Pendidikan dan
Pelatihan Jurnalistik Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin
(DIKLAT Jurnalistik UKPM-UH) yang ke-20 dilaksanakan tahun ini, cukup mendapat
perhatian dari mahasiswa Unhas.
Di tahun 2012 ini,
peserta Diklat cukup banyak. Dari beberapa fakultas di Unhas, untuk diklat kali
ini, hanya sebagian saja yang mengikuti diklat.
Kegiatan kali
ini, dilaksanakan mulai dari tanggal 12 Oktober 2012 dan akan berakhir pada
bulan Desember. Materi-materi Diklat UKPM-UH XX dilaksanakan setiap dua kali
seminggu, yakni pada Hari Selasa dan Jumat bertempat di ruang Forum Bersama,
Gedung PKM I lantai 2, Unhas.
Pengambilan
jadwal disesuaikan dengan jadwal kuliah para peserta agar tidak terganggu
dengan kegiatan diklat.
Salah satu
peserta diklat bernama Andre Pranata. Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris,
Fakultas Sastra, Unhas ini mengaku, dia sangat tertarik dengan UKPM dan tahun
ini baru sempat mengikuti diklat UKPM.
“Saya mengikuti
diklat karena ingin mendalami dunia jurnalistik”, ucap mahasiswa angakatan 2010
ini. Selain itu, ia mengikuti diklat ini karena kemauannya sendiri. Adanya
kegiatan-kegiatan himpunan yang cukup menyita waktu Andre, sehingga ia tidak
sempat untuk mengikuti diklat sebelumnya.
Selama mengikuti
Diklat UKPM, Andre merasakan dampak dari materi-materi yang diberikan.
Pengaplikasian materi-materi diklat sebagian besar bisa ia terapkan, seperti
wawancara dan menulis berita. “Saya merasa sangat terbantu dalam menulis
karangan karena terbiasa untuk menulis berita”, ujarnya.
Kendala-kendala
yang dia hadapi selama mengikuti diklat yaitu kegiatan himpunan yang
bertabrakan dengan jadwal materi diklat. “Saya ingin mengikuti semua materi
diklat, tapi ada urusan yang sama pentingnya dengan materi diklat”, tegas
Andre.
Andre berharap,
materi-materi selanjutnya tidak akan terhambat lagi dengan kegiatan-kegiatan
himpunan dan menyelesaikan Diklat UKPM dengan baik.
Beberapa kran air di Fakultas Sastra tak lagi
dipakai, besi-besinya berkarat, seperti lama tidak digunakan. Engselnya sulit
diputar karena jarang dipakai dan kurang terawat, layaknya benda yang akan di
museumkan.
Mahasiswa Fakultas Sastra, yang hendak menjalankan
ibadah Shalat, harus mengantri untuk wudu disalah satu penampung air yang masih
bekerja.
Sarana umum lainnya seperti WC umum, sudah sangat
jarang dipakai karena bak penampungan air yang kosong dan selain itu juga,
baunya menyengat sehingga mahasiswa memilih untuk mencari WC yang lebih baik
diluar kampus, biasanya dikos-kosan.
Penyebab semua ini karena salah satu mesin air di
Fakultas Sastra mengalami kerusakan turbin sehingga menyebabkan air tidak
mengalir. Selain itu, pipa air utama yang menghubungkan penampung air dengan
beberapa kran air, patah akibat dijatuhi pohon yang tumbang.
Memang, tanpa air, hidup serasa kurang nyaman. Apa
lagi bila tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil atau buang air besar, bisa
kewalahan untuk mencari air. Kran air tinggal pajangan, menyusul Air Conditioner yang mengalami nasib
serupa.
Mesin air
Mesin air yang selama ini telah bekerja telah
bertambah tua. Mesin air di Fakultas Sastra ini telah dipakai sejak tahun 2000.
Perbaikan belum kunjung datang pada mesin air ini. Terlihat seperti rongsokan
yang siap dijual pada tukang loak.
