Saturday, July 12, 2014

CAGAR BUDAYA, KONSTITUSI, DAN MASYARAKAT

Pendahuluan
Indonesia memiliki sejuta ‘keindahan’, baik dari segi ekologis maupun sosial budaya. Seiring perkembangan zaman, sebagian besar masyarakat kehilangan atau lupa dengan ‘keindahan’ itu sehingga keindahan itu rusak dan tinggalkan bersama waktu. ‘Keindahan’ itu seharusnya kita jaga dan kita rawat karena sesungguhnya, hal itu tidak dapat diperbaharui.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.
Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya[1].
Untuk tulisan kali ini, penulis akan menyinggung sedikit soal pelestarian ‘keindahan’ sosial budaya (Cagar Budaya) kita melalui perspektif UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Namun, sesuai dengan tema Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa se-Indonesia “Archaeology for Society: Pemanfaatan dan Pelestarian Kawasan Karst Maros-Pangkep yang Berbasis Masyarakat”, penulis juga akan memasukan sedikit mengenai ‘keindahan’ ekologis Maros-Pangkep.

Sekilas Tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 11 Tahun 2010
Cagar Budaya merupakan warisan leluhur yang secara tidak langsung menjadi ciri khas dari suatu daerah. Pengertian Cagar Budaya tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 1, bunyinya:

“...Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Dilihat dari konteksnya, Cagar Budaya umumnya terbagi atas dua, yaitu moveable (dapat digerakkan/pindahkan) dan unmoveable (tidak dapat digerakkan/pindahkan). Apapun bentuknya, Cagar Budaya yang bersifat kebendaan ini sangat rentan dengan pengerusakan, entah karena faktor alam maupun manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kita harus mencegah kerusakan dan melestarikan Cagar Budaya tersebut? Kalau iya, kenapa? Seperti yang telah saya singgung diatas bahwa Cagar Budaya merupakan ciri khas atau identitas bangsa, warisan dunia, dan merupakan jejak rekam kemajuan bangsa kita, oleh karena itu kita harus menjaga dan melestarikannya. Selain itu, alat, bahan, serta teknologi pembuatannya telah lama hilang karena pengaruh modernisasi dan karenanya, Cagar Budaya tersebut terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Boleh saja dibuatkan replikanya, namun nilai penting sejarahnya tetap tidak dapat menyamai yang aslinya.


Societeit de Harmonie, salah satu bangunan Cagar Budaya. (Dok. Chandra)

Setiap orang wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan Cagar Budaya, hal ini secara tersirat tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab VII yang membahas tentang pelestarian. Negara sudah menyadari betapa pentingnya warisan budaya ini, UU Nomor 11 Tahun 2010 merupakan bukti bahwa Negara juga peduli dengan warisan budaya tersebut. Konstitusinya sudah ada, tinggal kontribusi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Setiap Cagar Budaya memiliki peringkat berdasarkan letak administratif dan syarat-syarat lainnya, sebagai berikut:

1.      Cagar Budaya Nasional
Cagar Budaya tingkat nasional, secara administratif terletak diantara dua provinsi. Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai:
a.       Wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
b.      Karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
c.       Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
d.      Bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.       Contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah[2].

2.      Cagar Budaya Provinsi
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila memenuhi syarat:
a.       Mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas kabupaten/kota;
b.      Mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi;
c.       Langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi;
d.      Sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.       Berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung[3].

3.      Cagar Budaya Kabupaten/Kota
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat:
a.       Sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten/kota;
b.      Mewakili masa gaya yang khas;
c.       Tingkat keterancamannya tinggi;
d.      Jenisnya sedikit; dan/atau
e.       Jumlahnya terbatas[4].

Ruang lingkup Cagar Budaya mencangkup darat dan air, selama berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena Cagar Budaya yang dimaksud merupakan milik NKRI, maka kita sebagai warga tidak boleh memperjual-belikan Cagar Budaya dengan pihak asing/Negara asing. Pada akhirnya, kita sendiri yang akan rugi jika menjualnya karena sama saja dengan menjual identitas kita sehingga nanti, kita tidak lagi memiliki identitas. Karena itu, UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya seharusnya dan sepantasnya dilaksanakan untuk menjaga identitas atau jati diri bangsa kita.

