Natal tahun ini cukup menggembirakan,
soalnya aku punya kesempatan untuk bertemu dengan dua sahabat baikku, Rio dan
Agung. Mereka cukup sehat dan kupikir, mereka tidak banyak berubah semenjak terakhir
kali kami bertemu. Rio saat ini telah lulus dari kuliahnya di salah satu akademi
keperawatan di Makassar. Selama kuliah di Makassar, hanya sekali aku bertemu
dengan dia. Sedangkan Agung, masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta
yang ada di Palopo. Dia masuk kuliah pada tahun dua ribu dua belas. Kami hanya
bertemu ketika aku pulang ke kampung dan bersantai-santai sambil bermain musik
di studio milik Pak Sagino.
Sore hari, tanggal dua puluh lima
desember tahun dua ribu lima belas, aku dan Agung berkunjung ke rumah Rio, kami
menghabiskan waktu sambil mengenang kembali masa lalu kami. Yah, sembari
mengunyah kudapan natal yang tersaji di depan kami. Aku dan Rio sudah berteman
sejak Sekolah Dasar (SD) dan Agung, aku baru mengenalnya ketika kami berdua
masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Agung dan Rio adalah teman sekelas di SMP
dan kami bertiga punya hobi yang sama di bidang musik -sama-sama fans Linkin
Park- paling tidak, suka mendengar musik walau tidak pandai memainkannya. Aku dan
Agung, bersama dua orang teman, Hary dan Heri, sempat membentuk sebuah band
lokal pada pertengahan tahun dua ribu delapan dengan genre musik alternatif. Kami
beri nama band itu, V~Ru2 (baca: virus). Nama yang cukup menggelikan dan
terdengar sangat “lebay” untuk saat ini. Saat itu, aku berperan sebagai drumer
dan Agung berperan sebagai bassis. Benar-benar masa yang menyenangkan. Apalagi,
kami berdua memiliki pacar di kelas yang sama saat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Oke, aku rasa sudah cukup cerita singkat mengenai kami bertiga. Saat ini, aku
akan menceritakan sebuah pengalaman ketika aku masih SMA, cerita yang mungkin
akan terdengar sedikit horor dan tidak masuk akal, tapi aku jamin bahwa cerita
ini adalah kisah nyata, bukan hasil rekayasa. Mungkin, cerita ini agak kurang
detail karena aku lupa-lupa ingat dan mencoba untuk melupakannya sebab, hal
akan aku ceritakan ini adalah salah satu pengalaman terburukku. Aku kembali
teringat cerita tersebut karena lokasi dalam ceritanya sangat dekat dari rumah
Rio dan saat kami menyantap makan malam, kenangan itu berhasil membujukku untuk
menceritakannya kepada kalian. Begini ceritanya...
*****
Malam itu, Nopember (aku lupa
tanggal berapa) tahun dua ribu sembilan, hujan turun sangat deras. Aku, Agung,
Hary, dan Heri habis pulang latihan band di Studio 8 milik Mister Udit di Desa Pepuro
Barat, Kecamatan Wotu. Studio itu lumayan lengkap dan baik pada masanya serta
pemiliknya, Mister Udit (aku tidak tahu nama lengkapnya) sangat ramah. Aku
banyak belajar musik dari dia. Kami mengendarai motor, aku dibonceng oleh Agung
dengan motor Smash hitamnya (sekarang, motor itu dipakai oleh kakaknya dan Agung
memakai motor Satria Fuu), sedangkan Hary dan Heri berboncengan mengendarai
motor Supra milik Hary. Saat itu, di sepanjang jalan masih sedikit rumah,
sangat sunyi, yang ada hanyalah pohon-pohon kelapa sawit, tidak seperti
sekarang. Jalan yang kami lalui bukanlah jalan poros atau jalan besar,
melainkan jalan alternatif yang menghubungkan Kecamatan Tomoni dengan Kecamatan
Wotu, sangat jauh dari pemukiman masyarakat.