“saya sudah membicarakan ini pada pihak rektorat
agar dana perbaikan fasilitas segera di keluarkan, tapi pihak rektorat belum
menanggapi dengan serius”, ungkap Drs. Amir P, M.Hum selaku Wakil Dekan II
Fakultas Sastra.
Hal ini juga mengganggu kenyamanan mahasiswa,
khususnya dalam menggunakan sarana toilet umum. Mulai dari toilet yang kurang
terawat, bau yang menyengat, hingga kran air yang tidak berfungsi.
“perlu bolak-balik dari fakultas yang satu ke
fakultas yang lain, hanya untuk dapat buang air”, kata Andi, salah satu
mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah. “kita punya toilet, kenapa
harus susah payah ke toilet orang lain?”, tambahnya.
Hal seperti ini menjadi kendala bagi mahasiswa yang
mempunyai kegiatan ekstrakulikuler yang harus membasuh tubunya di tempat
penampungan air, bukannya menggunakan fasilitas kamar mandi umum.
Masalah seperti ini seharusnya tidak perlu
ditunda-tunda penyelesaiannya, haruslah ditanggapi secepatnya agar kenyamanan
beraktifitas di kampus tidak terganggu.
Perbaikan
Menurut Wakil Dekan II Fakultas Sastra Unhas,
perbaikan mesin air akan dilakukan setelah mendapat dana dari pihak rektorat
secepatnya. Selain itu, pipa yang patah akan diganti dengan pipa yang lebih
kuat agar ketika dijatuhi pohon atau ulah jail tangan perusak, pipa tersebut
tidak mudah patah.
“saya akan coba koordinir para tukang, agar membuat
pipa tidak mudah dirusak oleh tangan-tangan nakal!”, ucap Daeng Nai, seorang
teknisi di Fakultas Sastra Unhas.
Jika pipa air itu kembali berputar, maka ada sedikit
kenyamanan yang dapat dirasakan oleh mahasiswa maupun tamu yang berkunjung di fakultas
ini.
Resensi
Film CIVILISATIONS: The Masters of The River
Judul film : CIVILISATIONS “The Masters of The River”
Alamat web : http://www.youtube.com/channel
Genre : Dokumenter
Sutradara : Serge Tigneres, Tomomi Nagazawa
Narator : Simon Chilvers
Film ini
menceritakan tentang sisa-sisa peradaban kuno di sekitar Sungai Indus dan
peradaban lain yang hampir hilang disekitar perbatasan Pakistan dengan India. Adapun
sedikit diceritakan tentang peradaban Mohenjo-Daro pada pembukaan film dan
penjelasan panjang tentang peradaban Dholavira .
Sisa-sisa
reruntuhan Kota Mohenjo-Daro memperlihatkan kemajuan peradabannya. Mulai dari
jalan-jalannya, sisa bangunannya yang memperlihatkan arsitektur yang sangat
mengaggumkan. Kota ini mempunyai struktur irigasi yang sangat baik, memiliki 80
toilet umum, dan kamar mandi umum dengan ukuran yang sangat besar. Para
arkeolog memperkirakan bahwa pada zaman dahulu, kota ini memiliki populasi yang
cukup banyak.
Peradaban
Dholavira juga hampir sama dengan peradaban Mohenjo Daro. Persamaan kedua
peradaban ini adalah sama-sama mengenal system irigasi air yang sangat baik.
Seorang arkeolog bernama Dr. RS Bisht melakukan ekskapasi di reruntuhan
peradaban Dholavira. Kota Dholavira dikelilingi oleh tempat penampungan air
seluas 250.000 m3. Kota ini diperkirakan memiliki luas 48 Ha dan
jumlah populasi ±20.000 orang. Kota ini memiliki beberapa dinding yang
melindungi pusat kota dimana dinding utama yang berada di pusat kota memiliki
ketebalan yang lebih daripada yang berada di bagian luar. Kota ini juga
memiliki banyak taman. Ada tinggalan arkeologis dari peradaban kuno Dholavira
yang masih digunakan hingga saat ini, yaitu sumur yang memiliki persediaan air
cukup banyak. Sumur itu dipakai oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-hari, seperti air minum, mencuci, dan keperluan lainnya.
