Monday, September 30, 2013

ArchaeOpinion

Fort Rotterdam : Bertahan dari Guratan Para Vandalis

Makassar, sebuah kota yang katanya sedang menuju ke arah world class dengan pembangunan yang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah di segala aspek, dari perekonomian hingga penataan kota. Objek wisata Kota Makassar juga dipublikasikan oleh Pemda untuk menarik minat para wisatawan domestik maupun wisatawan asing, disamping memperkenalkan Kota Makassar itu sendiri, hal tersebut juga menambah pendapatan daerah[1]. Kegiatan-kegiatan yang bersifat internasional juga banyak diselenggarakan di Makassar dan pemilihan tempat untuk kegiatan-kegiatan tersebut biasanya adalah tempat-tempat wisata yang terkenal di Makassar.
Meskipun demikian, ada beberapa masalah-masalah yang muncul dipermukaan dan berdampak negatif bagi objek-objek wisata tersebut, terutama situs-situs bersejarah yang dijadikan objek wisata. Banyak perlakuan-perlakuan yang bersifat merusak situs-situs tersebut seperti mencungkil, menggores, ataupun mencoret-coret dinding bangunan/ struktur situs bersejarah.
Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang vandalisme yang dilakukan oleh para pengunjung pada situs bersejarah di Makassar, yaitu Fort Rotterdam. Tulisan ini erat kaitannya dengan pengelolaan Fort Rotterdam dan juga konservasi yang telah dilakukan di tempat ini.

Fort Rotterdam, Dahulu Hingga Sekarang
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Hingga sekarang, sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar (Asmunandar, 2008 : 144). Beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar.
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.

Vandalisme di Fort Rotterdam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal adalah perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Vandalisme biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan momen, tapi dengan cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui “karyanya”. Biasanya, coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para vandalis (orang yang melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/ simbol suatu kelompok, atau kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek vandalisme, tentu saja adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang.

Beberapa contoh coretan vandalisme pada bangunan Fort Rotterdam, 2013

Fort Rotterdam yang merupakan objek wisata juga tidak luput dari serangan tangan-tangan jahil para vandalis. Hampir setiap sudut, terutama pada bagian tenggara hingga ke bagian timur laut dihiasi dengan coretan-coretan tidak bertanggung jawab dari vandalis. Tidak hanya coretan dengan menggunakan spidol, namun para vandalis mengukir tembok-tembok Fort Rotterdam dengan benda yang tajam sehinnga seakan-akan mirip dengan “prasasti”.
Pada sore hari, pengunjung mulai ramai mengunjungi Fort Rotterdam dan rata-rata pengunjung Fort Rotterdam masih berstatus pelajar SMP atau SMA, mungkin menjadikan momen sore hari mereka sebagai pelepas lelah setelah seharian berpeluh dengan pelajaran. Nah, pada jam-jam inilah biasanya para vandalis mulai beraksi. Seorang petugas keamanan di Fort Rotterdam bernama Yusuf mengaku pernah memergoki beberapa pengunjung yang mencoba mencoret dinding bangunan tersebut. Setelah itu, mereka dibawa ke pos petugas keamanan untuk diberikan teguran dan nasihat agar tidak melakukan hal tersebut.
Menurut bapak yang  bekerja sebagai petugas keamanan Fort Rotterdam sejak 10 tahun yang lalu ini, kebanyakan pelaku kegiatan vandalisme tersebut adalah pasangan muda-mudi yang statusnya masih pelajar. “Biasanya, mereka coret-coret dinding ketika benteng sudah mau ditutup[2]”, begitu ujarnya. Faktor ketidaktahuan dan ketidakpedulian pengunjung, khususnya wisatawan domestik terhadap pelestarian bangunan bersejarah membuat nilai historis bangunan tersebut lama-kelamaan akan hilang.
Selain pengunjung yang tidak peduli, sistem keamanan Fort Rotterdam juga sangat rentan, entah karena personilnya yang kurang ataukah memang malas. Menurut saya, pengelolaan Fort Rotterdam jauh dari maksimal karena sepertinya ada bagian-bagian dari Fort Rotterdam yang mengalami perusakan namun tidak cepat ditangani, walaupun itu hanya perlu di lapisi saja dengan sedikit semen.

Dampak-Dampak Vandalisme
Setelah mengetahui bahwa vandalisme merupakan tindakan yang merusak, tentu saja ada dampak-dampak yang negatif, baik bagi situs Fort Rotterdam maupun lingkungan sekitar situs. Dampak negatif bagi bangunan tersebut adalah kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh para vandalis, bila tidak cepat ditangani, akan membuat bangunan ini semakin tidak terawat dan lama-kelamaan akan rusak secara bertahap hingga tidak satupun bagian dari Fort Rotterdam yang terjaga keasliannya.
Selain objek pariwisata, Fort Rotterdam juga merupakan sumber daya arkeologi yang perlu dijaga kelestariannya. Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa (Aldi Mulyadi, 1999). Hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah yang dapat dilihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
Tetapi, kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat jauh berbeda. Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).

Masa Depan Fort Rotterdam
Fort Rotterdam sebagai objek wisata memang sangat bagus untuk dikembangkan, namun hal tersebut harus berbanding lurus dengan pelestariannya. Percuma saja jika setelah dibenahi lalu tidak dirawat, lama-kelamaan akan rusak dan habis sehingga tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Vandalisme bisa dihentikan dengan memberikan pemahaman kepada para pengunjung bahwa bangunan-bangunan sejarah harus dilestarikan dan merupakan corak kebudayaan bangsa. Selain itu, perlu juga kesadaran dari masyarakat itu sendiri karena masyarakatlah yang sebenarnya harus memahami kalau bangunan-bangunan tersebut milik mereka.
Fort Rotterdam bukan hanya warisan Belanda, tapi adalah peninggalan dari Kerajaan Gowa yang dimodifikasi sedikit oleh orang-orang Belanda. Jangan sampai kita mencap bahwa Fort Rotterdam ini tidak memiliki nilai historis hanya karena bangunan ini tidak “Indonesia” sekali. Perasaan acuh tak acuh yang sering muncul harus dilawan dengan pengetahuan agar tidak semena-mena terhadap sesuatu.
Benteng pertahanan yang dulu berjaya pada masanya, bertahan terhadap meriam-meriam musuh, kini harus bertahan dari guratan-guratan para vandalis dari kampung sendiri. Bagaimana sikap kita sebagai arkeolog melihat sumber daya arkeologi yang makin lama tergerus oleh perlakuan yang tidak benar. Sebenarnya, kota dan masyarakatnya yang akan kehilangan jati diri jika bangunan-bangunan tersebut hilang, sikap kita sebagai arkeologlah yang merangkul masyarakat kota agar tidak kehilangan jati diri mereka.

  

Catatan Kaki :

[1] Biasanya, objek-objek wisata (terkhusus yang berada dibawah naungan Pemerintah Daerah) tersebut dikenakan tarif masuk.
[2] Jam tutup Fort Rotterdam sebenarnya adalah jam 5 sore, tetapi kadang sampai setengah 6 sore karena tingkah pengunjung selalu ingin tetap berada di situs untuk kepentingan pribadi seperti mengambil gambar pada saat sunset.

Daftar Pustaka

Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel pribadi.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV). Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

No comments:

Post a Comment