Hujan semakin deras dan kami masih
sangat jauh dari rumah. Kami terpaksa mencari tempat untuk berteduh. Saat itu,
aku berpikir untuk berteduh di rumah Rio karena rumah Rio-lah yang paling dekat
dari posisi kami yang sedang naik motor. Jadi, aku dan Agung memutuskan untuk
berteduh sejenak di sana. Rio tinggal di kompleks perumahan karyawan perusahaan
kelapa sawit, kebetulan ayahnya kerja di sana. Kami sering menyebut kompleks
itu dengan sebutan PTP (Perseroan
Terbatas Perkebunan) yang sebenarnya adalah bagian dari Dusun Indrokilo,
Desa Bayondo, Kecamatan Tomoni. Memang, secara administratif, rumah Rio dan
rumahku berada di desa yang sama, Desa Bayondo. Namun, jarak antara keduanya sangat
jauh. Kompleks itu hanya ditinggali oleh beberapa karyawan dan sangat sunyi
ketika malam hari, apalagi saat hujan turun (sekarang tempat itu semakin sunyi,
soalnya banyak teman-temanku yang telah pindah rumah dari situ). Namun, Hary
dan Heri sepertinya tidak sepemikiran dengan kami karena mereka merasa sedikit
malu sebab tidak terlalu mengenal Rio. Hary sudah lama lulus SMA dan dia adalah
pekerja serabutan. Aku dipertemukan dengan dia oleh Agung di studio musik milik
Sandy, anak Pak Subur, pemilik penginapan Sumber Urip di Kecamatan Tomoni (Pak
Subur sudah meninggal pada pertengahan tahun dua ribu dua belas). Hary adalah
gitaris band-ku saat itu. Sedangkan Heri, sang vokalis, dia adalah kakak dari
temanku, Hengki, satu kelas dengan Agung dan Rio saat SMP, rumahnya berdekatan
dengan rumah Agung di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Tomoni. Dialah sang maestro,
dialah yang menciptakan lirik-lirik lagu yang sering kami bawakan di beberapa festival
band atau acara-acara pernikahan. Ketika band terbentuk, dia sementara kuliah
di perguruan tinggi terbuka, dia mengambil jurusan pertanian. Ketika awal-awal
kami berkenalan, aku memanggilnya dengan sebutan mas. Namun lama-kelamaan, panggilan itu menghilang seiring
keakraban kami bertambah.
Lanjut cerita, ketika kami ingin
memasuki kompleks PTP, entah karena kami sial atau memang takdir, gerbang PTP
ambruk dan menutupi jalan masuk. Gerbang itu terbuat dari kayu yang sangat
lapuk karena tidak pernah diganti semenjak PTP berdiri. Cukup berat untuk
diangkat oleh kami berempat. Gerbang yang tingginya, jika berdiri, sekitar
tujuh meter dan lebarnya lima meter, belum lagi keliling masing-masing tiangnya
adalah dua meter. Sangat mustahil untuk kami angkat berempat di tengah hujan
deras. Beruntungnya, ada beberapa orang yang juga mau masuk ke kompleks PTP, sepertinya
mereka adalah karyawan di situ. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk
menyingkirkan gerbang yang roboh itu. Akhirnya, setelah menyingkirkan gerbang
yang roboh itu, dengan sisa-sisa tenaga yang kami punya, kami melanjutkan
perjalanan untuk berteduh di PTP karena hujan sepertinya tidak berpikir untuk
reda, malah semakin menjadi-jadi.
Kami pun memasuki area kompleks
perumahan tersebut dan jika saat itu kami cerdas, kami memilih untuk berteduh
di rumah Rio karena rumahnya tergolong sangat dekat dari jalan masuk kompleks
atau, bisa saja kami mengikuti beberapa orang yang “menolong” kami tadi dan
singgah di salah satu rumah mereka. Tapi, yah, sudahlah, mungkin saat itu kami
masih goblok dan orang-orang yang ikut menyingkirkan gerbang tadi, mereka sudah
terlampau jauh meninggalkan kami yang daritadi menunggu motor Hary yang susah
di-starter. Dari kejauhan, kami
melihat dengan samar-samar, ada sebuah bangunan yang nampak sudah tua dan
terlihat sedikit menyeramkan karena tidak ada satupun lampu yang meneranginya.
Aku pun merasa semakin goblok dan mengkhayalkan diriku berada di rumah Rio,
sambil minum teh hangat dan main playstation/PS
(saat itu, rumah Rio adalah tempat rental PS). Nasib. Akhirnya, kami memutuskan
untuk berteduh di bangunan itu. Kau bisa membayangkan, bagaimana seandainya
tempat itu menjadi lokasi shooting reality show “Dunia Lain”, mungkin
pesertanya hanya akan bertahan di bawah satu menit. Tapi, hari itu, tidak ada
pilihan lain selain berteduh. Tidak ada pikiran yang macam-macam di kepala
kami, yang ada hanyalah “kapan hujan reda?”.