Sekitar 5000 tahun yang lalu telah terjadi kemarau dan populasi meningkat cepat
sehingga kebutuhan air pun bertambah. Itu sebabnya, sumur itu dibuat agar
kebutuhan air masyarakat terpenuhi.
Setiap tahunnya,
khususnya pada bulan Juli, banjir akan melanda daerah sekitar Pakistan. Hal ini
di akibatkan salju di Gunung Himalaya mencair. Para arkeolog menemukan cara
orang-orang dimasa lampau mengatasi banjir. Mereka menemukan sebuah struktur,
mirip seperti tempat penampungan air. Tempat penampungan air itu terhubung satu
sama lain. Penampungan air itu terhubung melalui saluran irigasi sepanjang 79 m
dan kedalaman 7 m.
Ada beberapa
struktur irigasi yang memperlihatkan kehebatan para arsitek pada zaman dahulu.
Sudah empat
tahun para arkeolog berusaha memecahkan misteri, mengapa masyarakat Dholavira
membuat saluran irigasi untuk air sungai dan untuk air hujan. Bagi orang-orang
Dholavira, air merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupannya. Para
arkeolog menemukan suatu tempat pemujaan berupa sumur dengan ukuran diameter: 4
m dan kedalaman: 20 m. Tempat ini semacam tempat pengorbanan, dimana para gadis
akan menenggelamkan dirinya di sumur ini. Ada semacam batu loncatan di sisi
mulut sumur, tempat untuk meloncat.
Adapun sisa-sisa
sungai didaerah perbatasan Pakistan dan India, disebut sebagai Haga Hakka. Dr.
KS Nauriyal menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, ada sungai di sebelah timur
Sungai Indus yang memiliki peradabannya tersendiri. Ditempat itu juga terdapat
reruntuhan saluran air yang diduga terhubung dengan sungai. Para geolog
memperkirakan bahwa 4000 tahun yang lalu telah terjadi gempa yang mengakibatkan
sungai menghilang dan menciptakan aliran air bawah tanah. Tinggalan arkeologis
di Haga Hakka berupa artefak batu dengan ukuran tinggi rata-rata satu meter
yang merupakan bagian dari struktur irigasi aliran air.
Selain sistem
irigasi, ada beberapa tinggalan yang diduga merupakan suatu bagian permainan
kuno, yang terbuat dari bahan semacam kaca dan logam. Ada juga gerabah dan
cetakan tanah liat yang memiliki bentuk-bentuk yang unik. Motif-motif yang
digunakan pada ukiran-ukiran gerabah kebanyakan menceritakan tentang kehidupan
sehari-hari di tempat tersebut dan hewan-hewan di sekitar tempat tersebut,
seperti badak, kuda, buaya, dll. Para arkeolog mengidentifikasikan sekitar 400
simbol yang ditemukan pada cetakan dan ukiran-ukiran pada gerabah.
Simbol-simbol itu diperkirakan merupakan huruf-huruf kuno.
Sekitar tahun
1999, para arkeolog menemukan sebuah prasasti di Dholavira yang berisi
simbol-simbol, mungkin memiliki kaitan dengan peristiwa bersejarah kala itu.
Diperkirakan, prasasti itu dibuat sekitar 4000 tahun yang lalu.
Berdasarkan
temuan-temuan yang telah berhasil dikumpulkan, kita bisa melihat apa yang
terjadi pada masa lampau, suatu keajaiban dari kecerdasan manusia. Adapun
relief yang menggambarkan sebuah perahu. Bisa dikatakan bahwa manusia sudah
mengenal perahu sejak dahulu kala dengan sistem navigasi yang sudah baik. Serge
Cleuziou, seorang peneliti asal Prancis menjelaskan bahwa mereka melakukan
pelayaran ke Mesir.