Masyarakat dan Cagar Budaya
Berbicara soal kepemilikan Cagar Budaya, sudah sangat jelas bahwa masyarakat luas adalah pemiliknya. Oleh karena masyarakat yang memilikinya, maka sewajarnya untuk merawat apa yang dimilikinya. Namun, setelah melihat UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab IV mengenai Pemilikan dan Penguasaan, memang setiap orang dapat memiliki Cagar Budaya apabila mempunyai surat-surat keterangan kepemilikan dan jika surat-surat tersebut tidak ada maka Cagar Budaya tersebut adalah milik Negara.
Negara yang dimaksud (menurut penulis) adalah pemerintah. Setelah ditetapkan menjadi Cagar Budaya, Negara berhak memiliki, memelihara, dan memanfaatkan Cagar Budaya tersebut selama Cagar Budaya tersebut sebelumnya tidak memiliki pemilik yang sah. Namun, bagaimana jika kepemilikan ini diabaikan juga oleh Negara? Masyarakat juga seharusnya memiliki peranan atas Cagar Budaya tersebut walau tidak ada bukti hitam diatas putih. Masyarakat memang harus dibatasi untuk tidak merusak, tapi terkadang, publikasi mengenai pelestarian yang tertulis dalam undang-undang sangat kurang sehingga muncul ketidakpahaman dalam masyarakat.
Fakta yang ditemukan oleh Tim Ilmiah Piami XV Unhas dilapangan[5], masyarakat cenderung takut mendekati situs-situs Cagar Budaya (selain alasan mistis) karena mereka pernah mendengar atau mungkin melihat orang yang tertangkap dan dipenjara karena berkeliaran disekitar situs. Hal ini tidak pernah dikonfirmasi oleh pihak pemerintah, kenapa orang tersebut bisa ditangkap dan dimasukan ke penjara[6]. Selain itu, akibat kurangnya publikasi, warga juga ogah-ogahan dengan pelestarian Cagar Budaya dan mengatakan dengan jelas bahwa mereka tidak terlalu peduli karena mereka menganggap semua itu milik pemerintah dan pemerintah yang wajib mengurusnya[7].


Vandalisme di Fort Rotterdam. (Dok. Chandra)

Entah apa yang salah dengan undang-undang Cagar Budaya ini. Tapi, yang jelas ada kesalahan. Melihat kenyataan yang ada, banyak situs-situs Cagar Budaya yang dirusak dengan sengaja dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun tidak ada ganjaran yang mereka dapatkan. Konstitusinya yang lemah ataukah kita sebagai pelaksana konstitusi yang lemah? Gambar di atas merupakan bukti bahwa selama ini, kita terlalu lemah dalam melakukan tindakan yang sudah jelas ditetapkan dalam peraturan Negara kita, UU Nomor 11 Tahun 2010 pada Bab XI mengenai Ketentuan Pidana. Tapi, dalam bertindak, kita juga merasa terbatasi karena adanya pihak-pihak yang lebih berwenang dalam menjatuhkan sanksi, namun mereka juga seakan menutup mata dengan pengerusakan-pengerusakan tersebut. Lalu, bagaimana kita seharusnya bertindak?

Penutup
Tulisan ini sengaja dibuatkan pertanyaan yang belum terjawab karena penulis merasa bahwa pertanyaan tersebut tidak bisa penulis jawab sendiri, melainkan melalui proses diskusi dan tukar pikiran. Selain itu, penulis juga sadar akan kekurangan penulis dalam memahami isi dari undang-undang tersebut. Pada akhirnya, semuanya tidak bisa kita lakukan sendirian, tapi bersama-sama.
Kesimpulan yang penulis dapatkan setelah membaca dan memahami (kurang lebih) UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, penulis merasa undang-undang ini belum sampai ke telinga masyarakat luas yang notabene adalah pemilik sah dari Cagar Budaya tersebut. Publikasi yang kurang tersebar membuat masyarakat tidak peduli dan ini sangat gawat. Undang-undang ini sebenarnya sangat, sangat baik menurut penulis. Namun dalam pelaksanaannya, sungguh-sungguh mengecewakan. Seharusnya, undang-undang yang berlaku setelah satu tahun semenjak ditetapkannya, kini terbengkalai selama hampir empat tahun.
Harapan penulis, dengan adanya undang-undang Cagar Budaya tersebut, masyarakat janganlah menjadi takut, tetapi semakin peduli karena Cagar Budaya jangan hanya dilihat dari bentuk fisiknya saja, tetapi dalam publikasi undang-undang, pemerintah juga lebih menekankan nilai-nilai dari Cagar Budaya dan masyarakat punya rasa memiliki akan Cagar Budaya tersebut.

Catatan: Mungkin tulisan ini bersambung karena pembahasannya cukup menarik   ^_^



[1] Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal. 1.

[2] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 42.
[3] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 43.
[4] UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 44.
[5] Tim Ilmiah Piami XV Unhas beranggotakan 8 orang, yaitu: Edar (2013), Yuni (2013), Wani (2013), Edi (2013), Vivi (2013), Wandi (2013), Afdal (2011), dan Chandra (2011). Tim ini melakukan survei dan wawancara di Kabupaten Pangkep dan Maros, didampingi oleh saudara Azwar (2010) dan saudara Aman (2008).
[6] Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Pangkep.
[7] Keterangan tersebut didapatkan ketika melakukan wawancara di Kabupaten Maros.

No comments:

Post a Comment