Bentuk bangunan itu sangat
sederhana, balok polos dan ukurannya, boleh dibilang dua kali ukuran kamar
kost-ku saat ini, panjangnya sekitar delapan meter, lebarnya sekitar enam
meter, dan tingginya sekitar empat meter. Hanya ada satu pintu masuk di depan,
dua jendela, masing-masing berada di sisi kanan dan kiri bangunan. Atapnya
terbuat dari seng yang sudah karatan dan bangunannya secara keseluruhan,
terbuat dari papan kayu yang sudah agak lapuk. Isi bangunan tersebut dapat
dilihat dari sela-sela papan. Hanya ada sebuah mesin tua di dalamnya. Tidak ada
bangunan lain di sekitarnya, hanya rumput dan beberapa pohon kelapa sawit.
Benar-benar bangunan yang penyendiri. Kami tidak bisa masuk ke dalam bangunan
tersebut karena pintunya di segel dengan papan. Kami hanya berteduh di terasnya
yang selebar satu meter. Dulu, ketika aku masih SD, aku sering mendengar dari
anak-anak yang tinggal di kompleks itu, jika ada sebuah bangunan kosong yang
disebut “genset”. Sebenarnya, bangunan kosong tersebut adalah bangunan tempat
menyimpan sebuah genset tua milik PTP karena dulu, ketika listrik belum masuk
di kompleks itu, karyawan di sana menggunakan genset sebagai sumber listrik.
Konon, tempat tersebut berhantu. Sosok hantunya seperti raksasa, orang setempat
sering menyebutnya longga’.
Sebelumnya, aku belum pernah ke genset, namun aku yakin bahwa saat itu, kami
sedang berteduh di genset.
Cih! Kesal juga rasanya karena
berteduh di tempat yang sama sekali tidak diharapkan. Bayang-bayang tentang
rumah Rio pupus sudah, yang ada hanya kesunyian ditemani suara mahkluk-mahkluk
malam dan tentu saja, suara derasnya hujan. Selama bermenit-menit kemudian,
kami hanya terdiam sambil mengertakan gigi karena menggigil. Pemandangan malam
itu cukup monoton, mungkin kami bisa menggunakan waktu kami untuk menghitung
berapa banyak tetes hujan yang turun membasahi jok motor. Rindu kehangatan.
Mungkin, jika yang ada di sampingku adalah seorang perempuan, tidak
berlama-lama lagi, pasti akan kupeluk dan dia pasti tidak akan keberatan dengan
itu. Tapi, sungguh sial, yang berjongkok di sebelah kanan dan kiriku, semuanya
adalah laki-laki. Membayangkan dua orang laki-laki saling berpelukan saja
sungguh tidak mengenakkan, apalagi jika berempat. Mending kesurupan massal! Pikirku.
Sudah setengah jam kami menunggu
hujan reda. Entah dosa apa yang kami perbuat sehingga kami tertahan di bangunan
yang mirip neraka itu. Tidak ada tanda-tanda hujan mau reda dan handpone kami sudah tidak berfungsi lagi
karena low-batt. Hening dan
tiba-tiba...
“bro, tadi saya dengar ada suara. Tidak
tahu suara apa.” Hary membuka percakapan
“ah, mengkhayal kamu! Suara hujan
kali.” bantah Heri
“serius bro!”
“alah, ngapusi koe (bohong kamu)!” Heri mengakhiri debat.
Keheningan kembali terjadi. Namun,
sekitar semenit kemudian, Agung pun memulai kembali percakapan,
“Har, aku juga denger kok. Suaranya
kayak cewek menangis.”
“wuish, serius Gung?”
“ho’o. Barusan, kayaknya dari dalam
deh.” kata Agung sambil menunjuk bangunan di belakangnya
“alah, imajinasi” tiba-tiba Heri
ikut nimbrung
“oh walah, ngeyel meneh (menyangkal lagi)! Serius Her! Coba kamu dengar
baik-baik.” respon Hary dengan muka serius.
