Fort
Rotterdam : Bertahan dari Guratan Para Vandalis
Makassar, sebuah kota
yang katanya sedang menuju ke arah world
class dengan pembangunan yang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah di segala aspek, dari perekonomian hingga penataan kota. Objek wisata
Kota Makassar juga dipublikasikan oleh Pemda untuk menarik minat para wisatawan
domestik maupun wisatawan asing, disamping memperkenalkan Kota Makassar itu
sendiri, hal tersebut juga menambah pendapatan daerah[1]. Kegiatan-kegiatan yang
bersifat internasional juga banyak diselenggarakan di Makassar dan pemilihan
tempat untuk kegiatan-kegiatan tersebut biasanya adalah tempat-tempat wisata
yang terkenal di Makassar.
Meskipun demikian,
ada beberapa masalah-masalah yang muncul dipermukaan dan berdampak negatif bagi
objek-objek wisata tersebut, terutama situs-situs bersejarah yang dijadikan
objek wisata. Banyak perlakuan-perlakuan yang bersifat merusak situs-situs
tersebut seperti mencungkil, menggores, ataupun mencoret-coret dinding
bangunan/ struktur situs bersejarah.
Pada tulisan kali
ini, penulis akan membahas tentang vandalisme yang dilakukan oleh para
pengunjung pada situs bersejarah di Makassar, yaitu Fort Rotterdam. Tulisan ini
erat kaitannya dengan pengelolaan Fort Rotterdam dan juga konservasi yang telah
dilakukan di tempat ini.
Fort
Rotterdam, Dahulu Hingga Sekarang
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan
Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar,
Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tumapa'risi' Kallonna. Benteng
Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan.
Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan
Gowa, bahwa penyu dapat hidup di
darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan
maupun di lautan.
Hingga sekarang, sebagian besar gedung benteng ini masih
utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar (Asmunandar,
2008 : 144). Beberapa
unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian
Makassar.
Walaupun
letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam
termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah
yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga
maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi
dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes
Museum didirikan
oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama
menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah
Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun
2001.
Meski
pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La
Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40
Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Vandalisme di Fort Rotterdam
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal adalah
perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga lainnya
(keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Vandalisme
biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan momen, tapi dengan
cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui “karyanya”. Biasanya,
coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para vandalis (orang yang
melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/ simbol suatu kelompok, atau
kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek vandalisme, tentu saja adalah
tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang.
Beberapa contoh coretan vandalisme pada bangunan Fort Rotterdam,
2013
Fort
Rotterdam yang merupakan objek wisata juga tidak luput dari serangan
tangan-tangan jahil para vandalis. Hampir setiap sudut, terutama pada bagian
tenggara hingga ke bagian timur laut dihiasi dengan coretan-coretan tidak
bertanggung jawab dari vandalis. Tidak hanya coretan dengan menggunakan spidol,
namun para vandalis mengukir tembok-tembok Fort Rotterdam dengan benda yang
tajam sehinnga seakan-akan mirip dengan “prasasti”.
Pada sore
hari, pengunjung mulai ramai mengunjungi Fort Rotterdam dan rata-rata
pengunjung Fort Rotterdam masih berstatus pelajar SMP atau SMA, mungkin
menjadikan momen sore hari mereka sebagai pelepas lelah setelah seharian
berpeluh dengan pelajaran. Nah, pada jam-jam inilah biasanya para vandalis
mulai beraksi. Seorang petugas keamanan di Fort Rotterdam bernama Yusuf mengaku
pernah memergoki beberapa pengunjung yang mencoba mencoret dinding bangunan
tersebut. Setelah itu, mereka dibawa ke pos petugas keamanan untuk diberikan
teguran dan nasihat agar tidak melakukan hal tersebut.
Menurut
bapak yang bekerja sebagai petugas
keamanan Fort Rotterdam sejak 10 tahun yang lalu ini, kebanyakan pelaku
kegiatan vandalisme tersebut adalah pasangan muda-mudi yang statusnya masih
pelajar. “Biasanya, mereka coret-coret dinding ketika benteng sudah mau ditutup[2]”, begitu
ujarnya. Faktor ketidaktahuan dan ketidakpedulian pengunjung, khususnya
wisatawan domestik terhadap pelestarian bangunan bersejarah membuat nilai
historis bangunan tersebut lama-kelamaan akan hilang.