Seorang arkeolog
bernama Dr. Walid Yasin, meneliti suatu tempat di arab yang memiliki bangunan
dengan bentuk tabung yang di dalamnya berisi banyak keramik. Ada kesamaan
antara simbol-simbol yang ada di Dholavira dengan yang ada di tempat tersebut.
Selain itu, ada
seorang arkeolog yang meneliti di daerah Bahrain bernama Dr. Khaled al-Sendi
menemukan sejumlah keramik yang memiliki kesamaan dengan keramik peradaban kuno
Sungai Indus.
Film ini cukup
menggambarkan dengan indah kota-kota peradaban Sungai Indus yang runtuh, dan
juga mengungkapkan peradaban lain di Sungai Haga Haka yang hilang.
Hal menarik dari
film ini yaitu penyajiannya yang sangat edukasi dan memiliki nilai kultural.
Menurut saya, film ini bisa dijadikan referensi yang sangat bagus, terutama
dalam menyusun sebuah makalah atau laporan menyangkut kebudayaan kuno Sungai
Indus. Kelebihan film ini adalah penejelasan mengenai peradaban Sungai Indus
yang kronologis. Dalam film ini juga dijelaskan hal-hal yang selama ini menjadi
misteri telah terkuak melalui data-data arkeologi. Namun begitu, adapun
kekurangan film ini yaitu, penggunaan bahasa selain bahasa inggris yaitu bahasa
prancis yang sulit bagi saya untuk mengerti. Ada baiknya jika film ini
menggunakan bahasa inggris seluruhnya, atau lebih baiknya, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.
Kita mungkin kerap
menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra, Wisnu,
Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva
Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti bahwa
hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah
satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya
“maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia. Asimilasi ini
kemudian diakui selaku bagian dari budaya Indonesia itu sendiri. Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang
di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua
rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis,
sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua
berkembang di wilayah timur nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku
dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam
masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan
Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak
tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik
adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi dua budaya.
Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi
prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman
tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman
punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman.
Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah
bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya
pengaruh India dan agama Hindu.
Sanskerta adalah bahasa
yang dibawa oleh orang-orang India ini, sementara Pallawa adalah huruf yang
digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun bahasa
Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa Jerman,
Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun
bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah
bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.
Mengenai fungsinya,
Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama Hindu dan
Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa
pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi
penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa
Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa
sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya
untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Kunjungan ini akibat
masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta.
I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku berbahasa
Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih
(Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum
melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India. I-Ching
mengutarakan di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi Sriwijaya
sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa tersebut jadi
signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah
kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut
Jawa.
Bahasa Sanskerta yang
dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia tidaklah dalam bentuk murninya
lagi. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal
lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno
kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat
kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Saat itu, nusantara
dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-sendiri. Pertama
bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai
bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era India jadi
mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi” yang
dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.
Pengaruh bahasa
Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu ini merupakan
lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau nusantara.
Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangkan bahasa Indonesia
selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini
sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.
Penelusuran pengaruh
bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh prasasti Kedukan
Bukit, Palembang. Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember 1920 dan
diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga
ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota
Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu
Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara
Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.
Sebagian bahasa
Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada kemungkinan 800 kosa
kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta.
Selain kata-kata yang
sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam
prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu
(sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi, keluarga,
suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri,
ataupun seri paduka.
Selain bahasa, huruf
Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut
menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti
Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
Agama hindu yang muncul lebih awal di India bagian
utara kemudian berkembang kewilayah yang lebih utara diantaranya Nepal.
Sebanyak 90% penduduk Negara ini menganut agama Hindu dan hingga sekarang Nepal
merupakan satu-satunya Negara di dunia yang masih berbentuk Kerajaan Hindu.