Heri pun menuruti perkataan Hary
dengan muka masam. Kami berdiam diri lagi selama semenit. Sebenarnya, aku juga
mendengar suara itu saat pertama kali Hary mendengarnya. Cuma, aku agak malas
untuk mendebatkannya, soalnya aku terlalu sibuk kedinginan. Suara itu, tepat
sekali yang dikatakan Agung, mirip suara perempuan sedang menangis. Tangisan
yang sendu, pelan, dan menurutku, lumayan sedih untuk didengarkan. Namun,
suaranya terdengar menggema, mirip suara efek reverb (kalau ada efek delay-nya,
jadi lucu, mirip pimpinan orkes dangdut lagi nge-tes mic). Suaranya terdengar seperti suara orang yang sedang berada di
dalam ruangan kosong. Tapi aneh, karena sepengetahuanku, jika benar suara tersebut
berasal dari dalam bangunan tempat kami berteduh, maka suara yang dihasilkan
tidak akan menggema seperti itu karena ada banyak lubang di dinding bangunan
tersebut, di tambah lagi, bangunan tersebut tidak kosong karena ada sebuah
mesin di dalamnya. Anehnya lagi, bangunan itu hanya memiliki satu pintu dan
pintunya di segel dengan papan dari luar. Jendela? Jendelanya sangat tinggi
untuk orang seukuranku dan sangat tidak mungkin memanjatnya karena
dinding-dindingnya sudah lapuk. Siapa juga yang bersusah-susah mau masuk ke
dalam bangunan yang menyeramkan itu. Namun, aku tetap berpikir positif
sampai...
“kok, suaranya kayak orang
mendesah?” kata Hary dengan wajan heran
“saya juga dengar. Mungkin suara
angin kena mesin atau jangan-jangan kamu mikirnya ngeres (mesum) ya? ” Heri tetap tidak percaya
“orang ngomong serius, kok diajak
bercanda?!“ timpal Hary dengan sinis
“suaranya kayak orang yang capek.”
aku membuka suara, “ngos-ngosan gitu, terus suaranya berat.”
“jangan-jangan...” Agung berbicara
setengah berbisik.
Kami tetap memberanikan diri untuk
tinggal berteduh di tempat itu. Rasanya, sebentar lagi hujan akan benar-benar reda.
Kami mencoba berpikir positif sambil membersihkan tetes-tetes hujan yang
membasahi jok motor. Ketika hujan benar-benar reda, kami bersiap-siap untuk
meninggalkan tempat itu. Namun, benar-benar apes, motor Hary tidak bisa
dinyalakan. Kakinya yang sedari tadi menendang-nendang starter sepertinya sudah kelelahan. Tetapi, yang bermasalah
sepertinya adalah mesin. Mungkin terlalu
lama kena air hujan, pikirku. Hary pun mengeluarkan sejumlah obeng dan
beberapa busi bekas dari bagasi motornya, berharap ada yang bisa dia lakukan
dengan motor mogoknya itu. Tak cukup semenit, suara pintu bangunan tersebut
berdecit-decit, seolah-olah ada yang sedang berusaha keluar, entah manusia atau
yang lebih buruk daripada itu. Heri sedikit menenangkan suasana dengan
mengatakan bahwa suara itu mungkin dari seekor tikus yang berusaha keluar dari
sana. Namun, tampaknya Hary sudah setengah meringis, dia sangat ingin
meninggalkan tempat itu. Aku bingung, di satu sisi, aku sepertinya merasa geli
melihat muka Hary sedang meringis. Bayangkan saja, badannya sangat kekar
(mengingat dia pekerja serabutan, kuli bangunan ada dalam list-nya) dan mukanya juga kekar, tetapi ekspresinya seperti bayi
yang sedang menahan kentut. Lucu sekali. Di sisi lainnya, aku juga cukup
ketakutan dengan suara-suara itu. Entah apa itu, yang jelas aku takut. Memang,
di samping kiri rumahku adalah kompleks pemakaman keluarga dan tepat di
belakangnya adalah kebunku, tempat dimana aku sering menunggu durian jatuh
ketika sedang musimnya. Namun, saat itu tidak sama dengan kompleks pemakaman
samping rumahku. Tempat itu sunyi, gelap, dan baunya seperti arang yang terkena
hujan, bukan petrikor. Walaupun jumlah kami empat orang, tapi aku merasa
sendirian. Posisi kami saat itu saling berjauhan, aku masih di teras bangunan,
Heri juga, namun ia berada dua meter di samping kananku, tepat di depan pintu
bangunan yang tersegel itu, Agung duduk di motor sambil menyalakan lampu motor
untuk menerangi Hary yang sedang memerbaiki motornya.
