Tuesday, September 17, 2013

ArchaeoGraphic

Fort Rotterdam:
Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah
Oleh Peniel Chandra

a.  Pendahuluan
Makassar, sebuah kota pesisir pantai yang menawarkan pemandangan yang cukup indah. Tidak hanya menyajikan pemandangan, Makassar memiliki kekhasan daerah yang eksotis dan juga bangunan-bangunan kuno  yang memiliki nilai sejarah, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan Eropa di film-film era ‘70an. Salah satunya yaitu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial, kemudian pada masa sekarang menjadi objek wisata, Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros, memiliki luas areal 28.595,55 m2 dengan luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2, Benteng Rotterdam denah dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah barat menghadap ke laut dan pintu kecil di sebelah timur. Bagian tembok dinding yang tertinggi 7 m dan bagian yang terendah 5 m, dengan ketebalan dinding 2 meter. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.  Sekilas dinding-dinding tembok benteng berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat, mengitari sepanjang tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata warna kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar. Di bagian utara, timur dan selatan Benteng Rotterdam dikelilingi oleh bangunan perkantoran maupun perumahan. Bahkan, di dinding bagian timur digunakan penduduk sebagai bagian dari dinding rumahnya. Hal ini menyebabkan beberapa bagian dinding benteng mengalami kerusakan (Asmunandar, 2008 : 144).
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tat letak, gaya, bahan dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis mencoba menelisik hal ini dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba diterapkan dalam Benteng Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.

b. Pengelolaan Fort Rotterdam
Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa tidak luput dari perhatian pemerintah, hal tersebut dapat terlihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Pengelolaan situs Fort Rotterdam adalah salah satu perwujudan fisik dari usaha pelestarian sumberdaya arkeologi yang tidak hanya menyangkut tata ruang arkeologis tetapi juga menyangkut akan  tatanan nilai dalam masyarakat. Oleh karena hal tersebut pengelolaan situs Fort Rotterdam harus dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Pendayagunaan tata ruang lahan situs Fort Rotterdam dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat diaplikasikan dalam bentuk taman purbakala sebagaimana yang telah diterapkan pada situs Candi Borobudur (Aldi Mulyadi, 1999) .
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski demikian, Benteng Rotterdam maupun Museum La Galigo tetap saja dapat dinikmati setiap pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Cagar budaya Benteng Rotterdam  tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk mensejahterakan dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk menjaga harmoni dan pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama halnya dengan Museum La Galigo. Bukan hanya sebagai tempat untuk memamerkan peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian. Tetapi Museum La Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk mencerdaskan bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.

c.   Fort Rotterdam sebagai Objek Wisata
Faktor pendukung suatu tempat dijadikan objek wisata adalah nilai estetika tempat tersebut. Semakin indah, maka semakin banyak pengunjung. Fort Rotterdam sebagai objek pariwisata memang mempunyai nilai lebih seperti gaya bangunan kuno yang megah dan letaknya yang stratetis karena berada di daerah pesisir pantai sehingga para pengunjung lokal maupun turis selalu ramai berdatangan.
Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam. Peningkatan pada pertengahan tahun 2013 memang yang paling menanjak karena juga bertepatan dengan masa liburan sekolah.
Hingga pada hari ini, wisatawan terus berdatangan ke Fort Rotterdam dan jumlahnya semakin bertambah dengan adanya kegiatan ekskavasi di bagian selatan Benteng ini. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari dengan mendatangkan tenaga ahli dari Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Mundardjito. Ekskavasi yang dilakukan di Fort Rotterdam rupanya menarik minat pengunjung yang rata-rata pelajar. Salah satu pengunjung mengaku bahwa baru kali ini melihat penggalian yang begitu lama dan rumit. “Seperti di film National Geographic, keren!”, tegasnya.
Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Gagasan mengenai nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga dikemukakan oleh James Semple Kerr (1983). Menurutnya, nilai penting bangunan kuno atau lingkungan bersejarah dilihat dari beberapa nilai yakni; nilai sosial, jika sebuah bangunan bermakna bagi masyarakat; nilai komersil, sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan peranannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Asmunandar, 2008 : 167). Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki spot yang indah, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku bagi para budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

d.    Penutup
Perkembangan masyarakat ke arah modern semakin membuat kita melupakan sejarah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Fort Rotterdam dari tahun ke tahun membuktikan bahwa masyarakat awam biasanya menganggapnya sebagai objek wisata semata. Soal vandalisme di Fort Rotterdam sama halnya yang terjadi pada situs-situs lainnya, masalahnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bangunan kuno yang harus kita lestarikan. Semakin lama, tanpa adanya rasa ingin tahu, tentu saja, Fort Rotterdam hanyalah sekedar tempat melepas lelah di akhir minggu.
Selain itu, Pemerintah Kota tidak begitu memperhatikan hal-hal yang seperti ini. Seperti yang penulis kutip dari seorang arkeolog, Iwan Sumantri, beliau mengatakan bahwa negara berkembang biasanya lebih fokus pada permasalahan ekonomi, beda dengan negara maju yang sudah maju perekonomiannya sejak lampau dan pada masa sekarang, mereka kembali kepada kebudayaan mereka.
Harapan penulis tentang Fort Rotterdam, kiranya pengelolaanya semakin baik, begitu juga dengan pelestariannya. Tidak hanya sebatas itu, masyarakat juga perlu tahu nilai penting dari sebuah bangunan kuno agar mereka juga ikut melestarikan sehingga anak cucu kita juga menikmati apa yang kita nikmati saat ini. Bukan hanya keindahannya, tapi nilai sejarah adalah yang paling penting.


Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (www.tribun_timur.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

No comments:

Post a Comment