Agama hindu berkembang juga ke india bagian tengah
dan bagian selatan misalnya ke Amarawati dan Tamralipti. dari kedua daerah ini
agama Hindu kemudian menyebar ke Srilanka, Tiongkok Selatan dan
kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan tersebut
diantaranya Funan di delta Mekhong, Lin-yi di sekitar Vietnam Selatan, Fyu di
Myanmar, Mon Dwarawatu di semenanjung Malaya, Chen-la dan Khmer di
Kamboja, Kutai dan Tarumanegara di Nusantara.
Di kamboja terdapat peninggalan bangunan keagamaan
Hindu terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia. Bangunan tersebut ialah Angkor
Wat yang dibangun oleh Kerajaan Khmer semasa pemerintahan Suryawarmsn II
(1113-1150). Angkor Wat merupakan bangunan kuil yang dihiasi relief manusia,
tumbuhan, burung dan hewan dan pada dinding-dinding gang terdapat relief
mitologi agama Hindu dan kebesaran Kerajaan Khmer. Bangunan ini sempat
terlantar sebelum di temukan pada tahun 1861.
Dengan masuknya agama Budha mengakibatkan penganut
agama Hindu mulai berkurang karena sikap tamak dari kaum Brahmana dan juga
orang-orang miskin tidak menyenangi kedudukannya dalam kasta banyak diantaranya
berpindah agama
Pada beberapa abad kemudian keadaan mulai berubah
sejak berdirinya Dinasti Sunga (184-72SM) di India. Dynasty ini menetapkan
agama Hindu sebagai agama resmi Negara. Raja pertama Dinasti Sunga
yaitu Pushyamitra Sunga tidak menyukai agama Buddha dan memihak
kepada agama Hindu dan mengangkat kaum Brahmana sebagai penasehat kerajaan. Hal
itu dimanfaatkan kaum brahmana untuk menekan penganut agama Buddha hingga
perlahan-lahan pengaruh agama Buddha makin surut.
Perkembangan agama Hindu di India semakin bersinar
pada abad ke 4 masehi yaitu sejak munculnya Dinasti Gupta (320-656). Raja-raja
Gubta memeluk agama Hindu dan berusaha memperkuat agama itu. Dengan
demikian kebiasaan peerngorbanan kuda liar (asvamedha) yang biasa dilakukan
Dinasti Sunga dihidupkan kembali. Bangunan agama hindu banyak didirikan begitu
juga ilmu pengetahuan, sastra dan kesenian Hindu dihidupkan kembali. Raja-raja
Gupta menaruh perhatian terhadap sastra-sastra Hindu. Kitab-kitab kuno Hindu
diselidiki dan dipelajari dengan penuh minat sehingga melahirkan banyak
pujangga. Pujangga yang terkenal adalah Kalidasa. Zaman raja-raja Gupta
terutama ketika ketika diperintah oleh Samudera Gupta (330-375M) dianggap
sebagai zaman keemasan kesusteraan Hindu.
Bangsa Indonesia memiliki tradisi kebudayaan sendiri
sebagai hasil belajar selama berates-ratus tahun. Walaupun kebudayaan yang
masuk namun bangsa kita tradisinya tidak bisa dihilangkan melainkan berpadu
dengan budaya luar, misalnya dalam seni bangunan candi bangsa Indonesia
mempelajari seni bangun india yang terdapat dalam kitab Silpasastra. Dalam
pelaksanaan candi modifikasi dan penyesuaiannya dengan tradisi seni bangunan
masyarakat setempat (localgenius) adalah kemampuan suatu daerah masyarakat
untuk menyaring dan mengolah budaya asing yang masuk dan berkembang sesuai
dengan cita rasa setempat
Menurut Von Hiene Geldern, nenek moyang Indonesia
berasal dari daerah Yunnan, di Cina Selatan. Mereka percaya pada hal-hal gaib.