Serasa lima menit berdiri,
tiba-tiba aku melihat wajah pucat Heri. Pertama kalinya aku melihat dia sangat
ketakutan. Keringat di dahinya pun terlihat ketakutan. Aku pun mengajak dia
berbicara,
“mas, kenapa mas?”
“takut bro!”
“takut kenapa? Saya tidak dengar
ada suara-suara aneh?”
“Coba kamu tengok di bawah kakiku
ini ada apa?”
Tidak mencoba mendramatisir, namun
aku menurunkan mataku yang setengah melotot dengan sangat pelan. Mirip seperti
adegan slow-motion di film-film. Aku
tersenyum kecut ketika mataku telah sampai di kaki Heri. Ingin rasanya menangis
saat itu, sebuah perasaan yang aneh. Takut dengan ekspresi senyum sambil
menangis. Aku melihat sebuah...
“mas, ada tangan mas.”
ucapku sambil gemetar
“tangan apa?”
“tangannya pucat mas, terus kukunya hitam kotor.”
“yang benar kamu?”
“iya mas, coba ditengok sendiri.”
“biarin aja, cuman dipegang-pegang
kok.” kata Heri sok tegar, padahal terlihat jelas rasa takut yang luar biasa di
wajahnya.
Kami berdua pun kembali diam dengan
tatapan kosong ke depan, muka tanpa ekspresi, dan keringat dingin berlebih di
daerah dahi dan sekitarnya. Sepertinya kami pasrah mau diapakan oleh “sesosok
tangan” itu. Tangan yang tampak tersebut hanya sebatas lengan saja, menjulur
dari dalam bangunan, tepat di bawah lubang pintu. Pucat, keriput, serta
kuku-kukunya panjang dan hitam karena kotor. Tidak lama kemudian, Agung
memanggil aku dengan isyarat tangan. Aku sedikit agak lega karena menjauhi
bangunan itu. Heri pun mengikutiku. Mungkin dia juga merasa tidak betah dan berharap
pergi dari tempat itu. Sesampainya di sebelah Agung, ia pun mencoba
melirik-lirikan matanya dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang bangunan. Aku mau
saja menebak apa yang sedang dilihat oleh Agung, tapi aku memilih untuk tidak
menebak, tidak pula menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Agung. Heri yang
menuruti isyarat dari Agung, menoleh ke arah belakang bangunan itu dan sedikit
berbisik setengah menganga, katanya: HAN.. HA.. RA.. HA... (baca: genderuwo). Kau
bisa membayangkan bagaimana ekspresi kami bertiga. Aku yang tidak menoleh saja,
serasa ingin terbang menjauh dari tempat itu, apalagi Agung dan Heri yang telah
menoleh. Mungkin, mereka berdua berharap dibuat pingsan atau setidaknya, mereka
berharap memiliki kekuatan teleportasi berpindah tempat kemana saja, asal bukan
di tempat itu, tapi tidak bisa.
Rasanya ada yang ketinggalan. Oya, ada
Hary yang sedari tadi meringis tidak karuan. Ternyata dia juga melihat mahkluk
“genderuwo” tersebut. Mukanya terlihat sekecut jeruk yang masih sangat muda,
kecut-kecut pahit, sulit mendeskripsikannya. Seperti “Budi Anduk” yang sedang
bermain maracas sambil telanjang dan dilempar di tengah-tengah sekawanan ikan
hiu (ungkapan dalam anime Gintama, lupa episode yang ke berapa, pokoknya
menceritakan Shogun yang pengen mandi di kolam renang publik. Hanya saja, kata Mutsu-ken
di ganti dengan Budi Anduk). Ditambah lagi, dia sendirian bersama motornya yang
berjarak sekitar tiga meter dari kami. Bayangkanlah ketakutan yang ia rasakan.
