Tuesday, January 6, 2015

Agape dan Philia



Alkisah pada suatu ketika, ada sekelompok pengembara yang berjalan melintasi sebuah gurun. Terik matahari kala itu sangat membakar hingga keringat mereka mengering sebelum menyentuh tanah, namun para pengembara itu terus melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan selama berhari-hari, mereka beristirahat saat petang dan berteduh di bawah pohon-pohon akasia yang rindang hingga kaki-kaki mereka dapat beristirahat dari panas pasir gurun.
Ketika mereka hendak memejamkan mata karena malam dan kantuk datang menyapa, kepala kelompok mendengar suara kecil berdecik diantara duri-duri pohon akasia. Ia mengambil kayu bakaran dari unggun yang menyala, nampaklah seekor burung hud-hud[1], gemuk sebesar buah kelapa, berusaha melepaskan diri dari jerat duri-duri akasia tersebut. Melihat ukuran burung yang tidak biasa itu, tertegunlah ia sebab kelompoknya hanya meminum air bercampur peluh, gigi mereka tak pernah menguyah makanan dan lidah mereka tak merasakan nikmatnya daging panggang selama lima hari mengembara. Sambil menelan ludah, ia berusaha melepas burung itu dan mendekapnya dengan penuh nafsu.
Lapar karena lelah dan kepalanya sudah kosong, ia menyiapkan sebuah tusukan dari akar-akar akasia dan membuat unggunnya menyala lebih besar agar daging dari burung hud-hud itu cepat masak, lalu kelompoknya bisa makan. Ia mengikat burung itu di dekat keranjangnya dan menyiapkan segalanya sendirian sementara kelompoknya tidur. Malam itu cukup hening sehingga kepala kelompok dapat mendengar suara-suara dari perut anggota kelompoknya yang lapar, ia pun mempercepat pekerjaannya.
Ketika pekerjaannya selesai, tibalah saatnya ia memanggang burung hud-hud itu. Ia mengambil tusukan dan hendak menusuk burung tersebut. Tatkala ia memegang burung itu, tersingkaplah kain penutup keranjangnya karena burung hud-hud itu mengamuk. Ia memalingkan perhatian pada kain itu dan melupakan sejenak burung yang dari tadi ia ingin bakar. Saat memperbaiki keranjangnya, ia melihat sesuatu yang sepertinya telah lama terlupakan. Bentuknya menyerupai buku tebal yang agak kusam karena pasir-pasir gurun. Ia mengambil buku tersebut dan melihat sesuatu yang sepertinya telah ditandai saat terakhir kali buku itu terbuka.
Oleh karena penasaran yang tiba-tiba muncul, rasa laparnya berubah menjadi keinginan untuk menelisik buku dalam keranjangnya tadi. Di bawah sinar rembulan yang terang di langit tak berawan, ia membuka buku tersebut dan mulai membaca. Selang beberapa waktu kepala kelompok membaca dan mulai memahami maksud dari isi lembaran yang terakhir kali terbuka itu. Lembaran itu berisi aturan-aturan mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Ada satu kalimat yang membuat dadanya terenyuh, yaitu kalimat yang menyatakan bahwa memakan burung hud-hud itu dilarang. Marah bercampur sedih dan bingung ketika melihat burung hud-hud yang terikat tak berdaya dekat kakinya. Oleh karena ia adalah seorang yang taat pada tradisi dan aturan, ia tak rela menyerahkan ketaatan kepada nafsunya di hadapan pasir-pasir gurun dan pohon-pohon akasia. Namun di sisi lain, ia juga kasihan melihat anggotanya yang kelaparan, entah esok masih kuat melanjutkan perjalanan atau tidak. Kecintaan terhadap tradisi dan kelompoknya membuatnya bimbang. Tanggung jawabnya sebagai kepala kelompok di uji.
Ketaatannya karena wibawa sebagai pemimpin yang memegang teguh tradisi, ia akhirnya melepas burung hud-hud itu. Sekejap, burung itu menghilang di tengah keheningan malam. Kepala kelompok berpikir keras agar kelompoknya dapat makan sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Ia akhirnya berjalan tanpa arah serta diselimuti lelah dan rasa kantuk yang luar biasa. Setelah berjalan sejauh 1000 ‘ammah[2], ia melihat remang-remang suar pelita dari sebuah gubuk. Ia mendekati gubuk tersebut dan menjumpai pemiliknya. Pemilik gubuk tersebut adalah seorang yang lanjut usia, ia memiliki banyak persediaan makanan di lumbungnya oleh karena anaknya yang sedang bekerja di kota. Kepala kelompok pun memohon agar kiranya pemilik gubuk tersebut berbagi. Mendengar cerita kepala kelompok tersebut, hati pemilik gubuk tersentuh. Ia membagikan setengah dari isi lumbungnya kepada kepala kelompok. Singkat cerita, kepala kelompok kembali ke tempat kelompoknya beristirahat dan paginya, kelompok pengembara tersebut terpuaskan laparnya dan menyisakan sebagiannya lagi untuk bekal diperjalanan. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa tahu apa yang telah terjadi dengan kepala kelompok mereka semalam.
 Cinta merupakan nilai tertinggi dalam kehidupan. Tanpa cinta, kita tidak bisa membayangkan dunia ini akan seperti apa. Cinta dapat melahirkan sebuah harapan dan tekad. Cerita di atas menggambarkan kecintaan dan ketaatan seorang kepala kelompok kepada tradisi dan anggota kelompoknya. Kepala kelompok rela menanggung lelah dan kantuk demi sebuah wujud harapan dari setiap anggota kelompoknya. Harapan akan kehidupan yang baik tentunya adalah kehidupan yang penuh dengan cinta. Namun perlu ditekankan bahwa cinta sangat berbeda dengan nafsu. Cinta dilandaskan oleh kasih dan pemikiran yang filosofis, sedangkan nafsu didasarkan pada keinginan daging/duniawi.


[1] Sejenis burung pelatuk di wilayah Timur Tengah.
[2] ‘Ammah atau biasa disebut dengan hasta, adalah satuan panjang yang digunakan di Timur Tengah. 1 ‘ammah = 45-52 centimeter.

No comments:

Post a Comment