“Ritual
Tiwah, Suku Dayak di Kalimantan Tengah”
Indonesia
merupakan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera ke Papua dengan
sejuta kultur budaya yang unik, baik budaya tutur maupun budaya material.
Unsur-unsur kearifan lokal tertanam dalam batin masyarakat yang menjunjung
tinggi hasrat untuk melestarikan budaya. Di zaman yang semakin tinggi tingkat
mobilitasnya, memungkinkan budaya-budaya tersebut tereksplor ke dunia luar dan
menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia secara umum. Salah satu
kebudayaan lokal yang menarik menurut penulis adalah ‘Ritual Tiwah’ Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Secara
astronomis, Kalimantan Tengah terletak di 1110-1150BT dan
0045’LU-30300LS dengan luas wilayah 153.564,50
Km2. Secara administratif, jumlah penduduk Kalimantan Tengah sekitar
2.514.375 jiwa dan sekitar 41,24% penduduk asli atau Suku Dayak (Permendagri
No.66 Thn. 2011). Menurut data sensus tahun 2000, Suku Dayak di Kalimantan
Tengah terpecah menjadi empat sub-suku, yaitu Dayak Ngaju, Dayak Sampit, Dayak Bakumpai,
Dayak Katingan, dan Dayak Maanyan. Dari kacamata budaya, Suku Dayak memiliki tingkat
akulturasi[1]
yang cukup besar sehingga kepercayaan lokal bercampur dengan kepercayaan yang
datang dari luar. Kepercayaan lokal Suku Dayak adalah Kaharingan. Menurut data sensus tahun 2010, pemeluk kepercayaan
Kaharingan tersebar di seluruh Kalimantan Tengah dengan konsentrasi di sekitar
hulu sungai, seperti hulu sungai Kahayan, sungai Katingan, dan hulu sungai
lainnya. Salah satu keunikan dari Suku Dayak menurut penulis adalah Ritual
Tiwah Suku Dayak. Sebagian besar masyarakat pemeluk kepercayaan Kaharingan dan
pemeluk kepercayaan lainnya (sinkretisme[2]
dari Kaharingan) masih menjalankan ritual tersebut.
Ritual
Tiwah merupakan akhir dari rangkaian upacara kematian bagi pemeluk kepercayaan
Kaharingan. Ritual ini adalah prosesi menyucikan dan memindahkan jasad dari
liang kubur ke sebuah tempat yang disebut Sandung[3].
Sebelum ritual tersebut dilakukan, ada satu ritual yang dilakukan, yaitu Ritual
Tantulak. Ritual Tantulak merupakan
ritual tolak bala bagi arwah sekaligus ‘mengawal’ arwah ke Bukit Mailan[4],
dari situ arwah-arwah menunggu kedatangan tuhan mereka yang mereka sebut Ranying Hattala Langit. Selanjutnya,
sebelum arwah tersebut masuk ke Surga, sanak saudara yang masih hidup hendak
melaksanakan Ritual Tiwah. Ritual Tiwah bertujuan untuk melepas ‘rantai
duniawi’ sehingga arwah bisa bertemu dengan tuhannya. Ritual ini dilakukan
ketika jenazah keluarga yang meninggal sudah menjadi tulang. Kuburnya digali
dan tulang-tulangnya diangkat, kemudian tulang-tulang tersebut dibersihkan dan
disucikan dengan rangkaian ritual khusus dan akhirnya tulang tersebut
ditempatkan di dalam Sandung. Rangakaian ritual itu juga dibarengi dengan
persembahan hewan kurban, berupa kerbau, sapi, atau babi.
Melihat
dari keunikan-keunikan Ritual Tiwah, menurut penulis, kebudayaan lokal tersebut
pantas untuk diteliti lebih lanjut dan menjadi bahan untuk penelitian etnografi
atau antropologi. Ritual Tiwah merupakan salah satu keunikan Indonesia yang
pantas dilestarikan dan semoga keunikan-keunikan budaya Indonesia yang lainnya
juga bisa dipublikasikan sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai
masyarakat Indonesia.
[1] Percampuran dua
kebudayaan yang berbeda namun beberapa ciri khas dari masing-masing kebudayaan
tersebut tidak dihilangkan.
[2]Salah satu bentuk dari akulturasi,
dimana sinkretisme lebih merujuk pada penyatuan paham dari kepercayaan yang
berbeda dengan memberi toleransi kepada kepercayaan yang terlebih dahulu ada,
contoh lainnya yaitu, Islam Kejawen, Suku Jawa.
[3]Tempat khusus menyimpan
tulang, Suku Dayak.
[4]Konsep khayangan tempat
reinkarnasi arwah menurut Suku Dayak.
No comments:
Post a Comment