Terlihat tetes-tetes embun di matanya, kelihatannya dia sedang menangis. Yang
jelas, dia menangis bukan karena sedih, namun karena hal yang lain. Tapi apa
daya, motornya belum juga pulih. Tak ada jalan lain, dia mengangguk-anggukan
kepalanya, sinyal untuk melarikan diri dari tempat itu. Kami pelan-pelan
menjauhi bangunan itu. Hanya beberapa langkah dari situ, terdengar raungan yang
membuat merinding sekujur tubuh. Alangkah takutnya kami saat itu. Kami
kocar-kacir sambil berteriak: “SEEETAAAAAAAAAN!!!”. Anjrit bener! Sumpah bro, aku
mau disambar geledek bareng-bareng! Sungguh rasa takut yang luar biasa! Agung
langsung memacu motornya menembus rerumputan yang berada di sela-sela pohon
kelapa sawit, aku dan Heri berlari lurus ke depan mengikuti lampu motor Agung,
selangkangan celanaku robek ketika melewati pohon yang tumbang di sekitar situ.
Sedangkan Hary, aku tidak tahu bagaimana dia bisa secepat itu mendahului kami
sambil mendorong motornya. Mungkin efek kerja serabutan.
Kami berlari pontang-panting hingga
keluar dari kompleks PTP. Jarak dari bangunan yang menyeramkan itu hingga
gerbang masuk adalah lima ratus meter, tapi kami tidak capek dan memerdulikan
seberapa jauh jaraknya, yang penting kami pergi secepat kilat dari situ. Tidak
sampai semenit (menurut perkiraanku), kami telah sampai di jalan yang kami
lalui tadi dan bermaksud untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Aku,
Agung, dan Heri berboncengan sambil mendorong Hary dan motornya yang mogok. Hanya
lima menit dari gerbang kompleks PTP, bensin motor Agung habis. WTF! Celaka dua belas! Mungkin, kami
memang banyak dosa. Akhirnya, kami mendorong dua motor sekaligus hingga menemui
toko yang menjual bensin eceran. Dan kalian tahu seberapa lama kami berjalan?
Kami melihat jam tangan Heri dan memerkirakan waktu yang kami tempuh dari
lokasi mogoknya motor Agung hingga kami menemukan toko penjual bensin eceran
adalah sekitar satu jam. SATU JAM!!! Kami mendorong motor, maksudku dua motor,
tanpa berbicara sepatah kata pun, wajah pucat, keringat dingin, lutut lemas, mengertakan
gigi karena kedinginan, pandangan kosong, dan terlihat sangat paranoid ketika
mendengar suara aneh di semak-semak sepanjang jalan. Kadang kami berteriak
histeris dan dilanjutkan dengan tertawa-tawa aneh untuk menghibur diri, mirip
orang sinting. Kuulangi dan kupertegas bahwa kami berjalan dengan kondisi seperti
itu di sepanjang jalan dan selama SATU JAM!!!
Alangkah sialnya kami hari itu.
Namun, kesialan tidak hanya sampai di situ. Ketika hendak membayar uang bensin,
aku teringat dengan kondisi keuangan kami. Ternyata uang kami tadi habis
dipakai untuk bayar sewa studio buat latihan. Kami saling melempar pandangan. Hanya
perasaan “minta dikasihani” yang terpancar dari wajah kami. Kami benar-benar
kehabisan akal. Aku melihat sekeliling, mungkin ada yang bisa dikenali. Pucuk
di cinta, ulam pun tiba. Aku mengenali seseorang yang sedang lewat. Seorang
gadis yang perawakannya pendek, mengenakan baju kaos, celana santai, dan
mengenakan sendal jepit. Dia adalah temanku saat SD, namanya Masnawati. Selepas
SD, dia langsung dipinang. Hal tersebut bukanlah hal yang mengherankan di
kampungku. Singkat cerita, aku menghampiri dia dan bertanya apakah dia punya
sedikit uang untuk kami pakai membayar bensin. Untung saja, toko yang kami
singgahi adalah toko miliknya. Mungkin ini yang dinamakan “berkah di balik
musibah”. Tetangganya pun punya bengkel motor, sekalian saja memerbaiki motor
si Hary, kataku. Sekali tepuk, dua lalat kena. Ajaib benar. Namun, kami masih
saja paranoid memikirkan hal yang baru saja kami alami di bangunan tua itu.