Selain
pengunjung yang tidak peduli, sistem keamanan Fort Rotterdam juga sangat
rentan, entah karena personilnya yang kurang ataukah memang malas. Menurut
saya, pengelolaan Fort Rotterdam jauh dari maksimal karena sepertinya ada
bagian-bagian dari Fort Rotterdam yang mengalami perusakan namun tidak cepat
ditangani, walaupun itu hanya perlu di lapisi saja dengan sedikit semen.
Dampak-Dampak Vandalisme
Setelah
mengetahui bahwa vandalisme merupakan tindakan yang merusak, tentu saja ada
dampak-dampak yang negatif, baik bagi situs Fort Rotterdam maupun lingkungan
sekitar situs. Dampak negatif bagi bangunan tersebut adalah kerusakan-kerusakan
yang dibuat oleh para vandalis, bila tidak cepat ditangani, akan membuat
bangunan ini semakin tidak terawat dan lama-kelamaan akan rusak secara bertahap
hingga tidak satupun bagian dari Fort Rotterdam yang terjaga keasliannya.
Selain
objek pariwisata, Fort Rotterdam juga merupakan sumber daya arkeologi yang
perlu dijaga kelestariannya. Pentingnya
sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa (Aldi
Mulyadi, 1999). Hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah yang dapat dilihat
dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993,
tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi
dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta
hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan
nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat
perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus
memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Tetapi,
kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat jauh berbeda. Kalau ditanya, apa
itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu
buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang
diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada
pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang
berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti
karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Selain
itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam
yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung
Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi
struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu
sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa
dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi
pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat
penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah
pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya
benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).
Masa Depan Fort
Rotterdam
Fort
Rotterdam sebagai objek wisata memang sangat bagus untuk dikembangkan, namun
hal tersebut harus berbanding lurus dengan pelestariannya. Percuma saja jika
setelah dibenahi lalu tidak dirawat, lama-kelamaan akan rusak dan habis
sehingga tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Vandalisme
bisa dihentikan dengan memberikan pemahaman kepada para pengunjung bahwa
bangunan-bangunan sejarah harus dilestarikan dan merupakan corak kebudayaan
bangsa. Selain itu, perlu juga kesadaran dari masyarakat itu sendiri karena
masyarakatlah yang sebenarnya harus memahami kalau bangunan-bangunan tersebut
milik mereka.
Fort
Rotterdam bukan hanya warisan Belanda, tapi adalah peninggalan dari Kerajaan
Gowa yang dimodifikasi sedikit oleh orang-orang Belanda. Jangan sampai kita
mencap bahwa Fort Rotterdam ini tidak memiliki nilai historis hanya karena
bangunan ini tidak “Indonesia” sekali. Perasaan acuh tak acuh yang sering
muncul harus dilawan dengan pengetahuan agar tidak semena-mena terhadap
sesuatu.
Benteng
pertahanan yang dulu berjaya pada masanya, bertahan terhadap meriam-meriam
musuh, kini harus bertahan dari guratan-guratan para vandalis dari kampung
sendiri. Bagaimana sikap kita sebagai arkeolog melihat sumber daya arkeologi
yang makin lama tergerus oleh perlakuan yang tidak benar. Sebenarnya, kota dan
masyarakatnya yang akan kehilangan jati diri jika bangunan-bangunan tersebut
hilang, sikap kita sebagai arkeologlah yang merangkul masyarakat kota agar
tidak kehilangan jati diri mereka.
Catatan Kaki :
[1] Biasanya, objek-objek wisata (terkhusus yang berada dibawah naungan Pemerintah Daerah) tersebut dikenakan tarif masuk.
[2] Jam tutup Fort Rotterdam sebenarnya adalah jam 5 sore, tetapi kadang sampai setengah 6 sore karena tingkah pengunjung selalu ingin tetap berada di situs untuk kepentingan pribadi seperti mengambil gambar pada saat sunset.
Daftar Pustaka
Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap
Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013;
Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota
Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadja Mada.
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang
Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel pribadi.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15
September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian
Cultural Resource Management). Skripsi.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV).
Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam
Meningkat 50 Persen. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58
WITA).