Fort Rotterdam:
Wisata
Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah
Oleh
Peniel Chandra
a.
Pendahuluan
Makassar, sebuah kota pesisir
pantai yang menawarkan pemandangan yang cukup indah. Tidak hanya menyajikan
pemandangan, Makassar memiliki kekhasan daerah yang eksotis dan juga
bangunan-bangunan kuno yang memiliki
nilai sejarah, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan Eropa di film-film era
‘70an. Salah satunya yaitu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng
pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial,
kemudian pada masa sekarang menjadi objek wisata, Benteng Ujung Pandang atau
Fort Rotterdam.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan
Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar,
Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di
jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari
lapangan Karebosi.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh
Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah
liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi
benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst
yang ada di daerah Maros, memiliki luas
areal 28.595,55 m2 dengan
luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2, Benteng Rotterdam denah
dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah barat menghadap ke laut dan
pintu kecil di sebelah timur. Bagian tembok dinding yang tertinggi 7 m dan
bagian yang terendah 5 m, dengan ketebalan dinding 2 meter. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang
hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa
penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang
berjaya di daratan maupun di lautan. Sekilas dinding-dinding
tembok benteng berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat, mengitari
sepanjang tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata
warna kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa
juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua
yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya
menandatangani perjanjian Bongayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan
Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati
benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja
memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda.
Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan
rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi
salah satu objek wisata di
Kota Makassar. Saat
ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, Museum La Galigo dan
Dewan Kesenian Makassar. Di bagian utara, timur dan selatan Benteng Rotterdam
dikelilingi oleh bangunan perkantoran maupun perumahan. Bahkan, di dinding
bagian timur digunakan penduduk sebagai bagian dari dinding rumahnya. Hal ini
menyebabkan beberapa bagian dinding benteng mengalami kerusakan (Asmunandar,
2008 : 144).
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan dan perbaikan
atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tat letak, gaya, bahan
dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis mencoba menelisik hal ini dalam UU RI
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba
diterapkan dalam Benteng Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.
b. Pengelolaan Fort Rotterdam
Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan
perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa tidak luput dari perhatian pemerintah,
hal tersebut dapat terlihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas
dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi
dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta
hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan
nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat
perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus
memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Pengelolaan situs Fort Rotterdam adalah salah satu perwujudan fisik
dari usaha pelestarian sumberdaya arkeologi yang tidak hanya menyangkut tata
ruang arkeologis tetapi juga menyangkut akan
tatanan nilai dalam masyarakat. Oleh karena hal tersebut pengelolaan
situs Fort Rotterdam harus dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan
dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi dan
budaya masyarakat. Pendayagunaan tata ruang lahan situs Fort Rotterdam dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat diaplikasikan dalam
bentuk taman purbakala sebagaimana yang telah diterapkan pada situs Candi
Borobudur
(Aldi Mulyadi, 1999) .
Walaupun
letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam
termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah
yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga
maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi
dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes
Museum didirikan
oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama
menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah
Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun
2001.
Meski
pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La
Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40
Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski
demikian, Benteng Rotterdam maupun Museum La Galigo tetap saja dapat dinikmati
setiap pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Cagar budaya Benteng
Rotterdam tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk mensejahterakan
dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk menjaga harmoni dan
pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama
halnya dengan Museum La Galigo. Bukan hanya sebagai tempat untuk memamerkan
peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian.
Tetapi Museum La Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk
mencerdaskan bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.
c. Fort
Rotterdam sebagai Objek Wisata
Faktor pendukung
suatu tempat dijadikan objek wisata adalah nilai estetika tempat tersebut.
Semakin indah, maka semakin banyak pengunjung. Fort Rotterdam sebagai objek
pariwisata memang mempunyai nilai lebih seperti gaya bangunan kuno yang megah
dan letaknya yang stratetis karena berada di daerah pesisir pantai sehingga
para pengunjung lokal maupun turis selalu ramai berdatangan.
Data tahun 2013
menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di
Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir
bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar
International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar,
khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal
dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort
Rotterdam. Peningkatan pada pertengahan tahun 2013 memang yang paling menanjak
karena juga bertepatan dengan masa liburan sekolah.
Hingga pada hari ini,
wisatawan terus berdatangan ke Fort Rotterdam dan jumlahnya semakin bertambah
dengan adanya kegiatan ekskavasi di bagian selatan Benteng ini. Kegiatan ini
dilaksanakan selama 20 hari dengan mendatangkan tenaga ahli dari Universitas
Indonesia, yaitu Prof. Dr. Mundardjito. Ekskavasi yang dilakukan di Fort
Rotterdam rupanya menarik minat pengunjung yang rata-rata pelajar. Salah satu
pengunjung mengaku bahwa baru kali ini melihat penggalian yang begitu lama dan
rumit. “Seperti di film National
Geographic, keren!”, tegasnya.
Kalau ditanya, apa
itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu
buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang
diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada
pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang
berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti
karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Gagasan mengenai
nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga
dikemukakan oleh James Semple Kerr (1983). Menurutnya, nilai penting bangunan
kuno atau lingkungan bersejarah dilihat dari beberapa nilai yakni; nilai
sosial, jika sebuah bangunan bermakna bagi masyarakat; nilai komersil,
sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis; dan
nilai ilmiah, yang berkaitan dengan peranannya untuk pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Asmunandar, 2008 : 167). Nilai komersil dari
Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki spot yang indah, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan
untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku bagi para
budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Selain
itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam
yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung
Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi
struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu
sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa
dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi
pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat
penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah
pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya
benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).
d. Penutup
Perkembangan masyarakat ke arah modern
semakin membuat kita melupakan sejarah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
Fort Rotterdam dari tahun ke tahun membuktikan bahwa masyarakat awam biasanya
menganggapnya sebagai objek wisata semata. Soal vandalisme di Fort Rotterdam
sama halnya yang terjadi pada situs-situs lainnya, masalahnya adalah kurangnya
pemahaman masyarakat mengenai bangunan kuno yang harus kita lestarikan. Semakin
lama, tanpa adanya rasa ingin tahu, tentu saja, Fort Rotterdam hanyalah sekedar
tempat melepas lelah di akhir minggu.
Selain itu, Pemerintah Kota tidak begitu
memperhatikan hal-hal yang seperti ini. Seperti yang penulis kutip dari seorang
arkeolog, Iwan Sumantri, beliau mengatakan bahwa negara berkembang biasanya
lebih fokus pada permasalahan ekonomi, beda dengan negara maju yang sudah maju
perekonomiannya sejak lampau dan pada masa sekarang, mereka kembali kepada
kebudayaan mereka.
Harapan penulis tentang Fort Rotterdam,
kiranya pengelolaanya semakin baik, begitu juga dengan pelestariannya. Tidak
hanya sebatas itu, masyarakat juga perlu tahu nilai penting dari sebuah
bangunan kuno agar mereka juga ikut melestarikan sehingga anak cucu kita juga
menikmati apa yang kita nikmati saat ini. Bukan hanya keindahannya, tapi nilai
sejarah adalah yang paling penting.
Daftar Pustaka
Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap
Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013;
Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota
Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadja Mada.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15
September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural
Resource Management). Skripsi. Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam
Meningkat 50 Persen. (www.tribun_timur.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58
WITA).
No comments:
Post a Comment