Thursday, September 19, 2013

Peradaban Neolitik Mallawa


Prasejarah di Sulawesi Selatan sudah terkenal hingga ke mancanegara, terutama daerah yang banyak ditemukan situs-situs prasejarah yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Topografinya juga sangat menarik karena selain panorama alam yang indah juga disuguhkan dengan pemandangan megah gugusan karst yang merupakan gugusan karst terpanjang kedua di dunia setelah Cina. Gua-gua prasejarah yang mencirikan pola hidup semi-menetap, banyak ditemukan pada bukit-bukit karst di Maros-Pangkep. Selain itu, teknologi yang dapat diidentifikasi dari temuan-temuan disana kebanyakan berasal dari masa Paleolitik awal dan Paleolitik akhir dengan ciri-ciri alat batu yang belum diupam (dihaluskan). 
Kali ini, penulis akan memberikan sedikit informasi mengenai situs prasejarah di Sulawasi Selatan yang temuan-temuannya memiliki teknologi pembuatan hampir sama, namun ada yang telah diupam dan kebanyakan temuan-temuan tersebut mengindikasikan pola hidup bertani (neolitik). Situs ini diberi nama Situs Mallawa.
Situs neolitik Mallawa secara administratif membentang dari Kelurahan Sabila, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros hingga Desa Polionro, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Secara geografis berada di titik koordinat antara 040 50’ 25.1” – 040 51’ 14.8” Lintang Selatan dan 1190 55’ 37.9” – 1190 56’ 20.2” Bujur Timur pada ketinggian antara 270 – 393 meter diatas permukaan laut, dengan luas keseluruhan 14,26km2.
Pada situs ini, ditemukan beberapa tinggalan arkeologis berupa artefak batu dengan berbagai jenis dan bahan pembuatan, serta fragmen tembikar dalam kondisi tersebar dan hanya terkonsentrasi pada beberapa titik saja. Situs Mallawa merupakan situs peradaban neolitik, jadi, tinggalan arkeologis yang banyak ditemukan di situs ini merupakan artefak batu yang berhubungan dengan teknologi pertanian seperti beliung, namun, adapun tinggalan arkeologis yang berasal dari masa sebelumnya, yaitu paleolitik dan mesolitik. Ini bisa dilihat dari teknologi pembuatan. Ada tinggalan arkeologis yang pembuatannya masih kasar dan adapula tinggalan arkeologis yang sudah dihaluskan (upam).
Artefak batu yang dijumpai di situs ini tidak semua dalam kondisi sempurna, sebagian ada yang berupa fragmen. Bentuk fragmen yang ditemukan ada yang hanya bagian mata, tengah, dan pangkal. Warnanya pun bervariasi, mulai dari hitam hingga coklat. Adapun jenis artefak batu yang ditemukan di situs ini yaitu, alat serpih, kapak, beliung, pahat, tatab-pelandas, batu asah, batu inti (core), dan limbah. Adapun jenis kapak batu yang ditemukan, seperti kapak genggam dan kapak persegi berasal dari masa yang berbeda yaitu mesolitik dan neolitik. Kapak dan beliung memang memiliki kesamaan, namun khusus pada temuan di Situs Mallawa, sebagian ahli menggolongkannya ke dalam tipe beliung persegi karena bentuknya yang memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagian permukaan biasanya diupam menyisakan bagian pangkal sebagai tempat ikatan tangkai. Penajaman dilakukan dengan mengasah dibagian ujung permukaan bawah ke arah pinggir permukaan atas. Melalui teknik ini diperoleh tajaman yang miring karena pemangkasan diutamakan pada salah satu sisi mata tajaman. Di Situs Mallawa, ada beberapa temuan dalam kondisi yang patah pada bagian pangkal atau tajaman.
Kemudian yang paling banyak ditemukan adalah alat serpih. Teknologi pembuatan alat serpih tersebut dapat dilihat dari permukaan artefak yang masih kasar maupun sudah dihaluskan. Dimensi artefak bervariasi dengan panjang antara 2,4cm hingga 5,7cm, lebar antara 2cm hingga 5,3cm, dan ketebalan antara 0,5cm hingga 3cm. Warna bahan bervariasi yaitu putih, abu-abu, putih kekuningan, kuning, jingga, krem, merah, dan coklat.
Pada situs ini juga ditemukan lumpang batu yang mencirikan kehidupan masyarakat agraris. Lokasinya berada pada punggungan-punggungan bukit dengan kondisi geografis yang berupa sabana (padang rumput). Umumnya, lokasi-lokasi temuan merupakan lahan gundul atau berada di puncak-puncak bukit, diduga, tempat tersebut pernah diolah sebagai lahan bercocok tanam.
Selain artefak dari batu, juga ditemukan artefak berupa fragmen tembikar di situs ini, walaupun dalam kondisi tersebar dan jumlahnya sangat sedikit. Pada umumnya, fragmen tembikar yang ditemukan di situs ini berukuran sangat kecil dan tipis namun kuat serta permukaannya yang halus.
Melihat kondisi alam yang merupakan bukit sabana, ada kemungkinan dilakukan kegiatan bertani dan ketidaktahuan masyarakat mengenai benda-benda arkeologis akan membuat situs ini akan hilang/ punah. Walaupun temuan-temuannya tidak selengkap temuan-temuan yang ada di situs neolitik Kalumpang, namun setidaknya situs di Mallawa memberikan sedikit pandangan berbeda soal situs-situs prasejarah yang selama ini kita kenal, selalu di kaitkan dengan gua-gua karst di Maros-Pangkep.
Sebagai arkeolog, bagaimana pandangan kita terhadap situs neolitik di Mallawa? Disatu sisi, situs neolitik Mallawa merupakan lumbung data prasejarah yang kita butuhkan dan lestarikan, di sisi lainnya, masyarakat perlu menggarap tanah demi kelangsungan hidup. Sebaiknya, bagaimanakah konservasi yang harus kita lakukan karena tidak mungkin kita melarang yang empunya tanah untuk mengelola tanahnya sendiri? Adakah diantara kita yang ingin membuat terobosan atau berbagi pemikirannya mengenai konservasi yang tidak memberatkan kedua belah pihak?
Ditunggu....

No comments:

Post a Comment