Sebelum agama masuk ke nusantara nenek moyang kita percaya pada hal-hal gaib,
mereka memuja roh dan mengkramatkan tempat-tempat tertentu. Ada 2 macam
kepercayaan yang dianut pada masa itu, yaitu:
1.Animisme
adalah kepercayan kepada roh nenek moyang,
2.Dinamisme
adalah kepercayaan kepada benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, kesaktian
atau tuah
Pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi diperkirakan
pengeruh agama Hindu walaupun sebelumnya telah ada agama Buddha. Masuknya agama
Hindu banyak disoroti oleh para ahli dan memunculkan beberapa pendapat.
Ada beberapa hipotesis yang dikemukan para ahli
tentang golongan pembawa pengaruh Hindu ke Indonesi:
1.Hipotesis
Brahmana .
Hipotesis ini
mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran budaya
Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapatkan undangan dari penguasa Nusantara
untuk mnobatkan raja, memimpin upacara-upacara keagamaam dan mengajarkan ilmu
pengetahuan. Pendukung hipotesis ini adalah C.C.Berg
2.Hipotesis
Ksatria
Karena masa lampau
India yang sering terjadi peperangan antar kerajaan maka para prajurid yang
kalah atau jenuk akan perang melakukan migrasi ke daerah-daerah lain. Diantara
mereka ada yang sampai ke nusantara lalu membentuk kolon-koloni melalui
penaklukan. Melalui cara seperti itu mereka menyebarkan agama dan kebudayaan d
Nusantara. Pendukung hipotesis ini adalah N.J Krom
3.Hipotesis
Waisya
Kaum waisya yang
merupakan para pedagang berperan penting dalam penyebaran agam Hindu mereka
yang menjadikan munculnya budaya Hindu sehingga di terima masyarakat Nusantara.
Saat itu pedagang banyak berhubungan dengan penguasa beserta rakyat, jalinan
ini membuka peluang terjadinya proses penyebaran agama Hindu. Pendukung
hipotesis ini adalah N.J Krom
Dari ketiga hipotesis tersebut pada umumnya para
ahli cenderung kepada hopotesis waisya. Lain halnya dengan F.D.K.Bosch yang
menduga bangsa Indonesia sendirilah yang aktif dalam memadukan unsure-unsur
kebudayaan India
Penyebaran agama melalui dua jalur.
1.Melalui
jalur laut
Mereka datang ke
nusantara melalui jalur laut mengikuti rombongan-rombongan kapal-kapal para
pedagang yang biasanya lalu-lalang dalam pelayaran dari Asia Selatan ke Asia
Tenggara. Rute perjalanannya yaitu dari India menuju Myanmar, Thailan,
Semenanjung Malaya, Nusantara, Kamboja, Vietnam, Cina, Korea dan Jepang
2.Melalui
jalur darat
Penyebaran agama melalui jalur ini
dilakukan denngan menumpang kepada para khalifah melalui jalur jalan sutra
yaitu dai India ke Tibet trus ke utara hingga sampai ke Cina, Korea dan Jepang.
Ada juga yang melakukan perjalanan dari India Utara ke Banglades, Myanmar,
Thailand, Semenanjung Malaya kemudian berlayar hingga ke Nusantara. Kemunculan
pertama pengaruh hinduisme di nusantara berlangsung pada awal abad ke 5 masehi.
Tonggak waktu tersebut di ambil dari penafsiran 7 buah yupa peninggalan
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan 7 buah prasasti dari Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat. Kedua prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa
maka diperkirakan kebudayaan Hindu yang menyebar ke beberapa daerah di
Indonesia pada tahap permulaan berasal dari hindia selatan. Agama ini kemudian
berkembang di kerajaan-kerajaan seperti kerajaan-karajaan Ho-ling, Mataram Hindu,
Kanjuruhan, Kediri, Singasari, Majapahit, Sunda dan Bali.