian berpengharapan.