Setelah sedikit bercerita dengan Masna (begitu panggilannya), dia yakin bahwa
tadi kami sedang berteduh di genset. Tepat dugaanku tadi. Berdasarkan ciri-ciri
hantu yang kusebutkan tadi, tidak salah lagi bahwa mereka adalah penghuni
genset.
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kedua motor yang kami akan naiki sudah pulih. Lega juga akhirnya, walaupun jam tangan Heri telah menunjukan waktu yang larut malam, sekitar sepuluh menit lagi tengah malam. Aku sangat berterima kasih kepada Masna dan juga tetangganya (lupa siapa namanya) yang sudah mau sibuk memerbaiki motor Hary walaupun telah larut malam. Sesampainya di pertigaan jalan poros, Agung mengantarku ke rumahku yang berada di Selatan pertigaan, sedangkan Hary dan Heri melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang berada di Utara pertigaan. Setibanya di rumah, Agung langsung pamit pulang. Katanya, dia sangat capek. Aku juga merasakan hal yang sama. Selepas Agung pergi dari rumahku, aku langsung masuk dan membasahi kepalaku dengan air keran untuk membersihkan sisa-sisa air hujan, takutnya nanti sakit, begitu kata orang-orang tua dulu. Aku pun melepaskan baju dan celanaku yang basah, dan berjalan menuju ke kamarku sambil telanjang. Malam itu, seluruh keluargaku telah tidur terlelap, tinggal aku sendiri yang masih sadar dan berharap untuk tidak memimpikan hal yang buruk dan mungkin sisi positifnya, berat badanku berkurang tiga kilogram malam itu. Benar-benar malam yang sial!
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kedua motor yang kami akan naiki sudah pulih. Lega juga akhirnya, walaupun jam tangan Heri telah menunjukan waktu yang larut malam, sekitar sepuluh menit lagi tengah malam. Aku sangat berterima kasih kepada Masna dan juga tetangganya (lupa siapa namanya) yang sudah mau sibuk memerbaiki motor Hary walaupun telah larut malam. Sesampainya di pertigaan jalan poros, Agung mengantarku ke rumahku yang berada di Selatan pertigaan, sedangkan Hary dan Heri melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang berada di Utara pertigaan. Setibanya di rumah, Agung langsung pamit pulang. Katanya, dia sangat capek. Aku juga merasakan hal yang sama. Selepas Agung pergi dari rumahku, aku langsung masuk dan membasahi kepalaku dengan air keran untuk membersihkan sisa-sisa air hujan, takutnya nanti sakit, begitu kata orang-orang tua dulu. Aku pun melepaskan baju dan celanaku yang basah, dan berjalan menuju ke kamarku sambil telanjang. Malam itu, seluruh keluargaku telah tidur terlelap, tinggal aku sendiri yang masih sadar dan berharap untuk tidak memimpikan hal yang buruk dan mungkin sisi positifnya, berat badanku berkurang tiga kilogram malam itu. Benar-benar malam yang sial!
*****
Begitulah cerita tentang pengalaman
sialku. Melihat beberapa hal yang tergolong aneh dan cukup membuatku paranoid. Ketika
natal di rumah Rio, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan dan melihat
kembali tempat “kesialan” kami itu, genset. Kini, tempat itu telah rata dengan
tanah. Hanya ada beberapa bekas bangunan di sana. Namun, tempat itu masih
menyimpan kesan mistis, apalagi lagi saat itu, ketika kami kembali ke rumah
Rio, hujan deras turun dan mengingatkanku dan Agung pada saat kami terjebak di
sana dulu. Sungguh pengalaman yang ingin sekali kami lupakan, tapi sepertinya
tidak bisa. Pengalaman ini pernah aku tuliskan ketika kami mengerjakan tugas
akhir mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diwajibkan membuat sebuah cerpen
berdasarkan pengalaman kami. Yah, aku pilih pengalamanku yang satu ini dengan
menambahkan sedikit kesan-kesan ala detektif (saat itu, aku suka sekali dengan
anime Detective Conan), entah guru kami percaya atau tidak, who cares? Tapi, percayalah bahwa hal-hal
yang terjadi di genset pada malam itu, semuanya adalah kisah nyata seratus
persen. Aku pun menutup cerita tentang kenangan tersebut sambil menghabiskan
minuman dinginku yang sedari tadi aku tinggalkan, ketika berjalan-jalan
mengunjungi tempat “kesialan”-ku dulu.
SEKIAN